Kehendak dalam Benak

205 153 222
                                    

Terik matahari menjadikan air danau tampak bening daripada biasanya. Di tengah semilir angin yang tiada tahu arah dan tujuan, dapat disaksikan unggas-unggas beterbangan. Entah unggas jenis apa itu, dari kejauhan terlihat cukup pekat, kepak hitam yang terlihat.

Dua awak muda kini tengah berduduk-duduk saja, berteduh tepat di bawah pohon dengan lebat dedaunannya. Walau terdapat juga beberapa daun kering berwarna kuning kecokelatan di sana, warna hijau tetap mendominasi. Beberapa daunnya berguguran, berserak acak di atas rerumputan.

Bila sore hari, pemandangan di danau itu cukup memanjakan mata. Sebab matahari telak memantulkan jingganya pada bening air dengan mesra. Tapi tak juga mengecewakan bila datang siang hari. Sebab tempat itu selalu bisa memberi kenyamanan dan keteduhan. Terlebih lagi bagi Kale yang memperkenalkan tempat seperti itu pada Zinnia.

Tak peduli akan kotor rerumputan, Zinnia dan Kale terduduk nyaman di atasnya. Beberapa kali terdengar suara air yang dilempar batu oleh Kale, menciptakan gelombang dengan jejak yang melingkar. Tepat seperti kebiasannya bila datang ke tempat itu. Bahkan Zinnia sudah hapal di luar kepala akan kebiasaan kawannya ini.

"Kale." Zinnia memicingkan mata begitu tak sengaja dia lihat samar-samar memar dari punggung tangan sebelah kanan Kale.

Lelaki yang aktivitasnya diinterupsi itu lantas menatap gadis di sampingnya. Tanpa kata, membiarkan mata yang bertanya.

Zinnia mulai meraih tangan itu dengan hati-hati. Sedangkan si empunya tangan tampak sedikit terkejut. Tidak ada kata diantara mereka. Yang ada hanyalah pandang Zinnia yang silih berganti menatap dirinya dan tangannya.

Terdengar helaan napas panjang yang dikeluarkan oleh Zinnia. "Kal, yang seharusnya punya kendali itu kamu atas emosimu, bukan justru sebaliknya."

Kale berdeham. Menarik tangannya kembali dan melanjutkan kegiatannya yang sempat terinterupsi tadi-melempar batu.

"Kale ...."

"Zi, it's not that easy. You know me so well."

Terdengar helaan napas Kale yang begitu teratur pada rungunya. Mata lelaki itu meredup memperhatikan rerumputan di hadapannya.

"Tapi kamu tau, kan? Dengan nyalurin emosi ke diri sendiri itu bukan hal baik, Kale. Stop hurting yourself. It's not a wise way to solve your problem at all," ucap Zinnia.

"What I should do then? Gue harus apa, Zi ...," balasnya dengan suara yang terdengar lirih.

"Damai sama diri sendiri dulu, Kal. Kamu enggak bakal nemuin ketenangan selama kamu dan semua emosimu itu enggak harmonis. Emosi yang bagian dari kamu, bukan sebaliknya."

Kale menggelengkan kepalanya. "Enggak bisa, Zi. I've tried many times but still, I can't," ucapnya seraya menghela napas, "ketika emosi itu ngontrol diri gue, di sana gue selalu inget sama Mama, inget sama Damar. And it really hurt me a lot, Zi. It hurt me when I recalling how my bro ended his own life . Gue tau itu bukan salah gue. Tapi kalau gue ada hari itu buat dia, dia enggak mungkin mati, Zi."

"Kalau gitu kenapa kamu harus terus-menerus salahin diri sendiri, Kal? Kamu tahu kalau itu bukan salahmu."

"Nyesel, Zi. Gue nyesel."

"Itu kenapa kamu hukum diri kamu dengan cara kayak gini?"

"Gue gak pernah berniat menghukum diri sendiri, Zi." Kale mengangkat tangannya, menunjukan memar samar yang tadi sudah Zinnia lihat. "Luka ini. Gue, gue gak tau harus apa. I actually wanted to punch him-my Dad-on his face, but I can't, of course. So ...."

"Kamu bukan enggak tau harus apa, Kal. Aku tau itu. Buang kebiasaan buruk kayak gini," ucap Zinnia menginterupsi dengan lantang.

Kale menatap Zinnia yang juga kini tengah menatapnya. Matanya yang berbinar sayu itu telak membikin Kale karam ke dalam kehangatan yang Zinnia beri dari dalam sana. Deru napas teraturnya seakan menyalurkan nada-nada ketenangan.

Rumah CairWhere stories live. Discover now