Bagian Tiga

136 37 6
                                    

"Yas, kamu nggak dingin?"

Aku melirik Radit yang juga sedang melirikku. Dia mengusap lengannya yang tak terlindungi oleh apapun. Malam ini Radit hanya memakai kaos hitam polos berlengan pendek, berbeda denganku yang sedang memakai jaket abu tua, eh bukan jaketku sih. Tapi jaket Radit yang sudah menjadi hak milikku.

"Nggak."

"Aku yang dingin, Yas. Aku!" Radit mengusap kembali lengannya dengan kasar.

"Yaudah pulang sana, ih." Aku mendorong tubuh Radit yang sedang berjongkok di sampingku masih di depan Cafe yang sudah tutup sejak dua jam yang lalu. Dia terjatuh ke atas lantai, lebih tepatnya halaman Cafe yang beraspal. Aku menahan tawa melihatnya.

Radit bangkit. Dia melompat-melompat kecil menghilangkan rasa dingin yang masuk ke pori-pori kulitnya.

"Nyesel gue lari-larian ke sini, tadi." Radit mengomel dengan keras seakan berbicara pada dirinya sendiri, tapi tentu saja aku dapat mendengarnya.

"Bukan salah gue, elo jadi nyamperin gue gini."

Radit hanya menatapku, seperti heran karena apa yang baru aku katakan.

"Elo kebanyakan bergaul sama si Zayn, gaya ngomong aja udah mirip dia."

Radit melengos lalu memutuskan untuk meninggalkan aku sendiri.

"Dit, tunggu!"

Lelaki itu tidak menjawab, dia berjalan dengan sangat cepat. Kakiku yang terlalu lama berjongkok sepertinya kesusahan mengejar Radit.

"Radit, eh."

"RADIIIIT!"

"Radd-"

"Apa sih, Yas?!" Radit akhirnya berhenti melangkah. Dia menoleh dengan alis menyatu, menandakan perang akan segera terjadi.

"Anterin aku ke kontrakan." Sahutku pelan takut-takut Radit akan memakanku hidup-hidup.

***

Sore ini kegiatan mingguanku dengan Radit berjalan sebagaimana mestinya. Kami sedang duduk berdampingan dengan mata fokus ke hadapan masing-masing.

Aku sibuk menyusun jadwalku untuk mengajari anak-anak orang kaya dekat kampus, beberapa pekan terakhir aku merasa hampir tidak punya waktu untuk diri sendiri dari saking padatnya kegiatanku. Sengaja, sih. Semakin sibuk kan, kita jadi semakin lupa kalau sedang patah hati.

Di sampingku, Radit juga sedang sibuk. Tapi dia tidak sedang pura-pura seperti biasanya. Radit benar-benar sibuk dengan simulasi soal Bahasa Inggris untuk ujian Nasional bulan depan. Radit sebenarnya sudah mengerjakan soal simulasi itu secara online, namun belum puas dia juga membawa pulang soal simulasi yang gurunya berikan dan membawanya padaku. Bahkan soal-soal try out-pun dengan senang hati dia kerjakan. Dan akulah yang jadi repot karena harus mengevaluasi semua hasil kerjanya dan membahas setiap soal satu-persatu. Coba bayangkan.

"Yas, koreksi sekarang, ya. Ntar lagi UN nih." Radit menyodorkan 5 lembar kertas kepadaku. Aku melirik sekilas.

"Yang kemaren belum aku liat, Radit."

Radit termenung sebelum akhirnya membuka suara "Astaga, Yasna."

Lelaki itu mengeluh pelan, menampakkan kekecewaan di wajahnya. Dia mengambil kembali kertas seukuran folio yang dia letakkan di mejaku.

"Aku koreksi yang ini sekarang, yang kemaren aku koreksi besok ya." Seruku menghibur Radit. Kuambil alih kertas folio yang tadinya Radit pegang.

"Nggak usah dipaksain, Yas."

"Nggak apa-apa kok."

"Nggak usah."

Aku membuang napas keras. Menatap Radit tajam, memberi isyarat agar dia membiarkanku menyimpan kertas tersebut.

"Kamu kan udah bayar aku." Lanjutku pelan menyadari Radit sudah mengalah.

"Sibuk banget ya belakangan ini? Banyak tugas? Mahasiswa mah gitu. Makalah mulu ya? Atau masih sibuk memulihkan hati?"

Radit cerewet, sepertinya dia sudah tidak kesal lagi. Karena sekarang tangannya sibuk membolak-balik kertas di meja tempat aku meletakkan buku-bukuku menyusun jadwal. Pertanyaan terakhir Radit cukup menyebalkan by the way.

"Semua tebakan kamu salah. Aku udah move on dan aku lagi musim ujian." Aku mengasal, karena ingin dia berhenti mengacak-acak kertas berhargaku. Juga ingin menyembunyikan rasa sedihku sebentar, walaupun nanti pasti akan mengeluh lagi.

Radit tidak menjawab, dia malah merebut lagi kertas ujiannya yang sudah kumasukkan ke dalam map pink milikku.

"Nggak baik menyusahkan orang yang sedang susah, Yas."

"What?"

"Aku serius." Dia tersenyum tipis.

"Tumben banget, biasanya kamu suka kalo aku susah?"

"What?" Radit meniru gaya bicaraku.

"Tuh kan."

"Kapan aku begitu?"

Dia merapikan seragam putihnya tiba-tiba, berikut dasinya yang sudah miring entah ke mana. Ingin terlihat sok keren.

"Hampir tiap kali kita ketemu, Dit." Sahutku galak, menepis tangan Radit di dasi yang tak kunjung bisa dia rapikan. Lalu mencoba membantu anak laki-laki ini merapikannya dengan tanganku.

"Yah elo sih cengeng, manja, suka ngeluh. Gue kan jadi pengen liat lo makin tersiksa aja gitu."

Mulut pedas Radit barusan memaksaku untuk menarik dengan sengaja dasi di lehernya, alhasil Radit seperti tercekik. Aku tersenyum bahagia melihat kejadian yang aku sebabkan.

"Yas.. hhuk.."

Radit terbatuk, aku biarkan. Sampai dia malah menjatuhkan kepalanya ke pangkuanku yang sedang duduk di kursi panjang di dalam perpustakaan umum di kota kami.

Aku lekas mendorong kepala Radit, tak ingin ada orang yang berpikiran aneh tentangku dan cowok SMA ini.

"Dit, ih!"

Radit menyeringai mendengar seruanku, kesal sekali aku melihat seringaian itu. Seandainya Radit tidak sedang memakai seragamnya, dan seandainya kami sedang berada di tempat sepi. Sudah kutendang Radit jauh, mungkin sampai langit ke tujuh.

"Jangan sampai ya orang-orang mikir aku lagi menindas anak di bawah umur."

"Emang aku peduli."

Aku menatap Radit galak.

"Kamu yang mulai duluan, Yas." Serunya pelan, membenarkan posisi duduknya. Lalu merapikan kertas-kertasku yang tak sempat dia acak.

***





Hi,
Semoga masih betah bacain ceritaku ya teman-teman. Jangan lupa vomment :)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 04, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pensil WarnaWhere stories live. Discover now