《─•─18─•─》

680 96 5
                                    

Before Chapter

Jeno tidak lagi bicara, dia berdiri, mendekat, memeluk kepalaku sambil mengelusnya pelan.

"Aku akan selalu menunggumu, jika kau bukan takdirku, setidaknya aku pernah berperan dalam hidupmu."

"Maaf ...," aku belum bisa menerima perasaanmu.

"Tidak apa, aku mengerti."

"Terimakasih."




Continue

Chapter 18
_____________

Malam itu berlalu begitu saja. Lantas waktu berjalan cepat. Hari demi hari  merangkai minggu. Minggu datang merajut bulan. Dan bulan tersulam apik menjadi tahun. Dua tahun berlalu. Aku dan dia bersama. Dengan dia yang selalu bersamaku, berusaha meyakinkan perasaanku yang terkesan labil. Terkadang mengingat masa lalu, membuat cairan bening lolos begitu saja. Namun, dia tak memarahiku. Dia malah mengusap punggungku, berusaha menenangkan. Dan aku berakhir di dalam dekapannya.

Hatiku menghangat, merasakan betapa tulusnya perlakuan yang dia berikan.

Tak pernah kubayangkan ini sebelumnya, dia yang menyebalkan, selalu mengganggu, ternyata mempunyai rasa padaku. Apa benar, jika kita tidak suka sampai membenci seseorang malah berakhir dengan orang itu?

Mungkin jawabannya iya.

Karena aku mengalaminya sendiri.

Ah, terkadang takdir itu lucu.

Setelah kelulusan berjalan lancar, Jeno memberitahu jika malamnya akan ke rumahku bersama orang tuanya. Awalnya aku bingung karena dia hanya tersenyum tidak jelas saat kutanya. Sepertinya aku harus menunggu sampai malam tiba.

Lantas waktu melesat cepat. Dan sekarang aku duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuaku. Ah, iya, perasaanku pada appa sepertinya sudah memudar. Karena cairan bening akan sakitnya kenangan masa lalu tak pernah lagi membasahi pipi.

Juga appa dan eomma, mereka terlihat bahagia sekali.

Appa tak pernah lagi melakukan hal yang memang tak seharusnya dilakukan kepada anaknya. Beliau yang sekarang menyayangiku layaknya seorang anak, tidak lebih.

Jeno datang bersama orang tuanya ternyata ingin melamarku. Menjadikan aku dan Jeno terikat dalam sebuah hubungan pasti. Aku tak tahu dia seserius ini.

Aku melihat kedua orang tuaku, mereka tersenyum lalu mengangguk. Beralih ke orang tua Jeno, mereka tersenyum tulus. Dan terakhir atensiku kulemparkan pada Jeno.

Dapat kulihat dari kedua manik matanya, begitu meyakinkan. Dia mengangguk sambil memberikan senyum terbaiknya.

Detak jantungku berdetak dua kali lebih cepat, apa aku harus menjawab iya? Atau tidak?

Apakah perasaanku pada appa benar-benar sudah pudar?

Lalu bagaimana perasaanku pada Jeno? Berhasil kah dia membuatku membalas perasaannya?

"Aku ...," kujeda kalimat yang akan keluar dari mulutku. Kupejamkan mata, berusaha meyakinkan perasanku. Mengepalkan tangan yang ternyata berkeringat.

"Maaf." Satu kata sebelum aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Perasaan bersalah mulai menyelimuti, raut terkejut mereka masih terbayang. Cairan bening mulai membasahi pipi, aku berlari tak tentu arah.

Lamat-lamat aku mendengar seseorang berteriak memanggil namaku.

Kupercepat tempo berlariku.

Bruk.

Tubuhku tersungkur ke aspal. Merutuki kebodohanku karena tersandung kaki sendiri.

Dan kudengar langkah kaki seseorang mulai mendekat. Sekarang berdiri tepat di depanku. Tangannya terulur. Aku mengabaikannya. Memilih berdiri sendiri, tapi hasilnya nihil.

"Kenapa berlari?" tanya Jeno yang kini malah berjongkok. Aku membuang muka, tak ingin melihat wajahnya.

"Kau marah padaku?" Bibirku mengatup rapat, tak berniat menjawab. "Maaf."

Aku menyerngitkan dahi, untuk apa dia meminta maaf?

Dia menghela nafas pelan. "Maafkan aku yang terlalu berharap padamu, maafkan diri ini yang selalu yakin akan jawabanmu, maaf atas segala perlakuanku padamu selama ini. Jika ini adalah jawabanmu, aku bisa apa?"

Kurasakan elusan di pucuk kepalaku. Aku menggigit bibir bawah, mencoba menahan isak.

"Setelah ini aku tak akan menampakkan diri di hadapanmu lagi, terimakasih sudah mau meladeniku selama ini. Kau bebas."




TBC or END?

Méprise メ Noren✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang