Epilog

3.9K 455 104
                                    

Kasur empuk jadi pelampiasan kegusaran Nindi, guling jadi saksi bisu betapa banyaknya air mata dan ingus yang menempel di sana, tisu pasti kesal karena keberadaannya tak ada gunanya di nakas, kodratnya sebagai lap air mata tergantikan oleh si guling sialan. Bungkus ciki-ciki lima ratusan berserakan di lantai, betapa senangnya ibu warung saat Nindi nyaris memborong semua cikinya. Santoso dan Susanti memandangi sang babu yang menangis tersedu-sedu dengan pandangan melas, bukan karena sang babu sedang bersedih hati, tetapi disebabkan sang babu lupa memberi makan mereka.

"T-tega bener lo Hes! Apa gue harus h-harus ng-gepelet lo biar balik lagi k-ke gue?" Isakannya membuat kalimatnya terpotong-potong, dadanya kembang kepis merasakan napas yang sulit masuk ke paru-paru.

"Kayaknya c-cuman gue doang yang g-galau, lo malah s-s-sibuk main monopoli sama temen lo!"

Sungguh sakit melihatnya benar-benar tak acuh setelah mereka putus. Ya, Nindi sadar diri, ia bukan lagi siapa-siapa Mahes. Tetapi, tidakkah dia punya empati sedikit, bukannya ikut bergalau ria, dia malah bermain menopoli di selasar rumahnya bersama si Dimas Anggora dan Markidin. Entah, sejak kapan Mahes bergaul dengan si jamet itu.

"Dia makin keren! Sedangkan gue tambah burik!"

Dirabanya mukanya yang becek karena air mata, ia menemukan beberapa benjolan di pipinya yang kontan membuat mata bengkaknya mengerjap."Jerawat batu? Ini efek rindu, depresi atau dikecup Mahes?"

"APA PUN MENYEBABNYA, JELAS INI KARENA MAHES! SIALAN! BANGSAT!" Pekikannya memenuhi ruangan itu, hingga membuat Santoso dan Susanti bersembunyi karena terkejut.

"Gue kangen chatingan sama lo Hes. Kangen ngeronda online bareng lo!"

Nindi meraba sisi kasur yang kosong untuk mancari benda pipih kesayangannya, nihil Nindi tak menemukannya di kasur, rupanya ada di kolong ranjang. Ia baru ingat jika ia menaruhnya di bawah ranjang karena tak kuat melihat wallpaper ponselnya yang masih menggunakan fotonya dan Mahes. Padahal, mengganti wallpaper itu amat mudah.

Nindi menguatkan batinnya kala menghidupkan ponselnya yang sebelumnya ia nonaktifkan, sebentar lagi layar ponsel itu memunculkan kenangan yang sulit ia hilangkan dari ponselnya, mau pun dari otaknya.

"Ganti nggak, ya? Putus bukan berarti kudu ganti wallpaper kali!" pikirnya, lantas ia membiarkan saja fotonya dan Mahes terpampang di sana.

Berlanjut membuka aplikasi chating berwarna hijau, menampilkan room chat dari beberapa yang beberapa waktu yang lalu mengiriminya pesan, termasuk satu kontak yang tersemat di paling atas.

Isakan Nindi makin nyaring saat foto profil mantan pacarnya kosong, info nomor juga kosong, dan teks 'terakhir dilihat' yang biasa terpampang di bawah nama kontak hilang. Nomornya di blokir oleh yang bersangkutan, dan mungkin ia juga di blokir dari hati yang bersangkutan.

"HUA! DIBLOK! BEJAT BANGET LO SETAN!" ia membanting gulingnya, sampai mengenai dua kucing yang sedang memerhatikannya di lantai. "Segitunya lo Hes? Saking nggak mau berurusan sama gue lagi. Lo bilang gue harus lapor setiap jam tentang perkembangan Santi, tapi apa? Lo ngeblok gue, bajingan!" Umpatan amoral ia tujukan pada sang jahanam yang pastinya sedang senang-senang di sana.

Dikuasi emosi, jarinya manari-nari di layar ponsel, mengetiknya pesan berbentuk kekesalannya pada satu kontak yang telah memblokirnya. Sebetulnya ia juga mengetikkan betapa ia sangat merasa kehilangan Mahes. Percuma ia mengirimkan pesan-pesan kegalauannya, Mahes tak akan menerima satu pesan pun darinya. Tetapi, jika ini bisa membuatnya tenang, maka ia tak peduli akan dibaca atau tidak oleh Mahes.

P

Kenapa lo blok gue njir?! Dasar bejat! Segitu bencinya lo sama gue Hes? Kekanak-kanakan banget lo jadi orang! Inget ya, sebelum lo benci gue, lo juga pernah sayang sama gue! Jangan playing victim lo jadi orang! Jelas gue yang paling tersakiti, karena hinaan lo bikin orang-orang makin benci gue!

GUE JELEK, LO MAU APA?! (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu