00.16. : Alasan

1.7K 234 20
                                    

"Rere...."

Suara teriakan itu menggema memenuhi seisi koridor, sukses membuat semua pasang mata mengarah pada sosok jangkung yang berlari kencang mengabaikan tatapan semua orang di koridor siang itu. Kaki panjangnya berpacu mengejar sosok yang masih tenang berjalan tanpa gangguan walaupun namanya di gemakan dengan kencang. Sosok jangkung itu mendecak, melebarkan langkahnya dan begitu jarak mereka tinggal satu langkah, tangannya merangkul pundak sempit Rere. Satu hal yang membuat Rere terkejut setengah mati.

"Hai," Naren, sosok jangkung itu tersenyum manis memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Rere membalas senyumnya dengan senyum canggung.

Keduanya berjalan beriringan, menuju ke arah kantin yang pada istirahat kedua ini cukup ramai. Sebenarnya tujuan pertama Rere adalah ruang kesenian, ruang dilantai tiga sekolahnya yang sepinya mengalahkan kuburan itu adalah tempat tongkrongan wajibnya tiap istirahat kedua. Tapi, karena ada Naren niat awalnya itu diurungkannya. Dan dengan sedikit berat hati ia mengikuti langkah Naren menuju kantin sekolah, tempat yang paling Rere hindari lebih dari apapun.

"Cari meja ya, gue yang pesan makanan," Naren berkata, sedangkan Rere mengernyitkan dahinya berusaha mencerna apa yang Naren katakan. Maklum saja, alat bantu dengarnya ketinggalan di rumah, salah satu hal paling apes yang Rere dapatkan hari ini.

"Gak bawa alat bantu dengar?," Naren yang baru saja menyadari hal itu bertanya. Kali ini memelankan gerak bibirnya agar Rere bisa menangkap pertanyaan yang diucapkannya.

Rere nyengir lebar, menggaruk belakang kepala yang tidak gatal dan perlahan mengangguk mengiyakan. Naren menghela nafas gemas, mengacak rambut Rere. Detik berikutnya ia merogoh saku seragamnya, mengeluarkan sesuatu dari sana sambil tersenyum lebar.

"Untung aja gue bawa," mata Rere membulat sempurna saat Naren menyodorkan sebuah alat bantu dengar kearahnya. Sepasang netra rubahnya menatap bergantian kearah alat bantu dengar itu dan juga Naren yang sedang nyengir lebar didepannya itu. Hal yang membuat Naren gemas dan meraih tangan Rere dan menaruh alat bantu dengar itu di tangannya.

"Ambil, gue beliin itu buat lo," Naren berkata santai. Mengabaikan ekspresi Rere yang masih sangat kentara mengisyaratkan sebuah rasa keterkejutan.

"Aapi, ini ahal Aren," Naren tertawa kecil dan menggeleng pelan mendengar kata-kata tidak jelas yang keluar dari mulut Rere.

"Gak kok, lagian itu sebagai permintaan maaf gue gara-gara perbuatan Jeno," ucapnya lagi.

Rere mengulum bibirnya, menundukkan kepala dan menatap alat bantu dengar baru yang ada di dalam genggaman tangannya. Kedua ujung bibirnya tertarik keatas, membentuk sebuah senyuman manis.

"Maacih Aren,"

Naren tersenyum manis, mengangguk singkat dan menarik tangan Rere untuk cepat-cepat masuk ke kantin karena demi apapun perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Sudah sejak tadi cacing-cacing dalam perutnya itu keroncongan.

"Mau pesan makanan apa?,"

Rere yang sedang sibuk memasang alat bantu dengar itu tertegun walaupun detik berikutnya tersenyum dan menjawab pertanyaan Naren.

"Eum, i ayam ama s eruk," ucapnya semangat. Naren mengangguk paham.

"Cari meja ya, gue yang pesan makanan," Rere mengangguk, membiarkan Naren pergi ke salah satu warung di kantin untuk memesan makanan. Sedangkan dirinya mencari tempat duduk.

Beruntung sekali tidak memerlukan waktu lama ia menemukan tempat yang masih kosong. Cepat-cepat ia berjalan menuju ke sana dan mendudukkan diri, menunggu Naren yang masih sibuk memesan makanan di sana.

Dear BrotherWhere stories live. Discover now