Kunjungannya sampai ke hati

532 76 56
                                    

Hari ini dimulai dengan mendatangi dinas pendidikan, Dimas dan juga Hanum –anggota dewan satunya, sedang berjabat tangan dengan walikota Berlin, dan melakukan perbincangan serius seputar pendidikan, ah aku terpesona sangat dalam saat mendengar Dim...

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Hari ini dimulai dengan mendatangi dinas pendidikan, Dimas dan juga Hanum –anggota dewan satunya, sedang berjabat tangan dengan walikota Berlin, dan melakukan perbincangan serius seputar pendidikan, ah aku terpesona sangat dalam saat mendengar Dimas berbicara menggunakan bahasa Inggris.

Ternyata tugas ku hanyalah sebagai patung, sedari tadi tidak melakukan apapun selain membututi rombongan dari belakang, lagian ya Ridwan dan Laskar kan sudah fasih berbahasa Jerman, kenapa juga aku digunakan sebagai penerjemah, memang sih perempuannya hanya dua termasuk aku, tapi kan setidaknya perempuan satu sudah cukup sebagai pemanis.

Sayangkan uang bayaran dari KBRI, tapi aku memang butuh, dasar muna kamu Triss!

Dua jam berlalu, kunjungan di dinas pendidikan Berlin usai, aku yang nampak kelelahan, kontan kaget sewaktu Dimas mendekat.

“Mbak Triss,” panggilnya kalem, aku siap terjun bebas menuju palung mariana!

“Ya Pak?”

“Rekomendasi makan siang enaknya dimana?”

Aku langsung membuka catatan kecil ditas mini, aku sudah membahasnya dengan Inggit tempo hari, jackpot!

“La Lode Pak, itu restoran makanan khas Jerman yang terjamin halal, kalau Bapak Dimas dan rombongan berkenan makan disana, mari, kalau tidak, ada restoran makanan Indonesia juga disekitaran sini.”

Dimas menoleh kebelakang, menatap Hanum yang mengobrol dengan Ridwan dan Laskar. “Pak Hanum, mau makanan Jerman apa Indonesia?”

“Jerman wae Dim, adoh-adoh tekan kene kok mangane tahu tempe, ben rodo koyo londo sitik lah.”

Dimas tertawa, aku yang mendengar ucapan Hanum linglung tak paham.

“Mbak Triss tahu yang dikatakan Pak Hanum?”

Aku menggeleng. “Enggak Pak, maaf.”

Dimas mengerutkan dahinya. “Kok maaf? Kan memang nggak tahu, bahasa jawa itu Mbak, artinya Pak Hanum mau makan masakan Jerman saja.” Aku hanya ber-oh. “Memang Mbak Triss asli mana?”

“Cidewey Pak.”

“Oh sunda! Aji, tetangga mu ini!” Berteriak ke arah belakang, sosok Aji yang disebutnya mendekat, dari fisiknya sih sepertinya masih muda, mungkin sekitaran 25. “Si Aji, aspri saya, Mbak Triss.”

“Ya, Pak?” Aji sudah berdiri disamping Dimas, dengan gestur sopan.

“Orang Bandung Ji.” Dimas menyengir.

“Eh iya kah? Tapi maaf saya nggak bisa bahasa sunda, Mbak,” kata Aji.

Aku tersenyum geli. “Sama, Mas.” Dan ku dengar Dimas tertawa, duh suaranya itu loh, sejuk sekali, berasa sedang memetik dauh teh di Bogor. “Kalau Pak Dimas asli mana?”

“Saya asli Solo, Mbak Triss.”

“Wah orang keraton dong!” teriaku, menarik atensi semua rombongan, duh malunya, kenapa harus senorak ini sih.

HELLO, DEWAN!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora