34. Manas-manasin Iyan

37 6 0
                                    

   

Bel istirahat berbunyi, aku lekas membereskan alat tulis dan buku gambarku yang berserakan setelah pelajaran seni budaya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bel istirahat berbunyi, aku lekas membereskan alat tulis dan buku gambarku yang berserakan setelah pelajaran seni budaya.

  "Nian, mau ikut ke kantin?" ajak Aulia yang juga masih membereskan alat tulisnya.

"Ada Kak Diego?" tanyaku. Aku menutup retsleting tasku.

"Ada dong."

"Ogah ah, nanti gue jadi nyamuk, males banget," dengusku.

"Tapi nggak papa lo sendiri?" tanya Aulia. Ia tahu biasanya aku selalu bersama dengan Iyan, sedangkan sekarang ini aku dan Iyan sedang renggang.

"Nggak papa. Gue duluan, ya. Mau ke toilet." Aku langsung pergi menuju toilet. Entah kenapa hari ini aku beser dan ini kali keempat aku pergi untuk buang air kecil.

  Setelah selesai, aku mencuci tanganku. Di depanku ada sebuah cermin besar yang menampakan diriku dari atas sampai dada. Semakin hari, wajahku semakin kusam saja. Berbeda jauh dengan wajah Aqila yang selalu terlihat lembab dan glowing. Kenapa tuhan tidak menciptakan semua wanita dengan rupa yang cantik?

  Aku teringat Olivia, pacar Iyan. Dia memang tak secantik Aqila, tapi wajahnya cukup menyejukan saat dipandang. Apa karena kerudungnya?

  Dan sekarang aku teringat Iyan dan beberapa petuahnya tentang berkerudung.

Kerudungnya cantik karena dipake sama lo ...

Ya kalo pake kerudung kenapa emang? Nggak suka? ...

Lo udah gede, udah waktunya jaga aurat ...

  Kini aku merenungi semua perkataannya itu. Apa aku coba untuk mulai menutup aurat? Tapi aku takut berhenti di tengah jalan dan kembali membukanya. Apalagi jika hanya untuk membuat Iyan terkesan.

Mengubah diriku demi orang lain, jelas bukan aku.

  Tiba-tiba Amelia cs memasuki toilet, aku langsung terkejut. Aku mematikan keran air lalu pergi. Aku tak ingin lama-lama berada di dekat mereka.

  Aku berjalan gontai menyusuri lorong-lorong kelas. Sesekali aku berpapasan dengan beberapa siswi yang sudah mantap mengenakan hijab setiap hari ke sekolah. Setelah diperhatikan, wajah mereka lebih segar untuk dipandang. Lagi-lagi teringat niatku untuk berhijab yang masih belum terealisasikan.

"Nian." Sapaan Bani cukup membuatku tersentak.

"Eh, Bani. Mau ke mana lo?" Aku menghentikan langkahku.

"Ke kantin. Mau ikut nggak, gue males sendiri. Si Iyan sama Regan gue cariin dari tadi nggak ketemu-ketemu. Mentang-mentang gue lama ngerjain tugas mereka ninggalin gue gitu aja," rutuk Bani penuh kesal.

"Ya udah gue ikut. Lagian gue juga nggak tahu mau ke mana."

"Bagus!" Bani langsung merangkulku. Kami pun berjalan menuju kantin sekolah. Aku sudah tak asing lagi dengan rangkulan Bani. Saat SMP dulu, kami sering melakukan semua ini. Saling merangkul bersama teman-teman yang lain hingga memagar jalan.

Kita Yang Tersesat [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang