Berdikari

138 30 4
                                    

Setelah kabar kegagalan Airlangga sampai ke telinga Papa, Airlangga terlihat duduk di sebrang Papa di ruang makan, menunggu Papa menyelesaikan makanannya. Ical hanya mengamati mereka berdua dari ruang keluarga.

"Apa yang paling kamu takuti dari sebuah kegagalan?" Tanya Papa begitu beliau menyelesaikan makannya.

"Rasa kecewa orang-orang" jawab Airlangga "Papa tau lah rasanya gagal, gimana reaksi orang sekitar"

"Jawabanmu kok malah bahas orang-orang sih dek? Yang gagal 'kan kamu"

"Yang gagal aku pa, yang ngerasani orang lain"

"Sejak kapan kamu peduli sama anggapan orang-orang?" Tanya Papa, matanya intens menatap anak bungsunya.

"Dari dulu. Because they made me so. Dari dulu semuanya bilang Airlangga pinter, Airlangga bisa, anak emas, jenius, bla bla bla. Begitu aku gagal.. liat.. liat besok kalau kumpul keluarga.. liat"

Mendengar jawaban Airlangga dengan suara bergetar, hati Ical rasanya seperti di sayat ribuan mata pisau. Tapi Ical hanya bisa diam di tempatnya karena takut akan memperkeruh suasana.

"Aku itu nggak mau peduli pa, beneran" ucap Airlangga.

"Kegagalan itu bukan tolak ukur kecerdasan seseorang dek" jawab Papa, lalu menoleh pada Ical yang masih memandangi mereka berdua "ndak apa-apa, baru jatuh satu kali, keciiiil" ucap Papa sambil menjentikkan jarinya.

"Nangis kalo pengen nangis" Ical menyahuti.

"Coba kamu berguru sama yang udah berpengalaman jungkir balik" ucap Papa sambil menunjuk Ical yang hanya bisa tertawa.

Dari keempat bersaudara, Ical memang yang paling terlihat beda. Ical adalah satu-satunya Introvert, satu-satunya anak dengan waktu sekolah normal, tanpa akselerasi seperti ketiga saudaranya, Ical juga yang paling sering gagal. Gagal masuk universitas contohnya, dia sudah mengalami penolakan sebanyak enam kali sampai akhirnya diterima di jurusan seni murni melalui jalur mandiri, gelombang terakhir.

"Kegagalan itu bukan untuk di tangisi, adek! Kegagalan ada untuk dijadikan pembelajaran" Papa berucap sambil mengepalkan tangannya ke udara, matanya berapi-api.

"HALAH TAI" Airlangga berteriak lalu beranjak pergi dari ruang makan, menghampir Ical.

"Kok tai sih hahahahhahaha" Papa hanya bisa menertawakan anak bungsunya itu, begitu juga dengan Ical yang hanya bisa tetawa sambil memeluk Airlangga yang kini duduk disampingnya. Airlangga berakhir menangis dalam pelukan Ical sampai satu jam kedepan.
Sadya yang sejak kemarin menginap di rumah Ical, baru saja bangun dan mendapati Airlangga menangis di pelukan Ical, sama seperti kemarin ketika Airlangga menangis di pelukannya.

"Airlangga kamu mau Wedang ronde ndak?" Ucap Sadya sembari duduk dan menepuk perlahan punggung Airlangga.

"Di traktir nggak?" Airlangga bertanya sambil memandang Sadya, mukanya merah, matanya sembab.

"Iya" jawab Sadya lalu keluar membeli Wedang Ronde yang kebetulan lewat di depan rumah.

"Comfort food kamu ndeso ya Airlangga" ucap Ical.

"Ilat jowo ape diajak urip ning jerman 25 tahun yo tetep ilat jowo to cal" sahut Sadya dari ruang makan, Ical hanya bisa tertawa sedangkan Airlangga berjalan menuju ruang makan untuk minum segelas air putih lalu menyantap wedang ronde yang telah disiapkan oleh Sadya di wadah mangkok berwarna merah muda, dengan nama Airlangga tertulis di dindingnya, sebuah kado ulang tahun Airlangga yang ke 20tahun, spesial dari Mas Ical.
(Lidah jawa walaupun diajak hidup di jerman 25 tahun juga tetep cita rasanya orang jawa lah cal)

Karya Icarus | Mark Lee✔Where stories live. Discover now