21

191 26 0
                                    

5 Mei 1997

Hali mendatangiku.

Hali datang dalam mimpi. Bersama Taufan dan Ice. Mereka tersenyum dan tertawa tanpa beban. Bahkan Ice terlihat bersemangat. Kedua mata ruby Hali berbinar. Kedua matanya. Taufan berlarian tanpa merasa lelah.

Aku memanggil mereka. Mereka menoleh dan tersenyum lembut. Seorang Halilintar, Taufan, dan Ice tersenyum dengan begitu lembut.

Hali mengatakan sesuatu. Aku masih ingat sekali, bahkan aku bisa mengatakannya ulang dengan sempurna.

Gempa, kenapa kamu menahan kami bahagia di atas sana?

Aku langsung terbangun dan menulis ini. Tubuhku masih gemetar. Tapi akhirnya, aku terlepas dari depresi itu. Aku ragu aku sanggup menceritakan semuanya pada polisi, maka biarkan penaku yang menari.

Hari itu, aku baru saja menjenguk Blaze dan ingin menjenguk Hali. Tiba-tiba, aku mendengar teriakan tertahan Hali. Aku berlari ke kamar Hali dan terhenti di depan pintu. Aku membeku melihat apa yang terjadi.

Aku takkan pernah bisa melupakan wajah Hali saat itu.

Wajah yang sudah pucat dari berbulan-bulan sebelumnya semakin pucat. Penutup mata kirinya terlepas, menampakkan luka mengerikan yang seharusnya tidak dimiliki anak seumurannya. Bahkan mata kanannya yang biasanya menatap dengan dingin juga sudah mengucurkan darah.

Aku tidak bisa berkata-kata. Kakiku seakan kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhku.

Mulut Hali ditutup paksa agar ia tidak berteriak. Hali bahkan tak bisa lagi menangis karena kedua matanya sudah hancur saat itu. Telinganya yang dipotong entah dengan motif apa tergeletak di lantai.

Saat itu Hali masih memberontak, sampai orang itu memotong jari-jari tangan kanannya.

Hali tidak lagi memberontak, tubuhnya melonjak kesakitan. Orang itu terdiam sebentar, dan bisa kulihat bahwa orang itu tersenyum.

Orang itu... pembunuh berdarah dingin itu ter. Se. Nyum.

TERSENYUM.

Aku terbata-bata menelepon polisi sambil menangis tanpa suara. Aku masih bisa melihat, saat itu Hali menulis sesuatu dengan tangan kirinya. Aku sudah tidak memperhatikan lagi karena polisi sudah datang.

Pembunuh itu tampak panik mendengar langkah kaki polisi. Pembunuh itu...

Pembunuh itu...

Menusukkan pisaunya sampai menembus di tempat jantung Hali berada.

Saat dia mencabut pisau itu, darah muncrat kemana-mana.

Pembunuh itu keluar dari jendela lantaran semua polisi masuk lewat pintu.

Ini bukan dusta. Aku berani bersumpah demi Allah bahwa itu yang terjadi. Semua orang dalam menyayangi seorang Halilintar, gelandangan kecil yang sudah masuk sini sejak umur 9 tahun.

Pembunuh itu bermata kanan palsu. Iris mata kanannya biru.

Wajahnya itu, takkan pernah bisa kulupakan.

Om Karang, om Karang pasti tahu siapa dia.

Dia mantan pejabat korupsi yang pernah ditangkap anggota KPK Ardhi Hidayat saat itu.

Aku percaya polisi bisa mengecek daftar tahanan penjara korupsi dan menemukan seorang pejabat korup yang bermata kanan biru. Om Karang bisa membantu.

Pak polisi, tolong temukan siapa orang yang membunuh sahabatku.

Tolong beritahu dia, bahwa...

Anak yang dia bunuh tidak membencinya.

Terimakasih, pak polisi.

Wassalamu'alaikum

Gempa.

Room 309's DiaryWhere stories live. Discover now