03 (Remaja tanpa Ambisi)

1.8K 281 0
                                    


Awalnya berjalan sesuai rencana, dan Hares pikir dia akan baik-baik saja. Hari di mana Jiji pergi meninggalkannya, komunikasi mereka masih bisa dikatakan lancar, bahkan sangat lancar. Mereka sering mengirimi email satu sama lain, bahkan jika pembahasannya tidak penting sekalipun, namun kian hari, Jiji mulai slow respon, hingga berujung dengan mengabaikan puluhan pesan dari Hares. Anak itu mulai merasa kesepian, dan semakin ia bertumbuh, ia merasa masalahnya semakin banyak. Hidupnya pun semakin kacau, dia jarang mengonsumsi makanan sehat dan mulai merokok. Bahkan rumah yang ditempatinya pun tak bisa dikatakan rumah lantaran sangat berantakan.

Sebegitu kacaunya kehidupan Hares tanpa Jiji. Dia terbiasa dengan Jiji yang selalu ada di sisinya, mendengar setiap keluh kesahnya, dan yang terpenting dari itu semua adalah senyuman Jiji yang menenangkan hati. Hares tak ingin menyangkal bahwa senyuman Jiji sangat mirip dengan senyuman milik bunda, hingga selain kehadiran sosok Jiji, Hares juga merasakan sosok bunda di diri Jiji.

Anak itu sangat merindukan sosok Jiji di hidupnya. Jika semisalnya sekarang Jiji kembali, apa Jiji akan memarahinya karena sudah tidak patuh?

Uhuk ... uhuk. Hares terbatuk tatkala benda bernikotin itu dihisapnya, ia merasakan napasnya sedikit sesak dan memutuskan untuk mematikan rokoknya. Hares bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamarnya.

Ji, hidup gue kacau banget sekarang, sebentar lagi pengumuman SNMPTN, gue bahkan ragu kalo gue lulus. Jiji bilang gue anak yang pintar, tapi semenjak lo pergi, hidup gue mulai nggak beres. Nilai gue banyak yang merah dan gue sering remedial. Ji, hidup gue nggak baik-baik aja tanpa lo.

Setelah mengetikkan pesan sepanjang itu pada Jiji, Hares segera menenekan tombol send.  Walaupun Jiji bilang untuk menghubunginya lewat nomor telpon yang ia kirimkan setahun yang lalu, Hares tetap mengirim pesan itu ke emailnya Jiji, karena tak ada bedanya bila pesan itu dikirim lewat email ataupun aplikasi chattingan sekalipun, pesannya jarang mendapatkan balasan. Dimulai dari empat tahun yang lalu. Jiji hampir berhenti merespon pesan darinya. Jiji membalas jika isi pesan itu sangat genting.

Hares memijat dahinya, kepalanya terasa sangat pusing lantaran kekurangan tidur, baru saja hendak memicingkan mata, pintu kamarnya dibuka paksa mengakibatkan Hares kaget bukan main.

"Setan, kalo masuk bisa diketuk dulu nggak, sih? Bikin jantungan ae lo berdua," omel Hares memindai dua orang lelaki yang kini berdiri di ambang pintu kamarnya.

"Nomor lo kenapa nggak aktif? Kita telponin dari tadi nggak diangkat," tukas seorang lelaki bertubuh jakung, panggil saja dia Nana.

Alih-alih menjawab pertanyaan Nana, Hares celingak-celinguk mencari keberadaan ponselnya. Di hadapannya hanya ada laptop yang masih menyala, memperlihatkan isi pesan yang dikirimkannya kepada Jiji.

"Gue enggak tau itu barang di mana," gumam Hares masih terus mencari. Hingga tiba-tiba sebuah benda pipih jatuh di pangkuannya.

"Tuh, ketemu di atas sofa," ujar temannya yang berbadan agak kecil dari mereka berdua. Namanya Arjuna, tapi lebih sering dipanggil Juna atau Jun oleh teman-temannya.

"Thanks, Jun, tapi hp gue mati," balas Hares dengan entengnya.

Lelaki itu memperlihatkan smartphonenya yang ternyata baru dinyalakan. Ada begitu banyak panggilan dari Juna dan juga Nana, namun dari semua itu, sebuah pesan dari seseorang menyita perhatiannya. Itu pesan dari Jiji.

Enggak papa kalau elu nggak lulus SNMPTN, lu bisa masuk swasta, gua udah nyiapin uangnya buat lu, entar kuliah yang bener.

Hanya dengan membaca beberapa kalimat itu, menyebabkan Hares kembali semangat dan tersenyum. Bahkan Nana dan Juna sampai heran dibuatnya, padahal tadi temannya itu kayak orang sekarat yang tak punya semangat hidup barang seujung jari pun.

"Kita bertiga nggak lulus," ujar Nana seraya menunjukkan screenshoot hasil SNMPTN mereka bertiga yang sempat disimpannya tadi. Alih-alih merasa sedih, mereka bertiga malah kelihatan biasa saja.

"Gue enggak peduli," balas Hares. Toh, dari awal dia sudah menduganya. Nilai pas-pasan begitu mau dapat SNMPTN. Mimpi aja kali, ya.

🌻🌻

Juna kehilangan kata-kata ketika melihat keadaan rumah Hares yang sangat berantakan. Bekas bungkusan makanan cepat saji tergeletak begitu saja di atas meja, tumpukan rokok yang sudah agak menggunung di asbak menyulut emosi Juna yang siap akan meledak. Sementara Nana hanya menggeleng tak tahu harus bagaimana.

"Lu jorok banget Res, bersihin rumah lu buru," tukas Juna mulai mengumpulkan beberapa bungkus makanan yang berserakan di atas meja, untung bungkusan itu belum bau ataupun dihinggapi belatung.

"Itu baru dua hari yang lalu gue beli, cuma lagi males beresinnya," ujar Hares tanpa berdosa.

"Mau dua hari atau baru, tetep aja harus diberesin, rumah lu kayak kandang tikus."

"Mending lo ke sini bantuin kita bersih-bersih," ujar Nana yang sebenarnya ingin mengomel pada Hares, tetapi ia mengurungkan niatnya lantaran kasihan melihat kondisi menyedihkan temannya itu.

Dengan lunglai Hares beranjak dari kasurnya, menghampiri Juna dan Nana yang sibuk beres-beres.

"Res, nanti mau makan apa? Gue masak deh," ujar Nana ketika memasukkan beberapa sampah berupa bungkusan snack ke dalam kantung plastik, sementara Juna sibuk mengelap debu-debu yang menempel di atas meja ataupun barang-barang lainnya.

"Mau masak apa? Kulkas gue nggak ada isinya," balas Hares mulai menyapu lantai rumah yang terasa kasar karena jarang disapu.

"Gampang, bisa beli. Selagi ada uang mah aman," ujar Nana sambil tersenyum.

"Kenapa nggak beli makan aja? Lebih gampang."

"Gue pengen masak, lagian lo kebanyakan makan-makanan cepat saji. Enggak sehat tau."

"Terserah deh," balas Hares seraya mengangkat kedua bahunya.

Sekitar tiga puluh menit lamanya mereka membersihkan rumah Hares, dan sekarang mereka bertiga jatuh tertidur di atas karpet. Bersih-bersih ternyata menguras tenaga juga. 

"Btw kalian mau lanjut ke mana habis ini?" tanya Juna mengambil posisi duduk.

"Swasta paling, gue males ikut SBMPTN," jawab Nana seraya membuka smartphonenya.

"Lu mau ke mana, Res?"

"Sama kayak Nana, paling swasta."

"Kita ini lucu, pasrah aja nerima nasib, nggak mau usaha, ck ck," tukas Juna tertawa.

Mereka bertiga memang remaja tanpa ambisi, hidup mereka ya cuma jalanin, terus pasrah menerima apa yang bakalan terjadi ke depannya. Selagi masih bertiga, mereka akan baik-baik saja, bukan?

Ma Bro JijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang