29. Tewas

1K 153 0
                                    

[Axeryda]

Aku menelan suapan terakhir mie instan yang sudah ku masak dengan segenap cinta itu.

"Ah baiklah, aku kenyang" Aku mengambil air putih kemudian meminumnya.

"Uh, pedasnya membuatku menjadi tidak mengantuk" menepuk perut beberapa kali sebelum menatap hamparan kota dengan lampu kristal yang menyala diantara gulita.

"Benar-benar sepi" bibirku tertarik sedikit, tempat ini bukan permukiman padat penduduk, tetapi rumah warga tidak jarang juga.

Biasanya, jalan besar seperti itu tidak pernah beristirahat sepanjang waktu, kendaraan-kendaraan selalu melewatinya bahkan jika tengah malam menjelang pagi.

Di sini tidak, pukul setengah tiga pagi, benar-benar sangat jarang ada orang yang lewat.

Tidak ada kebisingan di tengah-tengah kota saat waktunya setiap tubuh beristirahat.

Aku merebahkan tubuhku di lantai marmer yang dingin, aku tahu berbaring setelah makan tidak baik, tetapi tidak akan ada yang peduli bukan?.

Aku tersentak ketika ada yang mengetuk pintu.

"Nona, ada sesuatu?" tanya prajurit di luar.

Aku membuka pintu, lalu menatap mereka bingung,"Kenapa?".

"Anda tidak tidur Nona?" tanya salah satu dari tiga prajurit yang berdiri di hadapanku.

Ah, pasti karena lampu kamar yang masih menyala.

"Bagaimana dengan kalian?" aku membalikkan pertanyaan.

Mereka bertiga saling bertatapan canggung.

"Kami sedang bekerja Nona" jawab salah satunya.

"Ah, kalian bekerja disaat orang-orang tertidur"

"Kami tidur disiang hari Nona"

"Mari kita ngopi bersama" aku keluar dari kamar dan menutup pintu.

"A-apa Nona?" mereka kaget, tentu saja, aku tidak akan heran.

"Kenapa? Ayo, salah satu menyeduh empat kopi" aku mengibaskan tangan.

"Baik Nona" prajurit itu mengangguk dan pergi dengan terburu-buru.

"Astaga!"

Aku dan dua prajurit yang tersisa saling berpandangan. Seakan memiliki pemikiran yang sama, kita bergegas menghampiri orang yang aku suruh untuk membuat kopi tadi.

"Lihat, apa yang terjadi" prajurit tadi menunjuk ke lantai.

Aku mengikuti arah tangannya, lalu membelalak.

"Darah?" gumamku.

Mengikuti asal darah, itu terhenti di sebuah pintu.

"Ruangan apa itu?" aku bertanya.

"Ini deretan kamar pelayan dan para dayang Nona" prajurit itu menunjuk deretan pintu.

"Ketuk dahulu" aku melipat tangan.

Tok tok tok

Tok tok tok

"Kamu baik-baik saja?"

"Hei, yang di dalam?"

"Tidak ada sahutan Nona"

"Baik, buka sekarang" ujarku memerintah.

Saat kenopnya diputar, pintunya tidak bisa dibuka, tentu saja.

"Dobrak" tukasku, aku mundur beberapa langkah untuk memberi ruang.

"BRAK!"

Pintu terbuka setelah beberapa kali percobaan.

"Sepertinya seseorang di belakang pintu" prajurit berkata dengan panik.

Aku menengok ke dalam sebentar sebelum masuk.

"Sila? Ini kamar Sila?" aku hendak menyingkirkan prajurit yang mengelilingi tubuh Sila, itu ada di depan pintu.

Tapi sebelum aku berhasil, aku menoleh ke samping karena ada suara berisik. Ada para pelayan yang baru keluar dari kamarnya masing-masing di sana.

Pasti suara dobrakkan mengejutkan mereka.

🎭

Tewas.

Ya, Sila tewas.

Kepalanya terpenggal.

Aku benar-benar syok, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Dengan mengenakan gaun hitam, aku berdiri di samping makam Sila. Pelayan pribadi yang begitu baik, dia tulus.

Walaupun aku belum lama ada di dunia ini, tetapi Sila meninggalkan kesan yang sangat baik untukku.

"Bukankah ini mencurigakan? Ayah, bisakah kamu menyelidikinya?" aku menoleh ke arah Tuan Brandon.

Tuan Brandon mengangguk, "Tentu, aku akan mengurusnya setelah ini".

Tidak banyak orang yang ada di pemakaman ini, karena ini 'hanya' kematian pelayan. Dan, Sila juga tidak mempunyai keluarga.

Aku menjilat bibirku yang terasa kering, pembunuhan, ini terlihat sangat jelas, tetapi, bukan itu poin pentingnya.

Ada warna hitam mengelilingi tubuhnya saat aku melihat mayatnya pagi-pagi buta itu. Tidak bertahan lama, karena setelah beberapa saat, warnanya hilang, tidak meninggalkan jejak.

Benar-benar skandal, aku sedikit memikirkan tentang hubungan pembunuhan Sila dengan tragedi yang dialami oleh Zireo.

Mungkin saja itu ada kaitannya, aku sungguh tidak bisa tetap bersantai-santai, bagaimana jika korban jatuh lagi?.

Aku tersentak ketika sebuah tangan menyentuhku.

Menoleh, sedikit terkejut karena mendapati Edzylar di sana bersama Hiera.

"Ya?" aku memberinya tatapan bertanya.

"Kamu pucat" katanya.

Aku mengangkat bahu, "Kamu melihatnya, ini bukan hal baik, bisa saja ini adalah ancaman".

"Benar, berhati-hatilah"

Edzylar mengajakku untuk kembali ke rumah, Hiera mengikuti dari belakang.

"Kamu mengetahui sesuatu?" aku menoleh kearahnya, aku tidak menuduh, hanya penasaran, dia orang yang berkuasa, jika dia benar-benar peduli kepada putri Marquess, dia langsung menyelidikinya.

"Tidak, Hiera tidak menemukan apapun" balasnya.

Dia jujur, aku tidak lanjut bertanya setelahnya.

"Membutuhkan pelayan pribadi baru?"

Aku menatapnya heran, itu bukan tugas dia, aku masih menjadi putri keluarga Marquess.

"Oh? Tidak perlu, biarkan Ayah yang mengurusnya" kataku.

Lagi pula, aku berharap tidak lama berpura-pura menjadi anggota keluarga bangsawan ini. Aku harus menemukan cara.

Setidaknya sampai aku tahu apa yang terjadi, sebagai rasa terima kasih ku karena sudah menampungku selama ini tanpa mereka sadari.

Hidup sebagai putri bangsawan yang segala kebutuhannya terpenuhi memang begitu nikmat, tetapi, sejujurnya aku ingin menjadi diriku sendiri.

Axeryda Aghrez, tanpa Clodera di belakangnya.

Aku menghela napas gusar.

"Ada yang mengganggumu?"

Aku memutar bola mata, "Kenapa kamu menjadi peduli?".

›‹

AxerydaWhere stories live. Discover now