4

5.1K 725 13
                                    

Suara kicau burung yang bersahutan itu menjadi backsound lamunanku, rasanya kepalaku ini hampir meledak memikirkan cara untukku kembali. Tahu alasan aku bisa terdampar disini saja tidak, lalu bagaimana bisa tahu cara untuk kembali ke masa depan? Aku masih ingat jelas saat berdiri di gapura wrigin lawang saat itu dan semuanya berubah hanya dalam pejaman mata, aku merindukan ibu pasti ibu sekarang sedang tidak mencariku.

"Putriku...."

Suara bariton itu membuat pandanganku teralihkan, seorang pria paruh baya dengan pakaian khas pejabat kerajaan datang. Wajahnya teduh tapi sarat akan ketegasan, sama persis seperti garis wajah milik bapakku.

Beliau hanya menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, tanpa ada niatan untuk memeluk putrinya yang sudah menghilang selama beberapa hari. Jika itu adalah ayahku mungkin dia tidak akan ragu memeluk putrinya yang sudah menghilang beberapa hari.

"Jangan pergi lagi ... Romo tidak akan melarangmu untuk pergi menari lagi."

Dari kalimat itu aku simpulkan jika Maheswari kabur dari rumah karena dilarang untuk menari, di sini dia adalah putri dari seorang pejabat istana, menari mungkin memang tidaklah cocok untuknya. Orang tua pasti memikirkan masa depan cerah untuk anaknya, misalnya dipinang oleh keluarga bangsawan lain atau bahkan menjadi istri dari pangeran bukannya mengabdikan dirinya untuk menari.

"Terimakasih Romo,"

"Kau jangan belajar menari di tempat lama, belajarlah saja di tempat Nyi Gendhik."

Entah siapa itu nyi Gendhik aku hanya mengangguk mengiyakannya permintaan itu, untuk sekarang yang harus aku lakukan adalah cari aman. Untung saja aku seorang yang guru SB yang pastinya juga tahu berbagai macam tari jangankan dari Jawa bahkan daerah lainnya saja aku hafal betul, jadinya mungkin aku nanti tidak terlalu kaku saat disuruh untuk menari.

Setelah menyugingkan senyuman tipisnya Ayah Maheswari pergi, mungkin dia sibuk.

***

Seperti yang kemarin aku dan ayah Maheswari sepakati, aku sudah berada di kediaman nyi Gendhik untuk belajar menari. Ruangan luas dengan seperangkat gamelan yang di letakkan di ujung, tempat ini sepertinya memang sering digunakan untuk menari.

"Kau Maheswari? Putri dari Panji Kartasana?"

Aku hanya mengangguk, mana tahu nama dari ayah Maheswari.

"Kau hebat karena bisa memperjuangkan keinginanmu untuk menjadi seorang penari,"

Sebenarnya sejatuh cinta apa Maheswari dengan menari? Dia bahkan sampai kabur selama dua minggu hanya untuk keiginannya itu, bukankah sudah sangat nyaman tinggal di rumahnya dengan apapun kebutuhan bisa dipenuhi tanpa melakukan apapun. Kalau aku jadi dia mungkin tidak akan mau repot-repot kabur.

"Terimakasih Nyi, "

"Menari itu boleh dilakukan oleh semua wanita baik dari kaum atas sampai terendah tidak ada perbedaan di antara itu."

Aku mengangguk menyetujui apa yang dikatakan oleh Nyi Gendhik, di zaman ku bisa dibilang tari tradisional sudah hampir tersaing oleh dance yang merupakan tarian dari bangsa asing. Para generasi muda kebanyakan lebih memilih mempelajari dance daripada tari tradisional. Tentu itu sangat buruk, lenggokan anggun khas negeri kita semakin jarang saja diminati.

Menurutku sendiri setiap tarian memiliki nyawa jika ditarikan dengan serius, tarian itu warisan leluhur kita dan memiliki makna masing-masing di setiap penciptaannya.

"Kau ingin belajar sendiri atau bergabung saja bersama yang lain?"

Jika ada teman mengapa harus sendiri? Itulah prinsip yang selama ini kupegang, melakukan apapun bersama jauh lebih baik dari sendiri. Aku bukanlah tipe orang introvert, meski tidak begitu pandai begaul. Hanya tidak pandai tapi tetap ingin.

"Mungkin bergabung bersama yang lain."

"Baik kau bisa pergi ke pendopo yang ada di ujung timur."

Aku mengangguk dan segera melangkahkan kakiku menuju ke pendopo ujung timur, rumah Nyi Ratri ini juga lumayan besar seperti rumah Maheswari. Terdiri dari banyak bangunan rumah Joglo tetapi tetap ada perbedaannya yaitu disini terlihat lebih banyak bunga. Seperti mawar yang tumbuh di beberapa tempat yang aku lihat tadi, bukan mawar belanda yang besar dan tidak berduri tentu di zaman ini belum ada mawar dari luar yang dibudidayakan disini, hanya mawar dengan banyak duri tetapi harumnya berkali lipat dengan mawar belanda.

Aroma harum tercium begitu menyengat, mengedarkan sekeliling aku menemukan dua buah pohon yang berbunga sangat wangi. Bunga cempaka putih atau lebih akrabnya disebut bunga kantil, rupanya sedang berbunga sehingga semerbak wanginya benar-benar menyengat.

Aku baru kali ini melihat pohon kantil, tingginya setinggi pohon kopi, di zamanku pohon kantil sudah jarang itu sebabnya roncean bunga kantil harganya cukup tinggi.

Kulangkahkan kaki untuk lebih dekat dengan pohonnya, dan saat berdiri tepat di bawahnya wangi itu benar-benar enak sekali rasanya. Aku suka aroma ini dan baru pertama kali mencium langsung dari pohonnya. Kuulurkan tangan untuk mengapai satu tangkai, tapi rupanya masih kurang setu jengkal lagi untukku bisa memetiknya.

Masih tetap tidak sampai meski kakiku sudah pegal karena menjinjit, sebuah tangan meraih tangkai yang berusaha ku gapai dengan susah payah. Dengan sangat mudah tangan itu meraih bunga yang selanjutnya dia petik, aku menghentikan aksiku dan langsung menoleh ke arahnya.

Mataku membola saat senyum tipis itu kembali muncul, senyum yang dulu selalu mengisi hari-hariku dan pada akhirnya meremukan hatiku begitu saja. Arsen, lelaki itu kini berdiri tepat di hadapanku dengan celana selutut yang dililit kain batik tak lupa stagen sebagai penahan kain batiknya dan bertelanjang dada.

Mengapa Arsen juga ada disini? Apakah dia juga tersesat sama sepertiku. Atau jangan-jangan orang ini hanya mirip saja dengan Arsen.

"Arsen?"

Dia menautkan kedua alisnya mendengar nama itu, sepertinya nama itu asing di telinganya. Sepertinya dia bukan Arsen, jika Arsen mungkin dia akan memelukku sekarang. Ah tidak juga, aku lupa kami bukan sepasang kekasih lagi.

"Arsen? Benda apa itu?"

Jika dilihat dari penampilannya orang di depanku ini bukanlah seorang prajurit ataupun rakyat jelata, badannya bersih dan dada bidang itu. Ekhm, mengapa aku tidak fokus melihat dadanya yang six pack itu. Dapat aku simpulkan dia bukan Arsen, memang wajah dan postur tubuhnya serupa bahkan sampai warna kulitnya. Tapi Arsen itu orangnya malas, dia selalu punya seribu alasan setiap diajak olahraga tidak mungkin badannya se-six pack itu.

"Maaf Randen sepertinya Anda salah mendengar."

Dia mengangguk, dengan perlahan tangannya bergerak meyibak rambutku dan meletakan beberapa buah melati disana. "Apakah kau penari baru? Aku baru pertama kali melihatmu."

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Siapa namamu?"

"Maheswari, Raden."

Dia kembali menautkan kedua alis tebalnya, "Bukankah kau—"

Kalimatnya itu terpotong, tapi aku tahu apa yang dia herankan. Maheswari ini putri seorang bangsawan yang pastinya kabar kematiaannya akan diketahui banyak orang.

"Itu hanya kesalahan paham, Raden."

***

Jangan lupa vote dan komennya, terimaksih.

MaheswariWhere stories live. Discover now