Ricci (29)

18 5 0
                                    

Apakah Oma sedang sakit gigi? Dalam ilusiku aku berucap pada Oma Lee, yang cemberut sedikit sepanjang kelas kecantikan, yang mana seyogyanya memamerkan kemolekan instrukturnya. Aku paham betul, kelas kecantikan Oma Lee laris manis lantaran pengajarnya cakep-cakep. Ya, sengaja kupilih kata cakep yang kesannya sok funky. Pasalnya kata itu netral sifatnya, menunjuk baik pada lelaki maupun perempuan. Bisa dikatakan cantik, bisa juga dikatakan ganteng. Kedua-duanya bisa-bisa saja.

Kedua instruktur kelas kecantikan memang tak kuingkari amat rupawan. Oma Lee yang awet muda dan Joe Rajendra yang tampan bak pangeran cerita dongeng. Ini kudengar dari bisikan sesama peserta kelas kecantikan. Statusku sendiri cuma pengajar tamu, sesekali nimbrung untuk membahas soal kudapan sehat, yang merupakan kemahiran serta bidang spesialisasiku. Oh ya, Hester-ku juga ikut meramaikan sebagai asisten yang sempurna.

Hester sibuk wara-wiri, mempersiapkan materi ajar dan meladeni suruhan Oma Lee terkait kelas mempercantik diri ini. Aku dan Opa Nam emoh disebut cantik, tetapi kami memetik hikmah dari kata cantik itu sendiri. Beautiful adalah bahasa Inggris untuk cantik. Maknanya mendua, antara lelaki dan wanita, bahkan bisa menunjuk pada hewan, tumbuhan, maupun benda-benda mati. Aneh rasanya bila kita menyebut pohon sebagai cantik. Aku tahu, binatang kesayangan bisa disebut cantik, seperti Hester memuji Joe, kumbang peliharannya sebagai si cantik. Padahal Joe itu makhluk jantan, lho.

Bahasa Indonesia mengartikan cantik secara sempit. Seolah khusus untuk perempuan saja. Terkadang menamai hewan betina "cantik" pun dipandang lucu. Biasanya hewan yang manis disebut cakep, lucu, manis, dan sebagainya. Bunga terkadang masih berterima disebut cantik, meski kita cenderung menyukai kata "indah" untuk menggambarkan bunga-bunga molek.

Alhasil, aku dan Opa Nam perlu membiasakan diri dengan kata cantik, dan memperlebar pandangan kami. Maksudku memandang kata cantik tidak dengan sempit. Cantik itu universal. Cantik itu bisa bermakna apa saja, selama memerikan keindahan. Makhluk lelaki bisa juga disebut cantik, tanpa meremehkan kelelakian dan harkat jantannya. Tidak ada pantangan bagiku untuk cantik, sepanjang kata itu tidak menghina kejantananku.

Oke, berbicara soal kejantanan, aku mungkin masih kurang jantan, dalam arti belum berani menghadapi Trinili. Aku perlu bicara empat mata terkait Oma Chloe. Ya, dalam rencanaku, bila nanti hubungan kami lebih akrab, akan kuungkapkan maksudku menemuinya di panti ini. Mumpung paman tiriku masih sehat, perlu kutunaikan misi yang sudah tertunda puluhan tahun ini.

Ingatanku tertambat di sudut taman botani. Pohon gaharu berpelukan yang romantis. The Lovers Tree yang mengharukan. Legenda kasih tak sampai yang menjelma simbol keabadian cinta. Katanya seperti itu, dan mau tak mau kuakui, pohon gaharu itu memang cantik. Cantik menawan seperti rupa cinta itu sendiri. Ah, cinta. Makhluk entah gerangan apa yang kucari sepanjang sisa umurku.

Kata orang bijak, sejak dilahirkan, kita sudah berjalan menuju kematian. Hanya saja ada yang berjalan amat cepat, ada pula yang lambat gerakannya. Bayi-bayi yang sudah gugur di kandungan menghampiri mautnya lebih cepat. Putri Oma Chloe yang tutup usia sebelum usia 40 adalah contoh yang berjalan agak cepat. Aku yang sudah 75 tahun termasuk berjalan cukup lambat. Apalagi Oma Chloe yang satu abad lebih sedikit umurnya, termasuk amat sangat lamban menjemput takdir terakhirnya.

Sepanjang hidupku, aku mencuri bayang-bayang Trinili. Aku tak ingat apakah pernah menyukai gadis lain selain Trinili-ku. Triana Arimbi, sobat kental Trinili agaknya pernah menyukaiku, tetapi kami cuma sebatas teman baik dan rekan satu sekolah yang bersahabat. Aku pun tak pernah menyatakan apa pun pada Trinili. Tidak ada sinyal-sinyal khusus, kumandang kemesraan, ataupun deklarasi dramatis baginya. Kata orang, cinta yang dinyatakan namanya deklarasi cinta. Aku sendiri mencuri sebuah istilah dari Opa Nam, deklamasi cinta nan puitis.

Opa Nam kerap sibuk menggubah puisi cinta, dan mendeklamasikan isinya secara puitis. Termasuk di depanku, yang terkesima oleh bakat sastrawi Opa Nam. Boleh juga dia ya, aku mengakui dalam hati. Aku sendiri masih mengerahkan nyaliku, agar berani menghadapi Trinili sekali lagi. Ya, kami memang sudah bertatap muka beberapa kali, tetapi tak pernah berdua saja, sejak pertemuan di penthouse yang bagiku sudah berlangsung amat lama. Padahal baru saja dua bulan berlalu. Waktu jarang mau berkompromi dengan keinginan manusia.

Trinili Cinta Mencuri Senja (END)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin