1. Harapan

12.7K 795 52
                                    

"Kamu tidak terluka oleh dia, tetapi kamu terluka oleh harapanmu sendiri. Terlalu menarug harap lebih pada dia yang tidak pasti."

♡♡♡

"Nic, aku sayang sama kamu." Ilona menatap Nico sendu, matanya mulai berkaca-kaca. Bibinya bergetar menahan isak tangis.

"Tapi gue gak sayang sama, lo," balas Nico lugas, menatap Ilona risih.

Ilona tersenyum getir, bibirnya masih bergetar ingin terisak. Namun, sekuat tenaga Ilona mencoba kuat. "Lalu, buat apa, Nic. Kamu pacaran sama aku, hah?!"

"Buat jadiin lo pelampiasan aja, kalau gue bosan sama Elis," jawab Nico santai, seakan ini semua bukan masalah besar.

"Berarti hubungan kita yang hampir dua tahun ini, hanya aku yang berjuang, iya?!" Ilona benar-benar kesakitan sekarang, ini di luar ekspektasinya.

"Hubungan dua tahun ini hanya drama, gue gak cinta sama lo, dan gak pernah anggap lo ada."

Luruh sudah pertahanan Ilona. Isak tangisnya pecah. Langit mulai gelap, seolah mengerti akan beban yang Ilona tanggung selama ini.

"Apa gak bisa, Nic. Kamu pura-pura cinta sama aku? Seengaknya berbohong biar aku bahagia. Walaupun juga terpaksa." Ilona tersenyum getir, isakan tangisnya begitu terdengar memilukan.

Nico berbalik, menatap gadis di hadapannya dengan tajam. Nico langsung menarik dagu Ilona dengan kasar. "Bahkan untuk berpura-pura aja gue gak bisa, di mata gue lo gak ada harganya."

"Putusin aku sekarang!" pinta Ilona, tidak ada keraguan dari tatapan matanya.

Namun, belum sempat Nico menjawab tak lama Elis datang, dan dengan tidak sopannya gadis itu langsung mengecup pipi Nico. "Yuk, kita pulang!" ajak Elis, melingkarkan tangannya di lengan Nico.

Sesak, sangat sesak. Ini sudah menjadi ke sekian kalinya Ilona melihat Nico dan Elis bermesraan di depannya, tanpa rasa malu atau bahkan tak enak dengan dirinya. Ilona benar-benar ibarat ilusi Nico saja.

Nico pun mengangguk santai, lalu melangkah meninggalkan Ilona yang masih menangis. Sungguh tega. Elis bahkan sengaja menabrak bahu gadis itu, membuatnya jatuh tersungkur di tengah lapangan.

Awan hitam yang tebal mulai meneteskan bebannya, dalam hitungan detik air itu berubah menjadi ribuan tetes yang membasahi bumi. Awan bahkan bisa merasakan beban yang ditanggung Ilona.

Hujan semakin deras, Ilona masih bertahan di bawah guyuran hujan. Membiarkan tubuhnya basa kuyup, sementara air matanya semakin deras.

Tiba-tiba Ilona tak merasa titik hujan lagi di atasnya, perlahan gadis itu mendongak. Mata coklat terangnya bertemu pandangan dengan seorang lelaki yang memegang payung untuknya.

"Nangis di bawah hujan gak bakal bikin masalah kelar, yang ada lo bisa kena demam. Berdiri dan hapus air mata lo." Lekaki itu mengulurkan tangan, walau di wajahnya tak ada senyum sama sekali.

Ilona pun menerima uluran tangan itu, mencoba bangkit. Bibirnya sudah pucat, rasa dingin mulai menusuk pori-porinya. Lelaki itu menyerahkan payung pada Ilona, ia membuka jaket tebalnya lalu digunakan untuk menutupi tubuh Ilona.

Setelahnya, lekaki asing itu melangkah meninggalkan Ilona. Menerobos hujan yang masih deras.

"Siapa dia?"

****

Setelah berjalan sekitar lima puluh meter, Ilona sampai di rumah. Menaruh payung itu dengan rapi, lalu melepas jaket yang menutupi tubuhnya.

Tak lama, seorang wanita muncul dari dalam. Berkacak pinggang menatap Ilona yang basah kuyup. Sorot matanya begitu tajam. "Udah tau lemah, kenapa harus mandi hujan. Kamu sengaja tambahin beban keluarga ini?!" Wanita itu menarik lengan Ilona kasar.

"Ilona kehujanan, Bu."

Dia adalah Irna. Ibu yang sudah merawat Ilona sejak kecil. Perlakuan Irna yang kasar dan hobi menyiksa Ilona menjadi bukti kuat, bahwa Ilona bukanlah anak kandungnya.

"Kamu lihat sekarang, kakakmu sedang terbaring di rumah sakit. Apa kamu mau nambahin beban ibu lagi?!" Irna melepas lengan Ilona dengan kasar, membuat tubuh gadis itu hampir limbung.

"Maaf, Bu. Ilona benar-benar gak sengaja," ucap gadis itu, bibirnya sudah bergetar akibat rasa dingin yang menjalar.

"Dari dulu sampai sekarang kamu memang selalu menyusahkan orang tua. Menyesal saya membesarkan kamu!" hardik Irna, lalu kembali masuk ke rumah.

Isak tangis Ilona kembali pecah. Selama ini ia selalu sabar akan perlakuan Irna, walau kadang hatinya ragu. Apa dirinya anak kandung atau bukan?

"Jatah makan kamu saya tahan untuk malam ini!" teriak Irna nyaring, melemparkan Ilona sebuah botol air mineral.

Ilona terduduk lemas. Menangis dalam diam meratapi nasibnya yang begitu malang. Ilona tidak pernah tau bagaimana kasih sayang, pelukan, dan senyuman dari Ibu.

"Apa aku memang bukan anak Ibu?"

--->> to be continued.

Versi Baru! Tetap ikuti kelanjutannya:)

30 Days with love [Versi Baru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang