•1.9•

73 6 0
                                    

Suara tawa mengiringi kami selama menonton film. Bukan hanya aku dan Raka saja yang menikmati film itu, tetapi juga bunda yang menyusul sambil membawa camilan. Namun, dii akhir cerita, mata kami sembab, karena adegan film yang menyedihkan. Padahal, sebelum itu kami benar-benar tertawa kencang.

"Nonton film terus. Bunda udah masak belum?" tanya ayah sepulang dari kerja bertepatan dengan film yang kami tonton usai.

"Udah, dong. Bunda siapin makan malam dulu, Raka mandi, ya. Pakai baju Kak Thomas aja dulu, badan kalian hampir sama besarnya. Lis, bilang ke Kak Thomas mau pinjem baju," ucap bunda padaku dan Raka.

Aku dan Raka menuruti perkataan bunda dan berjalan beriringan ke lantai atas, mengetuk pintu kamar Kak Thomas, serta meminjam baju. Kemudian, Raka mandi. Sambil menunggunya, aku membantu bunda menyiapkan makan malam.

"Kamu sama Raka udah mulai deket, tuh. Sejak kapan? Katanya nggak suka sama Raka," tanya bunda padaku.

"Elis mulai mencoba untuk nerima Raka, Bun," jawabku.

"Bunda setuju kalo kamu jadi pacarnya Raka. Dia anak baik," ucap bunda.

Aku tersenyum singkat. "Bunda belum tau sifat buruk Raka."

"Emang kalo bunda tau, kenapa?" tanya bunda.

"Pasti bakal benci," sahutku.

"Bukannya setiap orang punya sifat buruk? Setiap orang punya sisi baik dan buruk, Lis. Sifat buruk pasangan itu harus diterima, kita juga harus ngingetin biar dia bisa mengurangi sifat buruk itu, bukan malah membenci sifat buruknya. Paham, 'kan?" jelas bunda.

Aku mengangguk.

Apakah selama ini penilaianku terhadap Raka memang salah? Mungkin memang salah, karena saat itu aku sedang bucin-bucinnya dengan Pak Roy. Jadi, segala sesuatu yang ada pada Raka sangat membuat kesal.

Raka datang ke ruang makan menggunakan baju warna putih milik Kak Thomas yang sedikit kebesaran. Celana joger hitam tampak kepanjangan, tetapi tetap terlihat keren saat dipakai oleh Raka. Wajah lonjongnya tampak bersih dan tak lagi berminyak seperti sebelumnya.

"Wih, ganteng banget kalo udah mandi!" puji bunda saat melihat penampilan Raka.

"Berarti sebelum mandi nggak ganteng, Bun?" tanya Raka sambil cemberut.

"Tetep ganteng, kok. Lis, panggilin kakak sama ayah kamu, suruh mereka makan!" perintah bunda padaku.

Aku langsung menuju ke kamar mereka masing-masing dan menyuruh makan. Di keluarga kami memang selalu makan bersama saat sarapan dan makan malam sambil berbincang santai mengenai kegiatan yang akan dan sudah dijalani pada hari itu. Meski hanya obrolan santai, setidaknya di keluarga kami tidak kehilangan komunikasi antara satu dengan yang lain.

Kami pun makan bersama dengan Raka tentunya. Ayah memberi pertanyaan pada Raka mengenai keluarganya. Ternyata, keluarga Raka memiliki bisnis kuliner yang sudah mendirikan 10 cabang restoran yang tersebar di pulau Jawa dan Bali. Raka memiliki seorang kakak perempuan yang sedang kuliah di Tokyo jurusan arsitektur. Keluarganya benar-benar hebat.

"Terus, kamu sendiri kesukaannya apa?" tanya bunda pada Raka.

"Musik, Bun. Dulu pernah tampil main piano di Malaysia dan Singapura waktu umur empat belas tahun," jawab Raka.

"Wah, hebat banget! Kamu lomba apa?" tanya bunda lagi.

"Bukan lomba, sih, cuma main aja di hotel dan pinggir jalan pas ketemu piano. Waktu itu lagi liburan, terus kakak nyuruh main piano. It turns out that many people like my show," jelas Raka.

"Kenapa nggak ikut lomba aja kalo banyak yang suka?" tanya Kak Thomas.

"Nggak PD, Kak, hehe," jawab Raka malu.

Love Different Age •END•Where stories live. Discover now