Part- XVIII - Rania

51 9 0
                                    

Bagai di sambar petir, Ramanda terkejut melihat pemandangan mengenaskan yang ada di depannya. Rania yang tergeletak pingsan di kamar mandi dengan tangan penuh darah. Ramanda segera memboyong tubuh pingsan Rania ke rumah sakit terdekat dengan kosan perempuan itu.

Ia segera mengambil ponselnya yang berada di saku kemejanya lalu dengan panik menelepon Mawar - kakak Rania-, dan memberitahukan kepada perempuan itu bahwa Rania tengah pingsan dan sedang dibawa ke rumah sakit terdekat. Mawar langsung shock mendengar bahwa adik bungsunya telah pingsan seperti yang diberitahukan oleh Ramanda.

"A-apa Ram? Rania pingsan? Tapi kenapa, Ram? Kemaren pas dia pulang ke rumah Mami dia baik-baik saja, kok. Kamu coba jujur sama Kakak, Ram. Apa yang kamu sembunyikan tentang Rania dari kami?" tanya Mawar panik.

"Ceritanya panjang, Kak. Aku enggak sempat jika bercerita dari telepon. Memang ada hal yang terjadi dengan Rania belakangan ini, tetapi aku juga enggak tahu kalau Rania sampai seperti ini, yasudah coba Kakak kabari Tante, ya. Aku tunggu kalian di rumah sakit." Ramanda memutuskan sambungan teleponnya setelah mendapatkan jawaban iya dari Mawar.

Lelaki itu dengan hati yang sangat gelisah menyetir mobil yang ia kendarai. Ramanda mengelap keringat yang terus membanjiri wajah tirusnya. Ramanda telah sampai di Rumah Sakit Umum di tengah-tengah kota. Ramanda langsung membopong tubuh lemah Rania lalu berteriak panik memanggil perawat.

"Dokter, suster, tolongin sahabat saya ini yang pingsan sejak tadi, tolongin Dokter, saya mohon, please ... Selamatkan Rania," lirih Ramanda kepada Dokter yang sedang berjaga di lobby rumah sakit itu yang dibantu dengan beberapa orang suster yang terlatih.

"Baik, Bapak coba tunggu di sini sebentar, pasien akan kami periksa dan langsung ditangani." Dokter Rian yang masih tergolong muda masuk ke ruangan tempat Rania di rawat sementara.

Ramanda menunggu di depan ruangan Rania dengan harap-harap cemas. Ia sangat merasa bersalah karena sekali lagi tak dapat menolong perempuan yang malang itu. Ramanda tergugu dalam diam. Bahunya terguncang hebat karena ia berusaha menahan isak tangisnya agar tak mengganggu orang- orang yang sedang berlalu-lalang di depan ruangan itu.

Ramanda terduduk di lantai dingin rumah sakit itu. Ia tak bisa menahan rasa sedihnya. Isakan kecil lolos juga dari bibirnya. Ia takut akan kehilangan Rania yang sudah dianggapnya sebagai adiknya sendiri. Ia teringat akan almarhumah Rinai -adik kandungnya- yang meninggal bertahun-tahun silam. Sekali lagi, Ramanda menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa menjaga Rania dengan baik.

Setelah beberapa menit menangis, Ramanda tetap terduduk di lantai dingin depan ruangan Rania yang tengah diperiksa oleh Dokter Rian. Ponsel Ramanda bergetar, lalu ia mengambil ponselnya di saku celana kepar yang bewarna biru langit itu, lalu mengangkat telepon dari Mami Rania.

*****

"Halo, Rama? Ini Tante dan Om, juga Mawar udah sampai di rumah sakit, kamu di mana, Ram? Bagaimana keadaan Rania, Nak?" Mawaddah - Mami Rania- bertanya dengan panik dan dengan suara serak karena tangisnya.

"Rama sedang menunggu di depan ruangan Rania, Tan. Rania sekarang masih diperiksa oleh Dokter. Sudah satu jam, tapi belum keluar juga dari ruangan itu. Kami di lantai satu, Tan. Di ruangan sebelah ICU. Tante dan yang lain segera ke sini, ya," ucap Ramanda dengan suara parau.

"Oke, Ram, kami ke sana, ya. Kamu tungguin di situ, ya." Mami Rania menutup sambungan teleponnya lalu berjalan tergesa menuju ruangan yang telah diberitahukan oleh Ramanda barusan.

"Rama? Gimana Rania? Sudah tahu gimana kondisinya?" tanya Mami Rania begitu sampai depan ruangan Rania yang berada sebelah ruangan ICU.

"Belum tahu, Tan. Rama pun cemas banget dengan keadaan Rania. Duduk dulu, Tan, Om, dan Kak Mawar." Ramanda mempersilahkan keluarga Rania untuk duduk di kursi tunggu yang telah disediakan.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Ram? Rania kenapa kok sampai pingsan begitu? Coba jujur sama Tante, Ram, please ...," tanya Mami Rania sambil menggenggam kedua telapak tangan Ramanda dan dengan mata yang berderai air mata.

Ramanda menghela napas pelan. Lalu menatap satu persatu manik mata keluarga Rania yang tengah berada di depannya. Ia sangat berat untuk menceritakan hal memilukan ini, namun karena sudah begini ceritanya, mau tak mau Ramanda akan menceritakan semua hal yang terjadi sama Rania hingga ia nekat untuk bunuh diri sebanyak dua kali.

"Sebelumnya Rama mohon maaf kepada Om, Tante, dan Kak Mawar karena tidak bisa menjaga amanah yang diberikan kepada Rama untuk menjaga Rania," Ramanda memotong kalimatnya karena hatinya sesak bila mengingat tentang malam itu. Malam naas yang terjadi satu bulan yang lalu.
Mami Rania, Papi, dan juga Kakak Rania masih setia menyimak setiap perkataan dari Ramanda. Mereka sabar menunggu cerita lanjutan dari lelaki yang telah berjasa menolong Rania hari ini.

"Kira-kira satu bulan yang lalu, atau lebih, Rania pergi sama temannya lelaki. Rama tidak tahu siapa lelaki itu, Tan. Cuma ketika ditengah jalan, Nia menelepon Rama, ia kurang nyaman dengan laki-laki itu, dan minta dijemput oleh Rama di simpang tiga dekat dengan kosannya. Namun, setelah satu jam Rama menunggu, Rania tak juga muncul, Tan." Ramanda menghela napas kembali, lalu melanjutkan perkataannya.

"Peristiwa malam itulah yang membuat Rania seperti ini, Tan, Rania mencoba bunuh diri, Tante, Om." Ramanda menghentikan ucapannya, ia tersedu kembali, ia teringat akan kejadian malam itu, di mana Rania ingin melompat dari sungai dalam keadaan yang tragis, bajunya koyak di sana-sini.

"Apa, Ram? Bunuh diri? Emang apa yang sebenarnya terjadi dengan Rania, Rama?" Mami Rania bertanya dengan penuh air mata.

"Nia diperkosa, Tan. Dan ternyata ia sekarang sedang hamil, makanya Nia mencoba bunuh diri kembali dengan menyayat tangan kirinya." Ramanda mengambil sesuatu dari kantong kemejanya. Lalu menyerahkannya dengan Mami Rania.

Semua yang mendengar cerita Ramanda barusan shock. Mami Rania langsung pingsan di pangkuan suaminya -Papi Rania-. Mawar tak menyangka kejadian pahit ini menimpa adik bungsunya. Ia masih mematung di tempatnya dengan air mata yang menganak sungai. Tungkainya luruh ke lantai dingin itu. Ia tak menyangka kejadian tragis itu menimpa adiknya yang masih berumur dua puluh tahun.

Dokter Rian baru saja keluar dari ruangan Rania dirawat. Ia menghampiri keluarga Rania yang masih shock dengan berita dari Ramanda.

"Dengan keluarga, Rania?" Dokter Rian bertanya dengan wajah serius.

"Iya, Dok? Saya papinya Rania. Bagaimana keadaan putri saya, Dok? Rania tidak kenapa-kenapa, kan, Dok?" tanya Papi Rania dengan raut cemas.

Dokter Rian tampak menghela napas.
"Alhamdulillah, pasien sudah melewati masa krisisnya. Pasien kehilangan banyak darah, untung saja bank darah rumah sakit ini menyetok golongan darah yang sama seperti pasien. Rania hampir saja tidak selamat jika telat satu menit saja dibawa ke rumah sakit. Bapak dan Ibu harus berterima kasih kepada, lelaki yang membawa anak Bapak beberapa saat lalu." Dokter Rian menyampaikan kondisi Rania dengan tersenyum tipis.

"Oh, iya, Dok. Bagaimana dengan janin yang dikandung anak saya? Selamat atau tidak, Dok?" Walaupun Rania diperkosa, tetapi bayi yang dikandungnya tidak bersalah, dan Papi Rania tidak mau kehilangan calon cucunya itu.

"Untungnya janin pasien kuat, Pak. Alhamdulillah, janin anak Bapak baik-baik saja. Oh iya, saya harap Bapak dan keluarga tidak membesuk pasien untuk sementara. Saya takut keadaan pasien bisa drop."

"Terus, kapan kami bisa melihat anak kami, Dok?" tanya Mami Rania yang telah tersadar dari pingsannya barusan.

"Kalau sudah mulai stabil, mungkin besok pagi, Ibu dan Bapak boleh menjenguk pasien ke dalam. Saya permisi dulu, ya, Pak, Bu," ujar Dokter Rian lalu berjalan meninggalkan keluarga Rania yang masih shock itu.

*****

Bersambung ...
1174 kata

Rinai Rania (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now