Lima

89 15 5
                                    

Please note jika ada typo. Thanks!

*****

Janji antar jemput yang dituntut---bukan lagi sebuah tawaran---dari Bara ternyata tidak hanya berlaku untuk hari itu. Seakan telah menjadi rutinitas, kegiatan itu terus berlangsung sampai empat minggu selama hari kerja.

Bagi Gladys itu cukup menyebalkan karena hanya seperti itu saja. Bara akan datang di pagi hari tepat pukul delapan, lalu sore harinya lelaki itu sudah menunggu di depan gedung kantor untuk mengantarnya pulang dengan selamat. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan, tidak ada sedikitnya percakapan basa-basi, tidak ada ciuman! Sopir taksi masih lebih baik daripada Bara, raung Gladys marah setiap harinya saat ia sendirian di kamar.

Namun, di depan Bara ia memilih diam. Dalam segala luapan emosinya, seulas senyum berterima kasih setia ia suguhkan kepada raut dingin wajah Bara yang semakin membuatnya jengkel karena tetap terlihat tampan.

Semula Gladys tidak ingin mempermasalahkannya, biarlah Bara bertindak sesuka hatinya. Lagi pula ia hanya perlu duduk manis di kursi penumpang depan. Seharusnya ini menguntungkannya. Tapi, seiring hari berlalu ia menjadi tidak tahan lagi akan sikap acuh tak acuh Bara yang nyatanya berhasil melelehkan rasa bersalahnya menjadi kubangan kotoran. Mengolesi seluruh tubuhnya hingga lelaki itu tidak sudi melihatnya.

Ketidakpedulian itu yang pada akhirnya berhasil membuat ia lelah juga sebab seolah selalu diingatkan atas kesalahannya. Jadi, sore itu sekeluarnya dari gedung, Gladys bukannya menghampiri Bara, tapi berjalan sembunyi-sembunyi di antara kerumunan ke arah halte tanpa menengok ke belakang. Gladys menggeleng---ia tidak merasa semakin bersalah, sangkalnya. Dienyahkannya bayangan Bara yang juga lelah sepulang kerja menunggunya dengan sabar.

Siapa yang peduli? Bara tidak, maka ia pun tidak.

Sayangnya, pelarian itu langsung usai. Empat menit berselang, mobil Audi hitam yang ia hafal betul berhenti tiga meter sebelum halte. Menahan gemetar tubuh terkejut, Gladys mencoba mengabaikan tatapan tajam mata Bara yang seolah dapat dirasakannya menembus kaca hitam bagian depan mobil. Pula ketidaksabaran lelaki itu karena menunggunya segera naik.

Mengangkat dagu tinggi, Gladys memutuskan tidak mau menurut lagi. Hanya saja tekadnya buyar ketika Bara turun dari mobil. Berdiri di pintu memperlihatkan air muka sarat kedongkolan menatap lurus ke arahnya.

"Masuk," kata Bara keras, tegas. Gladys bergeming, mengalihkan pandangan pura-pura tidak kenal. "Gladys," panggil lelaki itu penuh penekanan.

Kepala orang-orang berpaling menemukan siapa yang dimaksud, menatapnya ingin tahu. Malu, Gladys menjawab kekeh, "Tidak. Aku bisa pulang sendiri."

Sepertinya Bara tidak peduli dengan semua perhatian di sekitarnya. "Masuk. Sekarang," tuntutnya tidak menerima penolakan.

Gladys mengacuhkan Bara, berjalan mendekati trotoar melambai ke arah taksi yang terlihat dari jauh.

Menghembuskan napas, membanting pintu mobil, dalam langkah panjang Bara menghampiri Gladys. Lalu tanpa aba-aba dibopongnya di depan tubuh wanita keras kepala itu. Membawa Gladys ke mobilnya luar biasa sulit, Gladys berteriak protes serta meronta-ronta.

"Kau akan jatuh!" peringat Bara, mempererat dekapannya.

"Biar! Jatuhkan saja aku!"

Menggunakan lututnya, Bara melebarkan pintu penumpang depan yang sebelumnya telah ia buka. Perlahan didudukkannya Gladys, lantas cepat-cepat ditutupnya pintu.

Bernapas terengah, dikuasai amarah Gladys menunggu Bara duduk di balik kemudi hanya untuk memberi lelaki itu satu pukulan keras di pundaknya menggunakan tas kerja. "Aku membencimu!" sembur Gladys berulang.

Stuck on YouOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz