[12] - Kota hujan

28.3K 1.7K 14
                                    

"Bagaimana bisa aku tertidur lelap, jika rinduku saja terus kamu bangunkan."

Sudah tiga hari dirinya menginap di rumah orang tuanya, setelah ia melaksanakan sidang skripsi satu hari yang lalu. Perempuan itu mendapatkan nilai yang cukup memuaskan. Bangga kepada diri sendiri bisa mencapai nilai yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan, dilihat dari segi kemasalannya jelas tidak memungkinkan untuk melampaui nilai yang maksimal. Namun, ternyata hasil tak pernah mengkhianati ikhtiar.

Kini, langit tampak gelap gulita. Awan hitam berkabut tebal itu menandakan akan turunnya hujan. Benar, beberapa menit kemudian hujan deras mengguyur kota Bogor, kota yang kerap kali disebut sebagai Kota Hujan, karena memiliki curah hujan yang sangat tinggi.

Malam ini, ia duduk menghadap balkon kamarnya dengan jendela yang tertutup. Dari sana, ia bisa melihat ribuan air terus berjatuhan membasahi bumi. Malam ini, hujan turun tidak bersamaan dengan petir, membuat dirinya tak begitu takut akan hujan yang turun malam ini.

Tiba-tiba pikirannya kembali bergelut dengan masalah sang kakak. Haruskah ia meminta Dean menjadi pengacaranya? Sedangkan dirinya saja tidak tahu jelas apa yang menyebabkan sang kakak menjadi pelaku utama. Jika memang hanya kecelakaan bukankah bisa diselesaikan dengan secara kekeluargaan?

Bisa jadi!

Namun, tidak semua masalah bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Dia paham betul di dunia ini tidak ada manusia yang benar-benar ikhlas memaafkan kesalahan seseorang.

"Sudah jam delapan malam. Kau tidak memberiku makan?" sindir Ansell dengan ketus.

Perempuan itu melirik ke arah suaminya. Semenjak pulang dari kampus ia lupa akan kewajibannya sebagai seorang istri, dia terlalu memikirkan permasalahan sang kakak hingga ia mengabaikan suaminya. "Kau mau makan apa?" tanya Grace.

Ansell menatap ke arah Grace yang saat ini tengah mengunyah sesuatu yang Ansell sendiri tidak tahu apa itu. "Tidak jadi."

Pria itu kembali menyandarkan bahunya di atas ranjang. Sudah tiga malam mereka berada di dalam kamar yang sama, meski begitu. Grace tetap tidak mau untuk tidur satu ranjang dengan Ansell, kecuali malam itu. Malam yang membuatnya ketakutan saat hujan turun bersamaan dengan petir, ia tak munafik jika pelukan dari suaminya tersebut membuat dirinya nyaman.

"Berisik! Apa tidak bisa sehari saja tidak memakan permen karet?" Ansell menatap tajam ke arah Grace, ternyata sedari tadi perempuan itu tengah mengunyah sebuah permen karet. Lalu, diletupkannya. Sangat mengganggu.

"Tidak."

Ada beberapa hal yang Grace tidak tahu. Yakni, Ansell sangat membenci suara gemeretak gigi, mengecap makanan, decitan pintu, atau suara letupan balon yang dihasilkan permen karet. Jika ia mendengar bunyi tersebut, dirinya selalu mendadak kesal. Dari kecil ia tak menyukai suara yang berulang-ulang, kenapa? Karena pria itu mengidap Misophonia, yang di mana pengidap itu mempunyai kepekaan yang berlebihan terhadap suara-suara yang timbul dari beberapa kegiatan manusia atau pun fenomena alam.

"Buang!" Ansell sangat kesal, apalagi perempuan itu terus meletup-letupkan permen karetnya dengan sengaja.

"Tidak mau."

"Aku tidak ingin mengulang kata yang sama, Grace!"

"Aku tidak dengar."

"Kau!" Ansell tampak sudah kehabisan kesabarannya. Saat itu juga, ia mendekat ke arah Grace, mencengkeram mulutnya lalu diambilnya permen karet tersebut dengan tangan kosong, dan membuangnya.

Grace sempat meringis beberapa detik, setelah itu ia menatap Ansell. Apakah laki-laki itu tidak jijik sama sekali? Grace saja tampak jijik jika harus mengambil permen karet dalam mulutnya dengan tangan kosong.

"Lain kali tidak usah makan permen karet di hadapanku. Apalagi sampai meletup-letupkan balonnya! Aku tidak suka."

Laki-laki yang berumur tiga tahun lebih tua darinya itu memang memiliki sifat tempramental, dia mudah marah meski hanya masalah yang tidak seberapa. Selain tidak menyukai suara yang berulang, laki-laki itu juga tak menyukai buah durian, tak menyukai warna kuning, tidak menyukai makanan yang manis-manis, terutama makanan yang memakai kecap. Padahal dia belum tahu bagaimana rasanya makan nasi hangat dengan kerupuk dan kecap sebagai lauknya.

Grace dibuat diam, perempuan itu tidak banyak berkata lagi. Kali ini Ansell benar-benar marah kepadanya, padahal hanya gara-gara letupan balon permen karet. Namun, laki-laki itu marah sudah seperti orang kesetanan saja.

Kini, Ansell pun beranjak ke atas sofa. Laki-laki itu sudah tampak kesal dengan sikap Grace yang terlalu menyepelekan phobia seseorang. Selain tempramental, Ansell mempunyai karakter yang tak ingin dibantah, apa pun itu. Juga ia tidak suka mengulang perkataannya.

"Kau benar-benar marah?"

"Hmmm." Laki-laki itu hanya bergumam. Sebelum ia bersiap untuk tidur, lampu kamar terlebih dulu ia matikan, dan menggantikannya dengan lampu meja.

"Ansell?" ucap Grace dengan hati-hati.

Hanya sekadar memastikan apa laki-laki itu benar-benar marah atau tidak. Namun, Ansell tak memberikannya jawaban. Saat itu juga, Grace beranjak lalu mendekat ke arah Ansell, posisinya saat ini adalah berjongkok, seraya memandang wajah Ansell dengan jarak yang begitu dekat.

Hidung yang mancung, bibirnya yang tipis itu menambah kadar ketampanannya. Jika dibandingkan dengan Dean, maka Ansell lah yang lebih unggul. Ansell memang lebih segalanya dari Dean, tetapi apa yang dimiliki Ansell belum cukup menarik perhatian perempuan itu. Ansell hampir mendekati kata sempurna, tetapi ada beberapa poin yang membuat Grace sedikit tak menyukai laki-laki itu.

Grace memandang Ansell cukup lama. Sepertinya laki-laki itu sudah tertidur. Namun, Grace yakin jika laki-laki yang sedang ditatapnya itu hanya memejamkan matanya saja. "Ansell?" ucapnya berbisik tepat di telinganya, napasnya yang teratur terasa hangat di telinganya. Perempuan itu menatapnya semakin dekat.

Tiba-tiba ....

Suara petir menggelegar hingga membuatnya terkejut bukan main, di waktu yang bersamaan jantungnya berdetak secara abnormal. Sontak membuat Grace tak sengaja memeluk erat tubuh Ansell. Wajahnya jatuh tepat di dada sang suami. Grace membenci suara petir yang menggelegar secara tiba-tiba. Kenapa hujan selalu beringan dengan petir? Perempuan itu membencinya.

"Aku takut," lirihnya, dengan tangan yang masih memeluk erat.

Perlahan mata Ansell terbuka, sedari tadi dirinya memang tidak tidur. Ketika Grace berbisik di telinganya lalu memeluk tubuhnya dengan sekejap membuat laki-laki itu sedikit terkejut. Ya, meskipun perempuan di depannya ini begitu menyebalkan, tetapi jika tengah ketakutan seperti itu Ansell merasa sedikit kasihan.

Kini, tangan Ansell menarik tubuh Grace, membawanya tidur di atas sofa yang hanya berukuran sedang, jelas tidak akan cukup untuk dua orang. Namun, sebisa mungkin Ansell membuatnya tetap nyaman. Di balik minimnya cahaya, pandangan mereka bertemu, hingga terjadi kontak mata selama beberapa saat.

"Apa kau masih marah?" tanya Grace yang sudah merasa sedikit tenang.

"Tidak." Ansell menjawabnya, setelah itu mereka hanya beradu pandang. Hingga tanpa sadar Ansell mencium lembut bibir ranum milik Grace, membuat perempuan itu tersentak kaget.

"Aku ingin tidur seperti ini."

Ansell mengeratkan pelukannya, sedangkan Grace tak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, suara petir masih terus menggelegar, tidak ada salahnya jika malam ini ia tidur dengan posisi dipeluk suaminya. Lupakan gengsi.

"Di sini terlalu sempit," ucap Grace.

Entah, terlalu mengerti atau memang ini adalah keinginannya, Ansell langsung mengangkat tubuh Grace ka atas kasur. "Hanya malam ini," ujarnya sangat pelan.

"Jangan macem-macem. Berani macem-macem, aku akan teriak!" ocehnya lagi mewanti-wanti.

"Kau itu istriku, bukan pacarku. Jika kau berteriak karena aku melakukan sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan, apa orang lain akan peduli?"

"Pokonya jangan macem-macem! Awas ajaa."

"Berisik!" ucap Ansell menginterupsi.

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang