《─•─14─•─》

717 105 4
                                    

Before Chapter

Baru pertama kali aku mendengar appa memanggil nama eomma ditambah nada membentak seperti itu.

"Appa kenapa membentak eomma?!" Aku mencoba memberanikan diri dan malah mendapatkan tatapan tajam dari beliau.

"Kenapa?! Apa peduliku dengannya!" kata appa sambil menunjuk eomma yang membulatkan mata terkejut.

"Sebenarnya appa tidak pernah menyukai dia!" Aku kembali terkejut dengan pernyataan tiba-tiba ini, appa menunjuk eomma yang kini terisak.

Sebenarnya apa yang terjadi di sini?!




Continue

Chapter 14
____________

Aku menatap nanar rumah yang berantakan, tidak pernah kubayangkan akan terjadi hal yang tidak aku harapkan sebelumnya. Padahal kupikir setelah aku meyakinkan dia untuk bersama orang lain, mengangguk menyetujui usulanku. Namun nyatanya, semua hanyalah omong kosong belaka. Dia tidak menepati ucapannya, memberikan harapan palsu pada seseorang yang kuyakinkan untuk menjadi pendampingnya. Awalnya sangat membahagiakan sekaligus hatiku seperti diremat menghadapi kenyataan bahwa dia bersanding di altar bersama orang lain.

Aku berusaha melupakan kisah cinta yang pernah terjalin selama tiga bulan bersama dia yang terpaut jarak delapan tahun. Jangan tanyakan mengapa. Karena terkadang cinta memang tidak masuk akal. Selama sebuah hubungan saling memberikan kenyamanan satu sama lain, itu tak jadi masalah.

Sampai aku harus tertampar oleh kenyataan yang ternyata kekasihku, dia. Adalah mantan kekasih eomma dulu dan sekarang telah berubah status menjadi appa tiriku.

Appa tiriku, Park Chanyeol. Tidak sepenuhnya mencintai eomma, bukan sesuatu yang aku inginkan. Dia hanya memanfaatkan status barunya untuk semakin mendekatiku, mencari celah selama eomma tidak ada. Dan klimaksnya adalah kemarin malam.

Pertengkaran besar terjadi antara mereka (Appa dan eomma), aku hanya menangis di sudut kamar, menutupi telingaku dengan bantal, enggan mendengarkan umpatan yang terulang kali appa ucapkan. Eomma mencoba meredakan kemarahan appa padaku, namun nihil. Satu tamparan keras mendarat di pipi eomma, menghadiahkan cairan merah pekat di sudut bibir. Menangis merasakan perih dipipi sekaligus di hati.

Appa mendekat ke arahku, mencoba merengkuhku dalam dekapan, namun aku menolak, kudengar ucapan maaf berkali-kali dari bibirnya, tetapi aku tidak mau mendengar, mengalihkan pandanganku saat tangannya terulur mencoba mengelus pipiku. Bagaimana aku bisa memaafkannya jika dia saja menghancurkan perasaan eomma, orang yang sangat berharga di hidupku. Aku salah akan keputusanku.

Paginya, appa pergi entah kemana. Sedangkan eomma menangis di kamar dan menguncinya, aku menatap bersalah, seperti aku juga mempermainkan perasaan eomma yang sekarang meneriakiku untuk pergi menjauh dari pandangannya. Aku menurut, mungkin itu bisa membuah eomma lebih baik.

Aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah, tidak bisa kutinggalkan eomma dengan keadaan kacau. Kupandangi figura yang berada di ruang tamu, terlihat appa dan eomma yang tersenyum bahagia dengan pakaian pengantin. Yang sekarang hanya sebatas angan, tetapi aku tidak mau menyerah, aku harus memperbaiki semuanya sebelum benar-benar terlambat.

Tepat pukul dua siang, aku mendengar ketukan di pintu rumah, memperbaiki penampilanku yang berantakan sebelum membukakan pintu. Terlihat namja dengan tas jaket kulitnya dan tas punggung hitam, masih lengkap dengan seragamnya, aku tersenyum karena dia yang memulainya.

"Kau tidak apa-apa?" Pertanyaan yang tidak ingin kujawab.

"Masuklah." Beruntung aku sudah membersihkan kekacauan.

"Ingin minum apa?"

"Air putih saja."

"Sirup? Oke tunggu." Aku meninggalkannya, memang sengaja mengatakan itu, mencoba membuatnya tidak sadar akan kesedihanku. Tidak butuh waktu lama untuk membuatnya, aku membawanya ke ruang tamu.

"Terimakasih." Dia meminumnya, meneguk hingga tersisa setengah gelas. "Manis, seperti yang membuat." Aku terkekeh pelan, setidaknya dia mulai melupakan tujuannya kemari, mungkin.

"Ren—"

"Apa hari ini ada tugas, Jen?" Lebih tepatnya Jeno.

"Tidak ada, hanya minggu depan akan ada ulangan harian."

"Benarkah?" Dia mengangguk. "Padahal aku belum terlalu paham materinya, boleh kau mengajariku?" Sebelum dia menjawab aku sudah pergi mengambil buku di kamar.

"Renjun boleh aku bertanya sesua—"

"Jen ayo cepat ajari ak—"

"Huang Renjun sungguh aku tau kau sedang ada masalah." Aku diam saat dia memotong ucapan.




TBC

Méprise メ Noren✔Where stories live. Discover now