Chapter 7: Letter

48 11 10
                                    

Mimpi itu datang lagi tanpa dipinta, tubuh dibanjiri peluh dan dada digedor cepat oleh jantung dari dalam. Matanya melebar bersama napas yang bertempo tak teratur.

Bangun perlahan, Kasumi menatap Mai dan Maki yang terlelap di sebelah kanannya. Biasanya jika terbangun tengah malam seperti ini ia tak bisa tidur lagi. Ia merajut pesanan pelanggan hingga pagi, sesuai kebiasaannya. Cahaya kecil lilin dikelilingi gelapnya ruangan, lampu tak ia nyalakan demi nyenyaknya tidur dua temannya.

Satu pesanan selesai, si kembar belum bangun untuk maraton yang mereka lakukan rutin setiap pagi. Apa melanjutkan pesanan lain? Tidak. Nanti Kasumi malah terlalu asyik merajut dan lupa waktu.

Ada satu yang belum ia lakukan, membaca surat yang sampai di rumahnya kemarin. Tak ada identitas pengirim, hanya tertulis alamat rumahnya di sana sebagai tujuan amplop itu.

Penutup amplop terbuka, ada selembar kertas di sana. Kasumi menarik kertas itu dan mulai membaca.

Halo, Miwa Kasumi.

Apa kabarmu? Apa kau baik-baik saja? Semoga tak ada hal buruk yang menimpamu.

Bagaimana keadaan adik-adikmu? Mereka sehat 'kan?

Apa bayar sewa rumahmu dimahalkan lagi? Kuharap tidak.

Apa ada utang-utang orang tuamu yang belum terbayar? Kuharap tidak ada.

Apa kau masih berteman dengan Maki dan Mai? Jika iya, jangan terlalu merepotkan mereka. Namun, jangan pula memaksakan dirimu bekerja keras sampai sakit.

Walau hidupmu keras, tetap perhatikan kesehatan jiwa maupun fisikmu. Kau harus tetap kuat dan tegar menghadapi hidupmu.

Tertanda,
Pengirim.

Benak Kasumi mulai mencerna kalimat-kalimat yang tertulis di sana. Ini bukanlah surat yang biasa, seperti ada teka-teki tersembunyi di dalamnya.

Siapa yang mengirimnya? Mengapa orang ini tahu tentang hidupku? Tidak, ia malahan lebih tahu. Apa maksudnya sewa rumah semakin mahal?

Utang-utang orang tuaku? Aku tidak ingat mereka meninggalkan apapun selain barang-barang di rumah ini dan adikku. Rumahku tak pernah kedatangan rentenir. Siapa dia?

"Kau membaca apa, Kasumi?"

"Itu ... surat kemarin, aku tak mengerti maksud isinya."

"Apa ada sesuatu yang aneh?" Maki menyalakan lampu, ia duduk di sebelah Kasumi dan ikut membaca surat yang dipegang gadis itu.

Orang ini seakan tahu segalanya tentang hidup Kasumi. Masalah utang dan sewa rumahnya itu bukannya Kasumi dan keluargaku saja yang tahu? Kalau ada orang lain yang tahu pun itu pemilik rumah ini dan rentenir.

"Dari mana dia tahu tentang hidupmu?"

"Entahlah, aku tidak tahu. Apa jangan-jangan dia doppelganger-ku?"

"Ck, mungkin. Bisa jadi dia akan keluar dan bersiap-siap. Mulai hari ini, jangan lupa membawa senjata apapun jika kau sendirian, Kasumi."

Doppelganger-ku?

Mimpi yang selama ini mengejarnya akan menjadi nyata dalam waktu singkat. Ketakutan menyesaki dirinya sampai pikiran tak lagi jernih.

"Be-benarkah? Sebentar lagi aku akan ... mati."

"Aku dan Mai ada bersamamu, kau juga tangguh untuk melawannya. Percayalah kau pasti bisa, tanamkan itu di benakmu, paksakan sampai benar-benar tertanam." Maki menepuk bahu Kasumi pelan, ia memeluk tubuh temannya yang bergetar.

Percayalah kau pasti bisa.

Paksakan sampai benar-benar tertanam.

Aku pasti bisa melawannya. Aku pasti bisa membunuhnya. Aku pasti bisa membuatnya tak menggantikanku.

Aku pasti bisa! Aku pasti bisa!

Setelah ketenangan mulai menguasainya, Kasumi melepas pelukan dan menatap kembali lembar surat. "Apa ini memang doppelganger-ku?"

"Tentang utang juga sewa rumahmu itu hanya diketahui kau dan keluargaku, juga pemilik rumahmu dan rentenir. Kalau ada yang tahu selain kita berarti itu doppelganger-mu.

"Doppelganger selalu mencoba mempelajari kehidupanmu untuk menggantikanmu. Tidak kaget jika dia tahu.

"Aku tak pernah menceritakan masalahmu ke orang lain. Apa kau yang bercerita?"

Bercerita? Aku saja tidak tahu, mungkin aku lupa?

"Entahlah ... rasanya tidak, aku bahkan tak tahu apa-apa tentang masalah itu. Entah aku tak pernah tahu atau memang lupa."

Mata Maki sedikit melebar.

Lupa? Ah, harusnya aku tak kaget. Mungkinkah dia mengalami PTSD karena kejadian waktu itu?

"Jika bukan doppelganger-mu, siapa dia dan apa tujuannya?"

"Sebelum itu ... bolehkah ceritakan tentang utang orang tua dan sewa rumahku? Kupikir aku melupakannya."

Apa kuceritakan saja? Bagaimana kalau nanti traumanya bangkit?

"Kejadian itu tampaknya membawa dampak buruk pada kondisi psikologismu, untuk saat ini lebih baik tidak usah mengingatnya. Kalau kau mau kita bisa konsultasi ke psik-"

"Ti-tidak usah, Maki! Biaya ke psikolog mahal."

"Aku akan membay-"

"Tidak perlu. Aku sudah banyak merepotkanmu."

Kasumi bangkit, memutus percakapan sepihak.

Kurasa aku tak perlu mengingat kejadian yang menyakitkan.

Aku tak boleh selalu merepotkan Maki dan Mai, aku harus berani menghadapi doppelganger-ku.

[]

Doppelgänger | Jujutsu Kaisen ✔️Where stories live. Discover now