10. Kedekatan Penuh Debar

586 162 74
                                    

Sepeda motor Asa berhenti tepat di depan halaman kost Adin, matanya mencari di mana keberadaan gadis itu, setelah beberapa menit menunggu, senyumnya mengembang sempurna melihat sang pujaan hati keluar dari kost.

"Selamat pagi, Asaka!" Sapa Adin ramah, namun mata Asa sudah terfokus pada mata gadis itu sejak tadi. Terlihat sembab di sana, Adin pasti terlalu banyak menangis.

"Pagi, Adinara. Mata cantiknya sembab, pasti kelamaan nangis, ya?" Asa mengusap kelopak mata Adin dengan sayang, "udah ya mata, jangan nangis lagi, nanti binarnya redup, siapa yang jadi saingannya bulan kalau kamu meredup?"

Adin mengukir senyum tipis, "iya, nanti nggak nangis lagi asal Asa mau nemenin terus."

"Siap, Din. Nih helmnya, ayo langsung berangkat ke kampus." Jawab Asa sembari memberikan helm pada Adin.

Adin menerima helm itu, mengenakannya dengan senyuman yang masih terukir jelas.

"Aku naik, ya."

"Iya."

Setelah memposisikan dirinya dengan nyaman di jok belakang sepeda motor Asa, gadis itu berpegangan pada bahu laki-laki itu, tiba-tiba satu tangannya terangkat.

"AYOOO BERANGKAAAATT!" Teriaknya antusias, Asa tertawa tapi dalam hatinya tidak.

Asa tahu Adin sedang berusaha membohongi dunia bahwa ia baik-baik saja, padahal jauh di dalam hatinya gadis itu sedang berperang melawan rasa sakit yang pada akhirnya membuat ia menangis lagi. Munafik, bisa dikatakan seperti itu. Adin sedang munafik di depan dirinya, Adin sedang munafik pada dunia, yang lebih buruk, Adin sedang munafik pada dirinya sendiri.

Di sepanjang perjalanan Adin banyak bicara, menjelaskan hal-hal yang kebanyakan sudah Asa ketahui, seperti sekarang ini. Adin sedang menjelaskan kenapa candi Prambanan itu ada, siapa yang tidak tahu tentang candi Prambanan dibangun?

Yang Asa lakukan sekarang hanya mengiyakan penjelasan Adin, yang penting Adin tidak menangis di jalan Asa akan baik-baik saja.

"Sa, kamu percaya kalau hari ini aku bahagia?"

"Nggak."

"Loh, kenapa?"

"Kamu lagi pura-pura bahagia aja."

"Iya sih, tapi aku sekarang lagi bahagia kok."

"Karena?"

"Karena berangkat bareng sama kamu, rasanya aku nyaman kalau lagi sama kamu, nggak tahu kenapa aku selalu merasa lebih baik kalau deket sama kamu. Ada perasaan nyaman tersendiri. Kamu hangat seperti matahari, kamu menenangkan seperti melodi hujan, kamu bercahaya seperti bintang, kamu manis seperti buah yang baru matang, dan kamu baik, cocok buat suami masa depan."

"Kamu juga, udah cantik, pinter, baik lagi, cocok banget jadi Ibu untuk anak-anakku."

Adin mencubit perut Asa, pelan tapi mampu membuat Asa mengaduh.

"Kata-katanya mirip buaya."

Asa tertawa keras, tidak peduli mereka sedang berhenti di lampu merah dekat kampus dan menjadi pusat perhatian pengendara lainnya. Yang penting Adin senang.

Ah, jadi ini yang membuat Adin bahagia.

Senyum kecil menghias wajah tampan Asa, secercah harapan datang padanya, mungkin sedikit tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Asa mulai memahami Adin, Asa mulai mengerti apa yang gadis itu butuhkan, Asa mulai mengerti apa yang harus ia lakukan saat bersama Adin. Sejatinya, Adin adalah gadis yang tidak meminta banyak dari laki-laki yang sedang bersamanya, tapi Asa sudah terlanjur memberikan segalanya pada Adin, terutama hatinya. Tidak ada yang bisa Asa berikan lagi, semuanya sudah ia siapkan untuk Adin sewaktu-waktu ia merasa bahwa Adin membutuhkan sesuatu, ia siap memberikannya saat itu juga. Mencintai Adin selama ini membuat Asa mempersiapkan semuanya, termasuk hatinya. Cintanya bukan hanya tentang berjuang, tapi juga tentang menghargai perasaan gadisnya. Asa menghargai perasaan Adin yang menyukai Bima, Asa yakin sampai detik ini pun Adin masih menyukai laki-laki kaya itu.

Kisah dari AsaWhere stories live. Discover now