Chapter 4

27 24 0
                                    

Setelah berbicara dengan Alexa. Aku segera pulang melakukan aktivitas seperti kemarin, mandi, sarapan, lalu menyiapkan dokumen untuk pendaftaran sekolah besok.

Kenapa besok? Ya karena hari ini adalah hari minggu, aku ingin menikmati hari minggu dengan jalan-jalan mengelilingi kampung ini.

Tapi semuanya berbeda, om Guntur mengajakku untuk melihat pekerjaannya. Supaya nanti aku terbiasa dengan lingkungan ini. Dia memiliki warung makan yang menunya kebanyakan sea food. Nggak salah lagi, karena letak warungnya dekat dengan pantai sadeng, hanya dengan melangkah beberapa meter sudah sampai di gerbang pelabuhan kapal nelayan.

Setelah sarapan selesai, aku segera berangkat menuju warung makan milik om Guntur. Tidak terlalu jauh dari rumah nenek, sebelum sampai dipesisir ada suatu tempat wisata yang indah. Tapi sayang, wisata ini belum dibuka secara simbolis, sehingga belum ada tiket pembayaran untuk memasuki wisata ini, alias gratis.

Bengawan solo purba, itu nama kerennya. Atau warga sekitar sering menyebutnya dengan "suling." Dari atas sini terlihat indah penorama alam yang diberikan tuhan. Om Guntur bilang, akan lebih indah lagi kalau datang di pagi hari sebelum matahari terbit, sembari menunggu sunrise muncul.

Ternyata pada zaman dulu, bengawan solo purba ini adalah muara dari pantai sadeng. Air sungai yang deras dan dalam mengalir langsung ke bibir pantai, mungkin kedalaman muara ini sekitar lima ratus meter hingga satu kilometer, tergantung kita melihat dari sisi sebelah mananya. Karena semakin kita turun ke pantai, kedalaman muara ini terlihat semakin dangkal.

Jalan beraspal yang terletak diatas muara ini berkelok-kelok seperti ular, terus turun kebawah tanpa ada jalanan yang mendatar. Pemandangannya begitu indah. Mungkin dulu, dibawah sana dialiri air yang begitu banyak dan deras. Tapi sekarang air itu kandas karena daratan gunungkidul yang naik karena pergeseran lempeng. Kini air-air itu digantikan dengan tanaman warga.

Tanaman itu ditanam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, seperti menanam padi, kacang tanah, jagung, dan singkong, sesuai musimnya masing-masing.

Sesampainya dilokasi aku benar-benar terpesona. Banyak kapal disana, semua terlihat dari depan warung makan milik om Guntur.

"Kamu mau ke pantai?" Tawar om Guntur.

Aku masih terpaku dengan panorama itu, sehingga tidak terlalu mendengarkan tawaran om Guntur tadi. Beliau terlihat baik kepadaku.

Aku mulai tersadar saat bahuku terguncang karena sentuhan tangan dari om Guntur.

"Ehmm,, ke... kenapa om?" Tanyaku terbata-bata, karena sedikit terkejut.

"Kamu mau kesana? Kesana aja, keliling lihat-lihat suasana pantai." Ujarnya.

Aku sedikit tersenyum, kemudian segera mengalihkan perhatian ke bibir pantai, lagi. "Disana ada tempat yang namanya kubus, kamu bisa kesana dan merasakan seolah kamu berada ditengah air laut." Imbuhnya.

"Oh ya? Serius?" Aku setengah tidak percaya, apa mungkin disini menyediakan spot seperti itu.

Aku mulai melangkah kedalam pelabuhan, berbelok melewati TPI, terus mengikuti arah yang ada di tepian jalan. Belok kiri, tidak jauh lagi kemudian belok kekanan melalui gang kecil.

Belum sampai diujung jalan sudah nampak kapal-kapal yang berbaris rapi didermaga. Suara dentuman ombak terdengar jelas disini, cipratan air ombak juga sampai ditepian dermaga. Disini sedang pasang tinggi sehingga cipratan air bisa sampai ketepian hingga jarak sepuluh meter.

Sesampainya dikubus, aku terpana dengan apa yang baru saja aku lihat. Pantai ini diapit oleh dua gunung disisi barat dan timur.

Aku segera melangkah menuju ujung kubus, suara dentuman ombak terdengar sangat jelas disni, gulungan-gulungan ombak datang silih berganti menabrak batuan kubus yang tertata rapi dibibir pantai.

YOU'RE MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang