Chapter 4 : We Will Keep This Flame Alive

914 115 40
                                    

Wajah yang tengah tertidur pulas itu terlihat lugu, menyimpan damai yang membawa ketenangan. Napasnya terdengar berirama, dadanya naik dan turun dengan teratur. Memandanginya saja membuat ZheHan merasa begitu tenang.

ZheHan duduk di atas lantai, menghadap sofa panjang berwarna hijau pupus di tengah-tengah apartemennya yang sudah dibayangi remang. Lampu neon di ruang tengah telah padam, namun penerangan dari arah dapur masih memberikannya sedikit cahaya untuk memfungsikan pengelihatannya. Samar-samar pendar dari dapur membayangi sosok yang tengah terlelap di atas sofa. Begitu pulas nampaknya, hingga ia tak menyadari keberadaan ZheHan yang terus memandangi, mengamati, menyimpan setiap jengkal fitur wajahnya ke dalam memori. Mata yang tengah terpejam itu tak akan melihat, bagaimana ZheHan yang seharusnya sudah pamit untuk pergi tidur ternyata mengendap-endap ke ruang tengah dan duduk bersimpu di depan sofa dengan tatapan kagum, sendu, dan kesepian yang bercampur.

ZheHan sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, dan biarkan dia yang tidur di sofa. Tapi pria itu menolak. Sampai lelah ZheHan membujuk, pria itu tetap bersikeras untuk tidak mau mengambil kenyamanan tidur ZheHan di rumahnya sendiri. ZheHan pun akhirnya menyerah, dan meninggalkannya di sofa setelah mempersiapkan bantal dan selimut.

Apa seharusnya aku menyarankan untuk tidur berdua di kamar?

ZheHan menggelengkan kepalanya beberapa kali, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang tak sepatutnya singgah. Pria ini telah ketinggalan kereta terakhir di stasiun, jadi dia butuh tempat untuk bermalam. Dan itu semua karena ZheHan. Karena dia telah menolong ZheHan. Yang bisa ZheHan lakukan setidaknya adalah memberikan kenyamanan tidur malam di tempatnya yang tak begitu mewah ini.

Tangan ZheHan gemetar saat ia coba mengangkatnya. Tangan itu terulur amat perlahan, melayang di atas wajah yang tengah pulas itu. ZheHan tak tahu apa yang ada di pikirannya. Yang ia tahu, ia hanya ingin menyentuhkan tangannya di wajah itu. Jemarinya bergetar saat ujungnya hampir membuat kontak dengan pipi yang sedari tadi ingin disentuhnya.

Namun, ketika jarinya baru saja bersentuhan dengan pipi yang hangat itu, ZheHan tersentak kaget. Sebuah cengkraman erat melingkar di pergelangan tangannya dengan begitu cepat, ZheHan tak punya waktu untuk melihat bagaimana tangan itu bisa sampai ke sana.

Mata lebar menatapnya dengan tajam, berkilat di tengah gelap.

Mungkin dia tak sepulas yang aku pikirkan.

Tapi kemudian mata itu melembut, wajahnya tak lagi terlihat tegang. Sebuah kelegaan nampak tersirat di sana. ZheHan kembali melanjutkan napasnya yang tercekat.

"Ah, maaf." Lirihnya, genggamannya di pergelangan ZheHan melonggar. "Apa aku menyakitimu?"

ZheHan menggeleng. Seharusnya ia malu karena sudah tertangkap basah memandangi seseorang seperti seorang penguntit genit. Tapi, dia tak merasa seperti itu. Entah kenapa ia tak ingin menarik tangannya dari genggaman hangat itu.

"Maaf. Itu hanya insting. Aku pikir seseorang akan menyerangku." jelasnya, dengan tawa tersipu. Ibu jarinya mengusap sisi dalam pergelangan ZheHan, di mana urat nadinya berdetak-detak tak karuan.

Mereka telah mengobrolkan banyak hal saat ZheHan akhirnya bisa mengobati lukanya dengan benar waktu itu. Setelah terlepas dari apapun yang telah mengaburkan pikirannya, ia akhirnya dapat kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat terhenti; merawat luka pria yang telah menolongnya.

Di sela-sela mengoleskan kapas berteteskan obat merah di lengan yang tersayat itu, ada banyak hal yang ZheHan dapat dari pria penyelamatnya.

Gong Jun, nama pria itu. Seorang petugas pemadam kebakaran yang tinggal cukup jauh dari kantor tempatnya bekerja. Setiap hari, ia harus mengambil kereta untuk pulang pergi. Dia tak bisa tinggal di apartemen yang lebih dekat dengan kantornya, karena ia tak bisa meninggalkan ibunya untuk tinggal sendiri di rumah.

The Flame We Keep Alive【END】Where stories live. Discover now