00.03. : Ayah

2.3K 300 13
                                    

"Yah,"

Sosok itu tersenyum sangat lebar kala menyambut kedatangan pria yang sangat ia rindukan, sementara itu pria paruh baya yang baru saja menginjakkan kakinya di rumah besar miliknya itu mendengus dan melempar tatapan sinis pada sosok mungil itu.

Hampir saja sosok mungil itu memeluk pria tersebut. Namun, dengan cekatan pula pria tersebut mendorong tubuh ringkihnya hingga terjatuh kebelakang dengan keras. Sosok itu meringis, tapi tidak lama karena sekarang ia menatap lembut penuh kasih sayang kearah pria yang menjulang didepannya itu.

"Yah re angen yah," pria itu menatap jijik kearah sosok tersebut, menatap seolah sosok mungil itu adalah sampah paling menjijikkan yang ada di dunia ini. Sedetik kemudian tanpa peduli apa yang akan sosok itu lakukan, pria tersebut memilih pergi meninggalkannya.

"Yah, dah akan?," Tidak mengindahkan penolakan dari pria tersebut, sosok itu bangkit berdiri dan mengejar pria tersebut.Pria itu memutar bola matanya jengah, menghentikan langkahnya dan berbalik menatap sinis pada sosok dihadapannya itu.

"Yah au akan ma Rere?,"

Pria itu mendekat mengabaikan kalimat-kalimat tak lengkap yang sosok mungil itu katakan. Sungguh, dia sudah sangat lelah karena pekerjaannya dan sekarang disaat ia ingin beristirahat sosok mungil tak tahu etika ini membuntutinya dengan terus menerus menanyakan hal-hal yang tidak penting. Hilang sudah rasa sabarnya.

Plakk...

Sebuah tamparan keras melayang tepat di pipi kanan sosok mungil itu, membuat sosok mungil itu hilang keseimbangan dan jatuh dengan keras di keramik dingin rumahnya.

"Berhenti panggil saya ayah, karena kamu bukan anak saya!," Suara bentakan keras itu menggema di seluruh rumah.

"Saya tidak punya anak cacat seperti kamu asal kamu tahu," lanjutnya penuh penekanan di setiap kalimat yang ia ucapkan. Sosok mungil itu menunduk dalam, menyembunyikan wajahnya tidak berani menatap kepada pria tinggi tersebut.

Pria itu mendengus kasar, menendang kaki sosok mungil tersebut sebelum dirinya melenggang pergi menuju kearah kamarnya.

"Rere uma angen ayah," sosok mungil itu berkata lirih dan menatap nanar kearah pintu cokelat kamar ayahnya yang sudah tertutup rapat.

                                        🖤

"Tumben mau nginep?," Denise mendecih menatap kearah Marten yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk yang melingkar di lehernya. Yah, seperti apa yang ia katakan pada pak Kirman, Denise benar-benar berada di rumah Marten teman dekatnya.

"Bukannya ayah lo balik ya Den?," Marten bertanya sambil membuka pintu lemari dan mengambil asal kaos dari dalam sana. Denise mengangguk mengiyakan dan menatap ponselnya tanpa minat.

"Kenapa lo malah nginep di rumah gue kalau tau ayah lo balik?," Kini tubuh kurus Marten sudah berada di samping Denise. Denise menghela nafas panjang, melempar asal ponselnya ke atas kasur Marten.

"Gue males ketemu," ucapnya singkat yang mengundang kerutan samar di dahi Marten.

"Kok gitu?," Marten kembali bertanya membuat Denise mendengus kesal dan menatap sinis kearahnya.

"Nanya mulu gue sentil jidat lo," Marten memutar bola matanya jengah sambil berdecak kesal ketika Denise tidak menjawab pertanyaannya.

Hah, sebenarnya Marten tidak perlu jawaban karena sudah sejak lama ia tahu seluk beluk keluarga Denise. Terkadang ia tidak habis pikir saja dengan keadaan keluarga temannya ini. Terlalu rumit, tapi bagaimana lagi ia tidak berhak untuk ikut campur dalam masalah keluarga Denise.

"Gimana kabar adik lo?," Marten kembali bersuara setelah sekian lama keheningan mengungkung mereka.

"Gue gak punya adik," Denise menjawab sekenanya. Marten menghela nafas panjang, matanya melirik kearah Denise yang kini tengah berbaring tenang di atas kasurnya sambil menatap langit-langit kamarnya.

"Jangan ngadi-ngadi lo," Marten menepuk pelan paha Denise membuat temannya itu melirik sejenak kearahnya sebelum kembali sibuk memperhatikan langit-langit kamarnya lagi.

"Emang bener kok, gue anak tunggal gak punya adik," Denise masih kukuh, sementara Marten mengacak rambutnya dan ikut membaringkan tubuhnya di samping Denise.Mereka berdua terdiam, menyisakan keheningan yang janggal.

"Harusnya lo bersyukur terlahir bukan sebagai anak tunggal, masih ada tempat untuk berbagi cerita," Marten berkata lirih namun masih dapat Denise dengar.

"Gue aja pengen banget punya-"

"Dia bukan saudara gue ten," Denise memotong perkataan Marten sebelum temannya itu selesai menyelesaikan perkataannya.

Marten mengerjapkan matanya melirik kearah Denise yang masih setia menatap langit-langit kamarnya. Bedanya, sekarang rahang temannya itu mengeras dan sorot matanya berubah semakin tajam.

"Sampai kapan sih lo gak mau mengakui dia sebagai adik lo?," Marten mendengus kasar. Sudah sangat jengah dengan jawaban Denise.

"Si cacat itu bukan anak ayah gue dan sampai kapanpun gue gak akan pernah sudi mengakui anak pembawa celaka itu sebagai adik," lanjutnya dengan penuh penekanan di setiap kalimat yang terucap.

Marten terdiam, matanya melirik kearah Denise dan berdehem singkat untuk mencairkan suasana. Ia hanya tidak habis pikir saja dengan pola pikir Denise, tapi mau bagaimanapun ia juga tidak bisa ikut campur karena tidak ingin dianggap lancang.

"Eum, oke tapi gue cuma mau bilang semoga lo gak menyesal dibelakang nantinya," Denise mendecak sebal melirik kearah Marten yang kini mulai bangkit dari posisi tidurnya.

"Ck, ngapain gue nyesel?,"





















📌 Hehe maaf ya kakak-kakak atas kegajean saya. Semoga suka dan jangan lupa tinggalkan jejak berupa bintang atau saran yang membangun.

Salam sayang dari saya

















Dear BrotherTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon