Chapter 1 : A Fragile Heart

1.3K 132 24
                                    

Langit berhias mendung malam itu. Angin sejuk sesekali bertiup menyegarkan jiwa-jiwa lelah yang berlalu-lalang di sepanjang trotoar jalan. Rembulan yang kemarin meminjamkan sinarnya hari ini tengah bersembunyi di balik awan gelap yang bergulung menjanjikan hujan.

Di ujung trotoar, berdekatan dengan persimpangan jalan, berdiri sebuah bangunan bercat cokelat muda. Papan berbentuk awan biru tergantung di depan pintu kacanya. 'Cinnamon Cafe' - tulisan di papan itu.

Bel kecil di atas pintu kaca berdenting merdu, menandakan pintu terbuka. Seorang pria muda nampak berjalan keluar dari cafe. Pria itu membawa segelas kopi yang masih mengepulkan asap hangat di tangan kanannya. Dengan langkah mengayun santai, ia melaju menyusuri trotoar sambil sesekali menyesap kopi di gelas styrofoam itu.

Dia menggumam puas. Hari inipun, kopi yang disiapkan pramusaji di cafe langganannya terasa pas. Sama seperti hari-hari biasanya.

Sekejap ia terhenti untuk menengadahkan kepala ke langit malam. Mendung, batinnya. Dia bertanya-tanya apakah akan sempat jika dia mengambil jalan itu hari ini. Akankah hujan terburu tiba sebelum ia sampai rumah jika ia lewat sana? Karena jalan yang ingin ia lewati membuat perjalanan pulang menjadi bertambah dua puluh menit.

Melewati jalan itu, membuat perjalanan pulang ke rumah menambah jarak. Jauh, lebih jauh dari jalan yang seharusnya ia ambil di saat-saat normal.

Tapi, dia ingin lewat sana. Tak peduli walaupun jalan yang akan ia lewati itu menyita waktu istirahatnya.

Dia ingin melewati bangunan itu. Dan cara satu-satunya adalah melewati jalan memutar yang cukup jauh dari apartemen tempatnya tinggal.

Angin dingin menghembus, membelai tubuhnya yang lelah. Tangan kanannya menggenggam gelas sedikit lebih erat. Ia tersenyum getir.

Selama beberapa hari ini, sepulang bekerja, dia selalu melewati jalan yang tak biasa ia ambil sebelumnya. Di hari-hari itu, dia merelakan kakinya menempuh perjalanan yang lebih jauh hanya demi satu alasan. Alasan yang dia anggap bodoh.

Lampu jalan di pinggir trotoar memberikan cahaya temaram. Sinar kuning dari bola lampu di dalam tabung kaca di ujung tiang sesekali berkedip di tengah remangnya malam jalanan. Orang-orang masih banyak yang berhilir mudik meski malam hampir beranjak larut. Para pejalan kaki yang menyusuri trotoar, masing-masing memiliki tujuan mereka sendiri. Masing-masing mempunyai tempat yang ingin dituju.

Diapun demikian. Ada tempat yang ingin dia tuju. Bukan, lebih tepat lagi - tempat yang ingin dia lewati.

Ya, dia hanya ingin lewat di depan tempat itu. Hanya lewat. Hanya berjalan di depannya, memandanginya dengan tatapan sendu, lalu melanjutkan langkah untuk pulang yang terasa semakin berat setiap harinya.

Bukankah bodoh?

Bangunan itu berdiri megah di sebelah timur jalan. Halaman berumput hijau terhampar di depan teras yang luas. Dedaunan yang menguning bertabur di atas rumput, menghias hijau dengan warna kontras namun selaras. Beberapa orang terlihat berlalu lalang di depan teras bangunan. Ada yang sekedar mencari angin segar, ada yang tengah bercengkerama bertukar satu dua patah kata. Orang-orang itu semua berseragam.

Gelas styrofoam yang sedari tadi ia genggam menyisakan sepertiga kopi. Hangat dari cairan hitam itu menguar ke telapak tangannya, memberikannya sedikit rasa nyaman yang ia butuhkan. Dengan langkah yang perlahan - terlalu perlahan hingga orang yang melihat mungkin akan menggumam curiga - ia berjalan melewati bangunan itu. Pandangnya menyusuri setiap sudut bangunan yang masih bisa ia raih. Setiap jendela yang membiaskan cahaya lampu dari dalam, setiap pojok halaman, setiap orang yang berseliweran di depan bangunan, semua tak ada yang luput dari matanya.

The Flame We Keep Alive【END】Where stories live. Discover now