P A R T . 1 3

320 59 13
                                    


"Mau selemah apa pun orang lain, sebodoh apa pun orang lain, sebanyak apa pun dosa yang ada padanya, tidak boleh ada dalam diri kita sifat sombong dengan menganggap hina orang tersebut."

--

Happy Reading💋

....

Penjara suci. Dua kata dengan berjuta kejutan di dalamnya. Beribu tantangan di setiap waktunya. Duri yang tertancap begitu tajamnya, tidak luput dari serpihan kaca yang setia tertabur dalam iringan langkah.

Di sini, bukan tentang bagaimana mata memandang, bagaimana sesuatu yang terlihat jelas oleh kornea mata. Bukan juga tentang saing menyaing dengan sesama, gertakan orang tua yang dirasa terpaksa, bukan. Sekali lagi, ini soal hati dan komunikasinya pada sang Ilahi Rabbi. Kemantapan serta tujuan yang memang ikhlas dari relung kalbu yang paling dalam. Keteguhan untuk tetap berdiri dan berjalan menyusuri ujian demi ujian yang Allah berikan.

"Lo lihat, Salwa anak kecil yang selalu dapat takziran dari pengurus. Hampir setiap majelis dia berdiri. Setiap piket juga sendiri, belum lagi kalau diledek teman sebayanya. Dia hampir gak pernah jajan, cuma ngandelin jatah makan .... " Fia menghembuskan napasnya. Mencoba untuk sedikit memberi masukan pada teman barunya.

"Lo ... harus banyak bersyukur, El." Fia menambahi.

Tepat jam sepuluh malam, setelah tadi Abdul memanggil Fia, gadis itu langsung bergegas menemui Elsa. Berakhir di kamar tiga yang mungkin kamar yang paling berbeda untuk Elsa. Di luar dugaannya, Fia tidak menyangka Elsa benar-benar berniat kabur.

Umi Ulfah yang mengetahui kalau santrinya tumbang lagi, memutuskan untuk memanggil dokter kepercayaan pesantren. Ternyata Elsa memiliki riwayat asma, juga darah rendah yang disebabkan terlalu banyak begadang. Gadis itu menyangkal, riwayat asamanya sudah lama sembuh. Hanya keluhan 'gampang capek' yang terus ia lontarkan, tidak sadar begadangnya juga berdampak pada kesehatan dirinya

"Gak ada lagi niatan untuk kabur," peringat Fia, mengelus punggung tangan gadis dua tahun lebih muda darinya.

"Kalo lo lupa, gue ingetin lagi. Selama lo mulai kelas umi, belum pernah satu kali pun lo ngulang setoran. Semuanya nilai sembilan, El. Gak ada yang kayak gitu selain lo. Jangan males, waktunya hafalan ya hafalan. Enggak jauh, gue contoh orang yang berjuang mati-matian supaya nilai gue di atas enam. Gue mohon, jangan buang sia-sia takaran yang Allah berikan, sebelum lo bener-bener menyesal."

Kali ini Elsa dibuat bungkam dua ribu bahasa. Tidak ada satu pun kata-kata yang bisa bibirnya ucapkan. Kalimat panjang Fia begitu menusuk relung hatinya. Selama ini dia hanya berporos pada ego tanpa melihat sekeliling yang bahkan lebih rapuh darinya.

Elsa menatap dalam netra coklat milik Fia, sendu dan penuh lara terpampang di sana.

"Thanks. Lo wanita hebat, Fi. Jangan nyerah, ya." Elsa tersenyum, namun pipinya basah. Sesuatu mengalir deras dari pelupuk matanya.

"Gak usah mewek, ah. Gue tidur dulu," pungkas Fia lalu beranjak dari duduknya. Menuju kamar satu yang sudah hampir dua setengah tahun ia tempati.

******

Saut paut hewan berkaki dua, diselipi sepoi yang terasa menusuk remuk hingga tulang. Di waktu banyaknya insan terlelap dengan tidurnya, indah dengan mimpinya, malas dengan menutup rapat matanya.

AKU DAN PENJARA SUCI - [Mas Dul] 》(TAMAT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora