Ricci (1)

168 10 3
                                    

Berupaya acuh tak acuh, sepasang mataku mendelik canggung. Sambutan ruangan ini suam-suam kuku, atau mungkin dingin-dingin saja? Sedingin meja ek resepsionis yang congkak di mukaku. Bahkan ukiran mawar juga arogan, letaknya pada dinding di balik meja, liuk tangkai berduri-duri mengukir tulisan yang memegahkan diri, Atalanta Royal Palace yang terbaca.

Istana dingin ini akan menjadi rumahmu, Ricci. Aku membatin masygul. Seumpama anak kerdil, aku cuma bisa berpasrah ketika segalanya besar dan tak bersahabat di sekelilingku.

"Welcome to the palace." Ucapan itu meluncur deras dari perempuan paruh baya, kacamatanya terus merosot, seperti bermain seluncuran di batang hidungnya yang panjang. Yang luar biasa adalah postur, sikap, dan mimik wajahnya yang amat aristokrat. Dada busung dan dagu terangkat yang kesannya menyombong.

"Oh, halo. Eh, bukan, maksudku terima kasih atas ucapannya." Aku menjawab hati-hati, seakan mematuhi protokol kerajaan yang ketat. Tak lupa tubuhku membungkuk sedikit-sedikit. Otot-otot punggungku kontan mengeras. Otot kaku yang tak berkompromi dengan waktu. Juga makin tak bersahabat seiring usia yang meningkat.

"Sama-sama." Sesaat mata ningrat si resepsionis menghangat, sebelum ia memasang lagak profesional yang arogan. "Anda ini Bapak Marcopolo Ricci Di Assisi, betul? Penghuni Villa Seruni nomor buncit... oh, maaf, maksud saya, Villa Seruni nomor 99, bukan?"

"Betul sekali. Saya sudah mem-booking tempat sebulan yang lalu. Biaya pelayanan selama satu tahun sudah saya lunasi di muka. Ini tanda terima elektroniknya." Ujarku seraya mengacungkan ponsel pintar kepada si resepsionis.

"Baik, Pak. Maaf, peraturan istana ini, setiap penghuni dilarang membawa hewan peliharaan."

Sudut mata dan telunjuk si resepsionis terarah pada saku mantelku. Seketika aku terperangah, antara memahami atau tidak mengerti, meraba saku dan menemukan bulu-bulu halus yang menyembul keluar, mirip dengan ekor tupai atau chinchilla kecil. Segera kutunjukkan benda yang disangka hewan kesayangan itu. Sebuah pipa cangklong tembakau berwarna hitam pekat. Di gagangnya tersemat hiasan bulu-bulu menyerupai ekor tupai abu-abu.

"Ini bukan hewan, Bu. Ini cangklong saya. Ada hiasan bulu-bulu di gagangnya." Segera kumasukkan kembali benda azimat itu ke dalam saku mantelku.

"Oh ya, baguslah, bukan hewan. Tapi pantangan kedua di tempat ini, dilarang keras merokok, karena Atalanta Royal Palace adalah kawasan bebas asap rokok." Si resepsionis menyudutkanku dengan sinar mata yang menghakimi.

Lekas-lekas kujelaskan bahwa aku tidak merokok. Pipa cangklong ini tidak dipakai untuk merokok, hanya sekadar azimat atau benda hiasan belaka. Aku sendiri kini membenci rokok. Bau tembakau yang aromanya busuk di hidungku. Merokok cuma cerita masa lalu bagiku. Sang resepsionis mengamati gerak-gerikku, memastikan aku bukan perokok, seraya menaikkan kacamata rabun dekat yang terus melorot ke cuping hidungnya.

Mungkin tempat ini memang istana sungguhan. Atalanta Royal Palace namanya. Protokol dan aturan main di tempat ini sungguh bertele-tele, meskipun semuanya wajar dan tak mengada-ada. Namun bagusnya, tempat ini bermurah hati terhadap penghuninya, termasuk aku yang statusnya seorang pendatang baru. Belum-belum aku sudah dihadiahi welcome gift yang tidak biasa-biasa saja.

"Silakan dipilih tongkat yang Bapak sukai. Di antara tiga pilihan warna ini, mana yang paling berkenan bagi Bapak?" Si resepsionis menjajarkan tiga model tongkat berjalan yang sama persis bentuknya, dengan pilihan warna hitam, marun, dan warna cokelat kayu.

"Jujur, semuanya bagus-bagus. Tapi maaf, saya belum berminat. Kaki-kaki saya masih enak diajak berjalan, kok. Masih belum perlu untuk kaki yang ketiga." Senyumku melebar tanpa kusadari, mungkin tersindir oleh kata kaki tiga yang identik dengan manusia berusia tua.

Trinili Cinta Mencuri Senja (END)Where stories live. Discover now