DUA PULUH DUA

362 121 18
                                    


VOTE DULU!!
ENGGAK BAYAR JUGA, KAN.
Gausah pelit 😡

~~


Happy Reading
And
Stay with me until the end

~~

"Om," kata Geraldi di suatu malam yang sepi pada papa Dandelion.

Dua laki-laki itu sedang anteng menatap Dandelion yang tengah tertidur pulas. Setiap malam keduanya memang selalu terlibat obrolan ringan sampai Geraldi akhirnya tertidur dan papa Dandelion akan berkutat dengan pekerjaannya sampai dini hari, lantas keesokan paginya ia pergi meninggalkan Dandelion, menitipkannya pada Geraldi untuk pergi kerja.

"Ya?"

"Dandelion pernah bilang, dia ingin melihat ayahnya bahagia. Punya anak perempuan lain yang lebih kuat supaya ketika Dandelion pergi dia tidak khawatir."

Papa Dandelion tersenyum. "Tidak pernah terpikir, Ge. Jangankan mencari pasangan lagi, pikiran om selalu berhenti di Dandelion."

Geraldi mengangguk mafhum. "Papaku punya Bramasta dan sebentar lagi punya bayi, mama Dandelion juga sebentar lagi punya bayi dan punya papaku sebagai pendamping hidup. Om tidak akan selamanya melajang, kan?"

"Biar saja mengalir, Ge."

"Om tahu, tidak?" Geraldi mengingat rentetan kejadian dalam hidupnya yang kebanyakan terasa pahit. "Jodoh, maut, ada di tangan Tuhan. Tapi, dua hal itu bisa berubah hanya karena campur tangan manusia. Contohnya, ibuku."

"Ibuku sakit kanker dan meyakini kalau ia tidak akan berumur panjang," lanjut Geraldi. "Tapi, ibuku terlalu ikut campur pada kuasa Tuhan dan memilih bunuh diri. Padahal siapa yang tahu, kalau ibuku tidak bunuh diri ia akan berumur panjang."

"Ya. Tapi, kalau memang Tuhan belum menakdirkan kematian pada ibumu, setinggi apapun ia jatuh dari gedung, ia tidak akan meninggal."

"Contoh kedua, pertemuan aku dengan Dandelion." Geraldi tidak menanggapi ucapan papa Dandelion dan memilih untuk mengemukakan pendapatnya lagi, "Aku dulu jatuh cinta sama anak om pada pandangan pertama. Tapi aku enggak bisa berjodoh dengan anak om kalau aku tidak ikut campur pada kuasa Tuhan. Hari itu, harusnya Dandelion menjadi kekasih laki-laki lain dan aku dengan berani menyatakan cinta." Geraldi tersenyum mengingat betapa tidak romantisnya ia menyatakan cinta pada Dandelion.

Papa Dandelion mencibir, "Percaya diri sekali kamu. Memangnya sudah yakin kamu berjodoh sama Dandelion? Bagaimana kalau om tidak memberi restu?"

Geraldi menelan ludah. Senyumannya menghilang seketika. Ia menggaruk keningnya yang tak gatal, merasa kikuk. "Ya ... kalau tidak direstui aku mau ngotot."

Papa Dandelion terkekeh dan menepuk bahu Geraldi. "Melihat Dandelion begitu mencintai kamu. Tentu saja om mau kamu jadi menantu om."

Geraldi mengangguk. "Kalau aku sembuh, om. Orang yang punya penyakit HIV itu boomerang untuk seorang pengidap kanker. Secara enggak langsung, aku adalah luka untuk Dandelion."

"Tenang, Ge. Seperti katamu, maut, jodoh sudah ada di tangan Tuhan. Sama seperti kesembuhan. Rencana Tuhan itu indah, meskipun kadang tidak menyenangkan."

"Hikmahnya yang indah ya, om?"

"Ya. Menguatkan dan membuat manusia sadar kalau kita hanya makhluk kecil yang tidak berdaya."

"Kalau di depan suster Andita, om masih tidak berdaya?" tanya Geraldi tiba-tiba menyinggung soal suster yang kerap kali datang untuk memeriksa Dandelion dan Geraldi.

SIRNA [TERBIT] ✔Where stories live. Discover now