Bamboo

13K 1.3K 511
                                    

"Nyonya, ini box pizzanya."

Chenle beralih sebentar lalu tersenyum. "Terima kasih, Hinata. Letakkan saja di meja makan."

"Baik, nyonya." Sambung sopan si gadis pelayan usia sekitar awal dua puluhan itu. "ada lagi yang bisa saya bantu?"

"Tidak ada, kembali lah ke pekerjaanmu yang biasa."

"Tapi...." Gadis itu nampak ragu.

"Tidak perlu cemas, aku memang tengah hamil tapi aku tidak selemah yang kau pikirkan."

"Tuan sudah berpesan agar saya membantu anda."

"Tidak perlu," Chenle tetap membantah, "lihat? Pekerjaanku akan segera rampung."

"Baiklah kalau begitu." Si gadis menyerah, "kalau tidak ada lagi yang bisa saya lakukan untuk anda, maka saya mohon undur diri."

"Sekali lagi, terima kasih."

"Sudah menjadi tugas saya, Nyonya."

Setelahnya Chenle benar-benar sendirian. Sejak pukul lima pagi ia sudah berkutat di dapur. Membuat tiga varian rasa es krim beserta satu loyang besar pizza tanpa pinggiran.

Kedua menu itu rencananya akan ia bawa sebagai persembahan ketika berkunjung ke makam sang ibu mertua siang nanti.

"Nakal sekali."

"Jisung!" Si manis kaget karena lelaki tiang pemilik nama yang ia pekikkan itu tiba-tiba saja muncul lalu menggigit daun telinganya.

"Bukankah tadi malam sudah kukatakan untuk membelinya saja?"

"Ji... ini kunjungan pertamaku setelah kita menikah, aku ingin memberi yang istimewa." Chenle kembali berkonsentrasi pada tumpukan marshmallow beserta bola-bola cokelat yang akan ia jadikan topping.

"Tapi, aku akan membawa yang lebih istimewa dari ini semua."

"Kapan kau membelinya?" bingung yang lebih tua.

"Aku tidak membelinya, aku memintanya." Balas Jisung.

Oh, Chenle tahu kemana arah pembicaraan ini. Ulas senyum yang begitu indah menjadi pengantar untuk lantunan kalimat berikutnya.

"Aku meminta sesuatu yang istimewa itu untuk menikah denganku, untuk menyematkan kata 'milikku' dalam bait namanya."

"Ji, berat!" Lelaki manis dengan bumbu merah dipipi itu justru mengeluh karena Jisung kini menumpu dagu dipundaknya.

Seolah tuli, sang dominan tetap tak bergeming. Ia justru semakin menyamankan diri. "Kau hangat." Imbuhnya sembari mengelus si perut buncit didepannya.

Chenle mencebik dahulu sebelum bersungut. "Ini bukan hangat lagi, tapi gerah. Lepaskan aku, Tuan Park!"

"Lanjutkan ini nanti saja. Tugasmu sekarang adalah memberiku ciuman selamat pagi, Nyonya Park."

"Aku belum mandi, belum gosok gigi, bau."

"Tidak masalah."

"Masalah karena kau juga bau, mandi sana!"

"Yakin aku bau? Coba cium dulu yang benar." Untuk urusan memancing pertengkaran, Jisung memang ahlinya.

"Omong-omong, sayang." Ocehan lelaki jangkung itu kian berlanjut. "kita belum pernah melakukan itu di meja makan atau pantry dapur. Coba, yuk!"

"Dimana?"

"Kau mau?" sepertinya Jisung lupa kalau terlalu senang tidak baik juga akibatnya.

"Dimana?" ulang Chenle.

From Home | ChenJiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang