[22] Ayo Profesional

3.4K 530 50
                                    

Budak Proker
©Adlia2021

°°°°°

Tadinya Bona ingin sekali mendatangi Alfia, menjambak rambutnya, marah-marah –atau apapunlah yang bisa meredakan sesak di dadanya. Bona sangat ingin menjadi Bona yang tidak peduli pada omongan orang-orang dan lebih memilih untuk meledak demi kesehatan mentalnya. Namun kenyataannya, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah mengunyah pelan mie rebus kuah kecapnya dengan air mata yang diam-diam mengalir.

Di sisi lain Bona juga tidak ingin menambah season baru dari daftar panjang dramanya jika keinginan untuk melabrak Alfia ia wujudkan sekarang.

Bona cukup tahu, dirinya memang sering menjadi subjek pergibahan anak-anak di fakultas. Banyak yang membicarakannya. Banyak juga yang tidak menyukainya. Tidak aneh, sih. Bukannya mau sok terkenal. Namun semua ini adalah efek dari aksi dramatis yang ia lakukan di musyawarah besar terakhir kali. Kata mereka, Bona sangat cocok menyandang status drama queen karena sudah bersikap berlebihan.

Ya ... benar, sih.

Tidak banyak yang tahu bahwa Bona juga langsung menyadari kebodohannya saat itu juga. Secepat ia melangkahkan kaki hingga tepat memasuki langkah ke delapan dari pintu aula. Bodoh. Masih ada sisa tiga tahun hidup jadi mahasiswa di sini. Mau jadi apa kamu Bona? Tapi penyesalan memang selalu datang belakangan, 'kan?

Hal itu juga yang membuat Bona trauma—secara harfiah. Penyesalan itu menjelma menjadi mimpi buruk yang hampir selalu menghantui Bona. Sedangkan Jaffin ... secara otomatis menjadi sosok yang harus ia hindari agar mimpi buruk itu tidak datang lagi.

"Lo nggak harus ngaanterin gue pulang, Dhaf," kata Bona sebelum membuka pintu mobil.

Kali ini gilirannya Dhafa yang bertugas untuk memastikan Bona sampai ke rumah dengan selamat. Wira masih ada kuliah sampai sore, juga beberapa rapat yang menyangkut BEM dan kepanitian mereka saat ini—definisi dari budak proker yang sesungguhnya. Dhafa juga sama, sih. Bedanya dia sedang tidak ada jadwal kuliah dan Dila masih ada urusan yang harus diselesaikan di kampus. Pacarnya itu masih bisa mengalah jika memang sudah harus pulang.

Dulu Dhara pernah menyebut Bona sebagai beban pertemanan karena tidak bisa mengendarai kendaraan apa pun dan jarak rumahnya juga sangat jauh. Belum lagi fantasi liarnya yang sering kambuh jika diharuskan pulang sendirian setelah matahari tenggelam. Waktu itu Dhara sedang bercanda. Namun karena sedang sensitif, kini Bona malah memikirkannya dengan serius.

"Ntar kalau lo udah punya pacar baru ngomong gitu lagi ke gue," kata Dhafa seraya mendorong pelan tubuh Bona agar segera masuk ke mobil. "Nggak usah sok seganlah sama gue. Kayak dengan siapa aja."

Bona menghela napas. Tangisannya memang sudah reda, tetapi kukungan emosi negatif ini belum juga beranjak pergi. Sudah jadi beban pertemanan, mellow tidak jelas pula. "Kalau ada yang nyariin gue gimana?" tanyanya dengan nada yang merengek. Dalam hati Bona berdoa, semoga Dhafa tidak ilfeel.

"Bilang aja lagi sakit," jawab Dhafa enteng. Laki-laki itu baru melanjutkan kalimatnya ketika mereka berdua sama-sama sudah memakai seatbelt. "Sakit hati, 'kan, juga sakit."

Sialan. Bona ingin menangis lagi.

Bukan karena ucapan Dhafa yang sepenuhnya benar.

Melainkan karena perempuan itu baru mengingat tugasnya sebagai sekretaris untuk menemani Jaffin ke Convention Hall setelah mobil Dhafa baru saja melewati gerbang fakultas.

"Dhaf, anjrit! Puter balik cepet! Gue masih harus ke CH nemenin Kak Jaffin!"

Kepanikan Bona sontak membuat Dhafa menginjak rem mobilnya karena kaget. Beruntung mereka berdua masih sempat menahan hentakan dan menjaga keseimbangan. Detik berikutnya Dhafa langsung melemparkan tatapan sinis. Tadinya ingin mengumpat, tetapi wajah memelas Bona malah membuatnya luluh; tidak tega.

[END] Budak Proker ✔️Where stories live. Discover now