SEBERANG 1

950 25 0
                                    


#Acha

"Achaaaa!!"

"Iya Ma, Acha turun nih," sahutku pelan sambil menuruni anak tangga, menghampiri Mama di dapur. Lengkap dengan seragam sekolah.

"Kamu ini, selalu aja telat bangunnya," Omel Mama seperti biasa.

Aku langsung duduk di salah satu kursi. Lagian juga belum telat-telat amat kok. Mama memang selalu berlebihan.

Mama mendekat sambil membawa segelas susu, memberikannya padaku. Lalu duduk di depanku dan melahap beberapa potong roti yang ada di atas meja. "Kamu perginya bareng Mama aja, nanti telat loh,"

"Gapapa Ma, Bareng Dava aja. Lagian juga ga bakal telat kok!" ujarku sambil meraih dua kotak bekal yang sudah disiapkan Mama, lalu bergegas mengambil tas di atas sofa dan melangkah ke pintu depan.

"Makasih bekalnya Ma! Acha berangkat dulu!" Aku berseru dari ambang pintu.

Aku membuka pagar rumah dan mendapati seorang cowok berjalan menjauh sambil membaca buku yang dibawanya.

"Dava!" panggilku cepat.

Cowok yang dipanggil Dava itu pun terhenti dan menoleh kebelakang. Dengan ekspresi wajahnya yang seperti biasa, Datar dan tak peduli.

"Tungguin Acha!" Keluhku pelan sambil berlari menghampirinya.

Belum genap langkahku sejajar dengannya, dia langsung berbalik dan kembali berjalan menjauh dengan santai, melanjutkan membaca buku. Dasar -_ sudah jelas itu tidak bisa disebut dengan 'Menunggu' kan?

Ah, dia memang selalu begitu.

By the way, namaku Acha. Cantik, baik, dan lumayan pinter juga. Dan cowok tampan yang ada di depanku ini, namanya Dava. Tetangga sebelah rumah plus teman sejak kecil. Teman-teman yang lain bilang kalau dia itu cuek, dingin, apalagi sama yang namanya CEWEK! Tapi bagiku, Dava itu pangeran dan aku sendiri tentu saja terlahir sebagai seorang putri untuk mendampinginya. Walaupun kadang Dava juga sering cuekin aku, tapi bodo amat. Lagian aku termasuk salah satu orang paling langka yang bisa deket sama dia. Bangga sih. Meskipun ga bisa dibilang 'dekat' dalam pemahaman biasanya.

Ya ga masalah deh. Lagian aku juga punya pikiran positif buat nanggepin dia. Salah satu contohnya, kayak gini nih. Aku sama Dava, berangkat ke sekolah barengan, tapi ga pernah sampingan jalannya. Paling cuma di waktu-waktu kepepet ulangan ataupun di masa-masa ujian. Dava bakal selalu ada buat ngajarin aku. Jadi berangkat sekolahnya bareng juga sampingan sambil belajar. Selain itu sih, 'jalan sampingan' cuma mimpi belaka. Yang ada malah dikacangin alias di cuekin.

But, no problem. Aku juga lebih nyaman kalau berangkatnya jalan di belakang dia kayak gini. Dengan jarak dua tiga langkah. Toh, aku bisa berandai-andai sambil mandangin dia terus meskipun cuma cover belakangnya doang. itu udah lebih dari cukup buat aku.

"Dava, Acha ga paham soal tugas bahasa kemarin," keluhku sesampainya di lorong koridor kelas.

Yang ditanya malah diam-

Aku ga bakal nyerah. "Malam ini, belajarnya di rumah Acha ya,"

"Hm," Jawab Dava singkat sambil menutup bukunya dan berbelok masuk ke dalam kelas. Aku yang bahagia mendengar jawabannya, mengikutinya dari belakang dengan wajah berseri-seri. Lalu duduk di bangkuku, tepat di sebelahnya/

Yap, itu juga termasuk salah satu nilai plus buat aku. Semenjak TK, SD, SMP, sampai sekarang di tahun kedua SMA, Kami selalu satu sekolah, sekelas, juga sebangku. Tak pernah terpisahkan. Dan semua itu juga terjadi berkat perjuangan aku sendiri. Waktu kecil, aku selalu maksain diri buat bisa duduk di sebelah DAVA. Dava menghindar aku tetep kejar. Dava duduk disana, aku juga pasti bakal nongol di sampingnya. Seakan-akan telah tercipta sebuah prinsip 'ACHA AKAN SELALU ADA DI SISI DAVA' - meski hanya di kelas. Hingga akhirnya paman Ferdi -ayah Dava-  sendiri yang menyuruh Dava untuk bisa sebangku denganku. "Biar bisa saling bantu," katanya. Apalagi Dava murid yang cerdas. Namanya juga rezeki. Mana bisa ditolak.

SEBERANG [2021] - [On Going]Where stories live. Discover now