1. Ibuku Sayang Ibuku Malang

121 1 0
                                    

"Ibu ikut kamu aja Na, rumah kamu kan Deket!" titah Arum--kakak tertuaku. Yang tengah duduk di atas karpet milik Ibu.

"Iya. Mending ikut kamu ajalah. Lagian kalo pun ikut sama aku, percuma. Kegiatanku banyak, jadi lebih sering di luar!" timpal Agung Kakak keduaku.

Ya mereka kedua saudaraku. Masing-masing telah berkeluarga. Ka Arum sendiri setelah menikah langsung di bawa pindah ke rumah milik orangtua suaminya, karena mertua ka Arum hanya memiliki satu orang anak.

Dan Ka Agung pun lebih memilih tinggal di rumah istrinya. Karena istrinya anak bungsu dari lima bersaudara. Yang kebetulan di rumahnya hanya tinggal dia.

Mereka berada di sini sejak pagi, karena aku yang menelpon. Khawatir dengan keadaan Ibu yang kian hari kian menurun.

"Mama. Aku mau jajan!" ucap Anggia anak ketiga ka Arum, yang berusia empat tahun.

"Ya, bentar dulu. Mama lagi ngobrol sama Tante Naina!" balas Ka Arum pada anaknya. Dia susul anggukan oleh anak Ka Arum.

Sementara ka Agung masih terlihat asyik dengan gadget di tangannya. Ya ka Agung adalah seorang guru komputer. Ia lebih sering berada di luar. Sekalipun datang kerumah Ibu, ia lebih asyik dengan gadget miliknya.

Sementara aku, anak bungsu. Yang kebetulan setelah menikah tinggal di rumah yang  berdekatan dengan rumah Ibu. Rumah yang sengaja di buatkan Bapak waktu usia pernikahanku empat tahun lalu. Walau pun begitu, tetap biaya pembangunan rumah murni dari hasil jerih payah suamiku.

"Jadi gimana?" tanya Ka Agung. "Kamu mau kan urus Ibu?" lanjutnya. Sesekali melirik ke arahku tanpa melepas pandangannya yang tengah asyik menatap ponsel di tangan.

Kulirik Ibu yang masih menunduk, sesekali Isak tangis terdengar dari bibirnya. Lalu kuarahkan pandangan pada Ka Arum yang mengangkat bahu cuek.

"Begini ya Ka. Bukan aku ngga mau ajak Ibu ke rumah. Kakak tahu sendiri rumahku cuma ada satu kamar, dan satu tengah rumah. Bahkan, jika tidur kami berdesakan," lirihku.

Ka Arum merespon ucapanku tak suka. Ka Agung sendiri malah tersenyum ketus ketika mendengar pembelaanku.

"Ya terus, mau kamu gimana? Kamu tahu sendiri kan? Aku ngga mungkin bawa Ibu kerumah. Tiga kamar semua penuh. Nanti Ibu mau tidur di mana?" balas Ka Arum kesal.

Ya Allah!
Begitu teganya Ka Arum berkata seperti itu di depan Ibu!

Sakit rasanya Ya Allah!
Sekalipun, mereka tak ingin membawa Ibu kerumahnya, aku tak mungkin meninggalkan kewajibanku dalam mengurus Ibu.

Ibu sakit sudah cukup lama. Sejak kehamilan anak keduaku, hingga usia anakku kini menginjak dua tahun. Kondisi ibu semakin menurun.

Kuangkat wajah Ibu pelan. Terlihat air mata menggenang di pipinya. Ia menangis!

Kuhapus jejak air mata itu. "Bu. Ibu ngga usah khawatir. Aku akan tetap merawat Ibu. Sekalipun mereka tak mau." Kutatap wajah kedua saudaraku satu persatu dengan benci. Namun mereka tetap saja terlihat angkuh.

"Maafkan Ibu, jika Ibu selalu merepotkan kalian!" ucap Ibu sembari menangis.

Bersambung!

Diary Naina_Menunggu Kematian IbuWhere stories live. Discover now