🔪1 - Kematian Menggenaskan🔪

36 17 25
                                    

"Sebelum lanjut membaca, alangkah baik jika meninggalkan jejak like dan komen. Jangan pelit ya kawan!"

***

Desiran angin malam menusuk ke ari-ari kulit. Seorang pemuda menyeruput kopi hangat dengan nikmat. Arto-pemuda berusia tujuh belas tahun itu berada di dekat jendela kamarnya, mengawasi gelapnya malam.

Suara merdu burung hantu terdengar jelas di telinga. Suasana itu sudah biasa terjadi di perkampungan tempat Arto tinggal, tetapi hari ini ada yang berbeda. Arto mempertajam penglihatan netranya menuju hutan yang tidak jauh dari rumah.

"Apa itu?" gumamnya. Sekilas cahaya putih yang dilihat membuat Arto penasaran. "Ah! Mungkin hanya orang yang mencari burung di hutan." Dia menepis jauh-jauh pikiran buruk yang menghantui pikiran.

Kembali lagi dia menyeruput kopi dan langsung menghabiskannya. "Sial! Kenapa aku harus terbangun tengah malam begini?" gerutu Arto seraya mengacak kasar rambut potongan mangkok itu.

"Ah! Malam ini begitu gelap. Kenapa bulu kudukku jadi merinding, ya?" Arto mengelus tengkuk.

Terdengar dari jauh suara samar-samar, tetapi seperti orang menjerit. Arto menajamkan pendengaran, memperjelas apa yang didengar. Suara itu menghilang, seakan tertelan angin malam.

Tidak lama setelah itu, terdengar suara hewan. Kali ini Arto benar-benar mendengarnya dengan jelas. "Suara serigala?" ucapnya dengan terus mendengar lolongan itu.

"Suara itu ... nah! Dari hutan sana." Sorot mata bulat itu menuju tengah hutan belantara. "Apa ada hubungannya suara lolongan serigala dengan jeritan tadi? Atau dengan cahaya tadi? Ah, sudahlah, lebih baik aku tidur saja," ucap Arto.

Arto menutup serta mengunci jendela kamar, lalu merebahkan diri pada kasur yang empuk. Ia memutar musik dengan aerphone di telinga kanan saja karena ia tidak suka jika memakai aerphone pada kedua telinga.

Alunan nada lagu membuat Arto menjadi tenang. Kasur yang empuk menambah rasa mengantuk pada pemuda berumur tujuh belas tahun itu. Tidak kuat lagi menahan rasa kantuk, netra bulat itu terlelap seketika menuju alam mimpi.

***

Suara ramai dari samping rumah Arto membuatnya terbangun. Samar-samar membuka kelopak mata yang terasa masih ingin terpejam. Ia mencopot earphone pada telinga, lalu mengucek
mata pelan.

"Pak, itu gimana? Astaghfirullah."

"Astaghfirullah, kasian sekali dia."

Arto mendengarkan suara perbincangan tetangga yang terdengar jelas di telinga. "Ah, pagi-pagi udah pada rame aja," gerutu Arto.

Dengan malas dia beranjak dari tempat tidur. Berjalan menuju jendela dan membukanya. Arto melihat orang-orang berkumpul berbondong-bondong di dekat rumah. Alni-Ibu Arto juga ikut berkumpul di situ.

"Ibu! Ngapain di situ?" teriak Arto dari jendela kamar. Tampaknya Alni tidak mendengar teriakan Arto karena terlalu banyak orang di sekitar.

Tanpa banyak bicara lagi, Arto segera keluar dari kamar. Suasana di rumah sepi, lalu Arto segera menuju tempat orang-orang berkumpul yang dilihat tadi.

"Ah, ada apa ini? Apa ada sembako gratis? Ah, sudahlah, lebih baik aku ikut ke sana," cibir Arto yang memiliki mulut layaknya wanita yang suka marah-marah. Ia segera menuju ke tempat Alni.

Ramai, benar kata Arto layaknya orang mengantri sembako, akan tetapi kali ini justru lebih ramai. Arto mengawasi setiap orang yang ada di situ, hingga akhirnya sorot mata itu terhenti pada wanita yang berumur tiga puluh tahunan dengan wajah pucat.

"Ibu!" teriak Arto yang melihat Alni di sela-sela orang yang berkumpul. Mendengar suara Arto, seorang ibu rumah tangga itu menoleh.

"Bu, ini ada apa? Kok pada ramai?" tanya Arto pada Alni yang berdiri di hadapannya, "muka ibu juga kenapa? Kok pucat gitu?" sambung Arto.

"Ada orang meninggal di hutan. Katanya wajahnya tidak bisa dikenali, beberapa anggota tubuhnya juga hilang entah kemana," papar Alni pada Arto-anaknya.

Arto terdiam, berpikir sejenak, 'Sejak kapan ada pembunuhan di kampung ini? Padahal dari dulu aman-aman saja.'

"Siapa dia?" tanya Arto yang penasaran dengan perbincangan yang menghebohkan warga.

"Sudah ibu bilang, wajahnya tidak bisa dikenali Arto!" tegas Alni yang terlihat kesal pada Arto.

"Maksudnya, apa tidak ada warga sini yang hilang?" Arto kembali bertanya.

"Menurut info yang ibu dengar, tidak ada warga yang hilang." Raut wajah Alni berubah menjadi datar, begitu juga Arto.

Arto semakin kebingungan dengan ucapan Alni. Ia menggaruh kepala yang tidak gatal. Kenapa harus ada masalah seperti ini? Sedangkan Arto beberapa minggu lagi akan melakukan perkemahan di hutan itu. "Sial!" umpatnya.

Arto melihat sekeliling di penuhi warga. Namun, pandangannya tertuju pada seorang pemuda seumuran dengannya juga berada di tempat ini. "Bu, aku mau ke sana dulu," pamit Arto pada Alni yang langsung ditanggapi dengan anggukan.

Arto berlari kecil menuju pemuda tadi. "Hei!" seru Arto sambil menepuk pundak pria tadi. Lino-teman sekelas serta tetangga Arto sontak kaget.

"Arto!" seru Lino ketika membalikan badan dan mendapati Arto tertawa melihat reaksi Lino.

"Argh! Suka banget kamu ngagetin orang, untung aku ga jantungan," cibir Lino.

"Ya, maaflah, namanya juga sengaja," kekeh Arto dengan menggaruk kepala yang tidak gatal. Sedangkan raut wajah Lino terlihat sebal. "Omong-omong kamu info apa aja tentang kejadian ini?" tanya Arto mengalihkan pembicaraan.

"Aku gak tau banyak, sih. Cuma denger kata orang ada orang tewas menggenaskan di hutan, tepatnya di pinggir aliran sungai kecil," jelas Lino. Arto masih bingung dengan peristiwa ini.

"Ah! Padahal aku akan melakukan perkemahan di tempat itu. Oh iya, itu orang perempuan atau laki-laki, sih?" Arto masih bertanya-tanya kepada Lino.

"Mana aku tau, aku kan Lino," jawab Lino dengan enaknya membuat Arto kesal.

"Aku gak lagi bercanda, ya!" tekan Arto pada Lino yang bertingkah sok polos.

"Aku juga ga serius, Ar! Eh, ga bercanda. Mana aku tau semuanya tentang peristiwa ini." Lino tampaknya mulai berpikir, kenapa Arto terus menanyakan soal peristiwa itu pada dirinya.

Tiba-tiba warga yang semula saling bercerita mengenai peristiwa itu terdiam. Hening-tiada yang bersuara. Arto dan Lino pun ikut terdiam, meski belum tahu penyebab diamnya semua orang.

Seorang laki-laki berjalan pelan dengan balutan jaket kulit berwarna hitam dan bercelana jeans. Wajah terlihat lesu dengan langkah tak menentu.

Arto terpaku, hatinya bertanya-tanya, siapa laki-laki itu? Apa dia warga baru? Atau ...? Arto menepis semua pikiran dan berniat menemui laki-laki itu. Baru saja melangkah, tangan kirinya dicekal oleh Lino.

"Mau ke mana kamu?" tanya Lino yang menghalangi langkah Arto. Ia mengerutkan dahi, bertanya-tanya dalam hati.

"Menemui laki-laki itu, sepertinya dia seumuran dengan kita," jawab Arto dengan mantap dan melepas tangan dari Lino lalu melangkah kembali.

"Arto! Jangan!" seru Lino, tetapi Arto sudah tidak peduli lagi dan tetap menemui laki-laki berjaket hitam. Lino hanya menghembuskan napas panjang dan menyusul Arto.

***

Bersambung ....
🔪🔪🔪🔪🔪🔪

Tinggalin jejak ya:)🔪

My Friend Is a Killer [HIATUS]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora