Salju ke delapan

26 5 0
                                    

Rara memekik menahan sakit pada punggung tangannya. Tekanan yang diberikan sepatu itu menyebabkan buah yang ia lindungi berubah bentuk menjadi pipih dengan sari-sarinya yang mengalir keluar menyebabkan jejak basah di aspal jalan dan telapak tangan Rara. Rara mendongakkan kepalanya pada pemilik kaki bersepatu boot hitam itu. Pria bertubuh tinggi itu merasakan kakinya menginjak sesuatu yang tidak biasa. Perlahan ia mengalihkan pandangannya ke arah Rara yang sedang meringis menahan rasa sakit pada tangannya tapi tak bisa berkata apa-apa dalam bahasa mandarin maupun katon.

Pria itu terdiam sebentar lalu mengangkat kakinya, mengalihkannya dari atas tangan Rara. Ia meminta maaf dan menanyakan keadaan Rara dalam bahasa Inggris dari balik kacamata hitamnya.

"Oh, oke, oke. I am fine," kata Rara sambil mentiup-tiupi punggung tangannya yang memerah lengkap dengan motif alas sepatu yang tertinggal di atasnya. Tatapannya lesu memandang buah yang kini telah hancur itu. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan Ce Wu Fei padanya. Semoga saja tidak seperti yang ia dengar maupun ia lihat di tv selama ini.

Rara berjinjit-jinjit sembari mendongakkan kepalanya menelusuri jejak majikannya dari balik kerumunan orang-orang yang menghalangi pandangannya.

"Are you looking for someone?"

("Apa kamu sedang mencari seseorang?")

"Oh, yes. I'm looking for my boss. The woman who walked with me."

("Oh, iya. Saya sedang mencari bosku. Wanita yang tadi berjalan denganku.")

Pria itu memandangi Rara dengan pandangan penuh arti, namun tak diketahui Rara karena ia masih sibuk melayangkan pandang sejauh mungkin mencari jejak majikannya.

"May I help you to search your boss?", kata pria itu menawarkan bantuan yang langsung di-iya-kan oleh Rara.

("Bolehkah aku membantumu mencari majikanmu?")

Pria itu mengeluarkan sebuah sapu tangan dari dalam saku coat-nya lalu meraih tangan Rara yang kotor berlumuran sari jeruk bercampur pasir. Ia menyapukannya ke telapak tangan dan punggung tangan Rara dengan lembut seolah mereka sudah saling dekat. Rara tersadar apa yang dilakukan pria itu padanya. Ia segera menarik tangannya dan memasukkannya ke dalam saku hijacket-nya lalu berjalan menyusuri jejak si Majikan.

❄❄❄❄❄

Rara melihat stiker I Love Indonesia di sudut atas koper milik pria itu. Sepertinya dia dari Indonesia, atau ... pernah berkunjung ke Indonesia.

"Where do you come from?"

("Darimana kamu datang?")

Rara membuka pertanyaan sembari mereka berjalan menyusuri jalanan pasar Mongkok.

"Indonesia. I come from Indonesia."

("Indonesia. Saya datang dari Indonesia.")

Rara membalikkan badannya tepat menghadapan pria maskulin itu. Ia begitu senang bisa bertemu teman baru sekampung halaman dengannya, selain buruh migran sepertinya.

"Benarkah! Darimana Bapak berasal? Saya dari Kediri, Jawa Timur."

"Ehm ... saya dari Yogyakarta," kata pria itu sembari membetulkan posisi kacamatanya agar tak menyisakan celah yang bisa memperlihatkan bola matanya dari arah samping.

"Woaah ... kita sama-sama dari Jawa! Oh, iya. Perkenalkan, saya Rara. Saya baru saja datang kemarin, tapi mungkin nanti saya harus sudah mendapat teguran dari Laopan," keluh Rara seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal.

"Oh, maaf, Pak. Tidak seharusnya saya menceritakannya pada Bapak."

"Tidak. Tidak apa-apa. Kita sama-sama perantauan disini. Kita bisa menjadi teman mulai sekarang," tangan pria itu tak tahan untuk tak menepuk bahu Rara. Sejenak, ia lupa atas apa yang telah dilakukan Rara padanya.

"Oh, iya, ini untuk mengganti jeruk yang terinjak tadi. Dan ... sepertinya kita kehilangan jejak majikanmu. Mungkin sebaiknya kamu langsung pulang saja," kata pria itu seraya membuka kantong plastik di tangannya lalu mengambil satu buah jeruk mandarin dan memasukkannya ke dalam keranjang belanja milik Rara. Pria itu berlalu meninggalkan Rara yang masih berdiri terdiam mematung tak bergerak dari tempatnya.

❄❄❄❄❄

Rara terduduk di trotoar jalan. Kakinya lemas tak tahu harus kemana. Tak ada seorang pun yang ia kenal maupun bisa ia mintai pertolongan.

Rara meletakkan tas belanjanya di samping tubuhnya. Lengannya memeluk kedua kakinya yang dilipat menempel di dadanya. Ditenggelamkannya wajahnya ke celah-celahnya. Ia merenung, lalu menangis.

Isak tangisnya sama sekali tak mengganggu perhatian orang-orang yang lewat lalu lalang. Rara semakin merana, terpikir di benaknya menyesal telah nekat mengembara ke negeri orang hanya untuk menghindari perjodohan. Ia terlalu kekanak-kanakan.

Seorang pria mengusap lembut kepala Rara membuatnya mendongakkan kepala mencari arah kelembutan itu. Pria itu berjongkok tepat di depan Rara. Ia menyentuh tangan Rara.

"Kenapa kamu menangis?"

"Bapak yogyakarta?"

Pria itu tersenyum mendengar bagaimana Rara memberinya nama panggilan.

"Ayo kuantar kamu pulang ke rumah majikanmu," kata pria itu sembari membantu Rara berdiri.

"Oh, iya. Jangan panggil Bapak lagi, ya? Aku masih muda, belum menikah. Panggil Mas saja."

"Mas ...?" Rara menunggu jawaban.

"Mas Yogya saja tidak apa-apa," pria itu tersenyum lembut pada Rara.

Mereka berjalan ke arah salah satu taxi yang berjejer di pinggir jalan. Pria itu membuka pintu belakang mobil agar Rara bisa memasukinya lebih dahulu.

"Dimana rumah majikanmu?"

Rara menyodorkan sebuah catatan di aplikasi noted di ponselnya. Pria itu lalu mengatakannya pada siji.

Tanpa sepengetahuan Rara, pria itu mengamati pahatan kayu kecil yang tergantung di ujung ponselnya. Pahatan kayu berbentuk butiran salju persegi enam yang sangat ia kenal.

❄❄❄❄❄

Mobil itu menghentikan lajunya di depan sebuah komplek pemukiman dengan gedung-gedung tinggi menjulang berjejer di kanan dan kirinya.

"Kowloon Tong," siji itu menyebutkan tempat dimana mereka berhenti. Pria itu meminta agar ia mau menunggu sebentar sebelum melanjutkan perjalanan.

"Kita sudah sampai. Ayo turun," pria itu turun lebih dulu lalu disusul Rara bergerak ke sisi pintu dimana pria itu berdiri di samping pintu mobil yang sedang terbuka. Pria itu mengulurkan telapak tangannya tepat di atas kepala Rara agar ia tak terbentur atap mobil ketika hendak berdiri.

"Oh, iya. Bolehkah kucatat nomor hape-mu?" Pria itu mengeluarkan ponselnya dari saku coat lalu bersiap mencatatnya.

"Boleh ..., Mas."

Rara pun mencatatkan nomor hape-nya pada layar hape pria itu. Pria itu pun berpamitan setelah Rara mengucapkan terima kasih atas bantuannya hari ini. Ia kembali memasuki mobil berwarna merah putih itu dan melaju mengikuti arus lalu lintas yang ada di sana menuju area Universitas Hongkong.

❄❄❄❄❄

Rara sedang mengamati Indra yang sedang mengerjakan tugas prakaryanya. Sepotong kayu berukuran kecil yang dipahat menyerupai bentuk butiran salju persegi enam dengan inisial R di tengah sisinya dan inisial I di tengah sisi lainnya.

Indra meniup serbuk-serbuk kayu yang masih menempel di pahatan itu lalu diletakkannya ke telapak tangan Rara, "suatu hari nanti, kita harus bisa kesana. Ke negeri dengan butiran salju persegi enam berserakan dimana-mana."

Rara menerima pahatan salju itu dan menggenggamnya dengan penuh keyakinan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 28, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dong Ji In The HeartWhere stories live. Discover now