9. Obrolan Tengah Malam

539 171 102
                                    

Malam renungan untuk anak-anak mama. Ada dua ponsel di hadapan Asa, Ajun, dan mama sekarang. Mereka ada di kamar mama saat ini, sudah lama mereka tidak berbincang dan bertukar pikiran bersama. Meski Sakha dan Rakha hanya bergabung lewat telepon, setidaknya mama bisa mendengarkan suara keempat anaknya secara bersamaan.

"Halo, Sakha Rakha."

Dua ponsel itu tersambung ke dua panggilan yang berbeda, satu menyambung ke Sakha dan satu lagi menyambung ke Rakha. Kedua anak itu bilang jika malam ini tidak ada kerjaan jadi mereka melakukan ritual kejujuran malam bersama kedua adiknya dan mama.

"Halo, Mama." Suara Rakha terdengar pelan menyapa mama.

"Apa kabar, Mama?" Sekarang suara Sakha yang menanyakan kabar mama lebih dulu.

"Mama baik, Adik-adik kalian selalu jagain Mama."

"Sebenarnya Rakha nggak percaya kalau mereka berdua jagain Mama, apalagi Ajun. Pasti Mama yang selalu jagain mereka, secara nggak langsung mereka kan masih anak-anak di bawah umur."

Tidak, Rakha hanya bercanda.

"Salahin aku terus, aku aja yang disindir, sebenernya aku ini adik kalian apa bukan, sih?" Sahut Ajun yang namanya dibawa-bawa dalam hal negatif.

"Ya bukanlah." Jawab Asa tanpa ekspresi.

"Mas Sakha, Mas Rakha. Kalian udah punya pacar belum?" Tanya Ajun.

Mama menggeleng heran, bagaimana bisa Ajun dengan tiba-tiba menanyakan hal itu pada kedua kakaknya. Padahal mama tahu, Sakha dan Rakha tidak semudah itu mendapatkan pacar, mengingat kegiatan sehari-hari mereka sangat sibuk, mereka mungkin tidak punya waktu untuk memikirkan perempuan.

"Punya, cantik banget." Jawab Rakha dramatis.

"Cantikan Adin pasti." Asa tidak terima.

"Mas Sakha belum punya, doain semoga bisa cepet-cepet ketemu sama calon kakak ipar kalian. Terus menikah."

"Mama selalu doain, Sakha."

"Itu pacarnya Rakha gimana?" Lanjut mama.

"Rakha belum jadian sih, Ma. Masih deket, tapi kayaknya orang tua dia nggak terlalu suka sama Rakha. Dia anak orang kaya, anak orang terpandang, Rakha was-was bisa dapetin dia. Takut orang tuanya nggak setuju, soalnya keluarga dia kastanya tinggi. Rakha ... udah pesimis duluan."

"Sama aja kayak hubungan Asa sama Adin. Bedanya, Asa itu kisah cintanya bertepuk sebelah tangan, perempuannya nggak peka, masih gagal move on dari masa lalunya." Kata Ajun meledek.

Tidak ada reaksi dari Asa, hatinya sudah sangat kebal dengan ledekan Ajun yang tidak ada habisnya tentang ia dan Adin.

"Ajun, Asa. Gimana pertanyaan Mas Sakha kemarin? Udah ada jawaban?"

"Tentang cita-cita itu, Mas?" Tanya Asa berusaha mengingat.

"Iya."

"Cita-cita Ajun sih jadi pengusaha sukses. Punya banyak uang, nanti kita pindah ke Amerika." Jawab Ajun semangat.

"Nggak enak di Amerika, nggak ada nasi pecel kayak punya Bu Inah, nggak ada permen gratisan dari Bu Ipa, nggak ada kue putu gratis dari Pak Sabdullah, nggak ada pentol legendaris di deket lapangan SD. Paling bener tuh tinggal di sini. I LOVE BANDUNG ASA MAH!"

"Ya udah, kita boyong Bu Inah ke Amerika sekalian. Atau nggak lo bawa juga Bandung ke Amerika."

"Nanti Bandung ganti nama dong kalau udah di Amerika."

"Ganti gimana?"

"Amendung, Amerika Bandung."

Tawa ketiga orang yang menyimak meledak seketika, sampai segitunya Asa menyukai nasi pecel Bu Inah dan sampai segitunya Asa mencintai Bandung.

Kisah dari AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang