Warna Yang Bagaimana? (2)

2 0 0
                                    

"Cala, kau ingin naik yang mana?"

"Kau yakin menanyakan ini padaku, Man? Bukankah kau takut ketinggian?"

"Bertanya padamu bukan berarti aku menemanimu disana."

"Padmana! Bisakah kau sehari saja tidak membuatku kesal? Tidak bisakah kau sedikit saja menjadi sahabat yang berbaik hati?"

"Baiklah-baiklah, untuk terakhir ini aku akan menjadi sahabat terbaikmu. Ayo, kutemani kau naik bianglala."

"Mengapa kau mengucapkan untuk terakhir, Mana?"

"Aku tidak mengucapkannya."

"Kau aneh, Padmana."

Padmana pun menggandeng Cala menuju bianglala. Setelah mengantri giliran, mereka berdua kini berada di bianglala.

***

Aku, tak percaya apa itu cinta. Namun, semenjak melihat Cala di perpustakaan kota, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Gadis itu, membuatku gugup dan berdebar.

Kini Cala berada dihadapanku, Ia cantik sekali. Kurasa ini waktunya, waktu untuk menjadikannya kekasihku. Cukup lama sudah aku bersembunyi di embel-embel sahabat, aku menginginkannya lebih.

"Cala," panggilku. Ia menoleh padaku, cantik sekali!

"Ada apa, Mana?"

"Apa kau masih bersedih? Apa duniamu masih abu?"

"Bersedih yang bagaimana maksudmu?"

"Jangan melulu sendu, beri warna pada duniamu!"

"Kau semakin aneh, Padmana."

Sejujurnya, pada awal aku bersembunyi dibalik embel-embel bersahabat dengan Cala karena Ia masih beranjak sma saat itu, Ia masih harus menikmati cinta monyetnya seperti teman-teman seusianya. Namun lima bulan terakhir, alasan tersebut tidak lagi berlaku.

"Pad, ada hal serius yang harus dibicarakan," ucap Dokter Agil. Dokter Agil merupakan dokter THT sekaligus mas sepupuku.

"Lekas jelaskan, tidak usah pedulikan kesedihanku."

"Kau, terkena kanker telinga, Pad." Benar, sesuai dugaanku! tiga bulan belakangan ini terkadang telingaku kehilangan pendengaran, beberapa kali mimisan pun kualami tiba-tiba.

"Sampai berapa lama umurku?" tanyaku memgabaikan kesedihan yang sebenarnya mulai menggerogoti.

"Tidak ada yang tahu untuk batas umur, Pad. Tapi akan berbahaya jika kau kembali kehilangan pendengaran saat kau berkendara dijalan."

"Baiklah, terimakasih banyak, Gil. Jika suatu saat aku kemari dengan Cala, kumohon rahasiakan ini."

"Terimakasih kembali, Pad. Akan kuusahakan."

Aku sangat senang saat Cala memintaku menginap di rumahnya setidaknya disisa umurku, aku masih sempat menemaninya melihat pengumuman penerimaan kampus, dimana itu merupak momen penting baginya.

Dan lebih senangnya lagi, Cala tidak jadi satu kampus denganku. Bukan berniat jahat, melainkan aku tidak ingin menambah kesedihan Cala, jika Ia satu kampus denganku akan tetapi aku tidak disampingnya lagi.

Seusai menaiki bianglala, kami mengisi perut menikmati dimsum. Cala selalu makan dengan lahap, sangat menggemaskan! Dan kini kami berjalan menuju tempat parkir.

"Cala, aku akan mengatakan sesuatu, tidak ada pengulangan dan tidak menerima penolakan."

"Katakan saja, Padmana aku akan mendengarnya,"

"Tunggu! Sungguh Man, kau membuatku takut, perlakuanmu sedari tadi cukup aneh, todak seperti biasanya, Mana. Seperti kau akan menghilang dari peradaban ini."

"Hahaha, bisa jadi Cal. Panjangnya umur tidak ada yang tahu."

"Cepat katakan apa maumu, Mana!"

"Aku.. mencintaimu, Cala. Sejak awal bertemu di perpustakaan. Mari kita menjadi sepasang kekasih, La."

"Hmm.. baiklah."

"Ka-kau? Mengapa hanya seperti itu reaksimu? Kau tidak menyukaiku, Cala? Cepat beri aku suatu reaksi yang menyenangkan untukku!"

"Kau terlalu pecundang Padmana, terlalu lama kau bersembunyi dibalik persahabatan ini. Sudah dari dulu kuanggap kau kekasihku, aku tahu kau mencintaiku dan aku juga mencintaimu. Lalu, harus bagaimana lagi? Semua sudah clear bukan?"

Sesuai dugaanku, Cala akan dengan lugas mengatakan semuanya-termasuk mengataiku. Hahaha, bukan masalah, justru hal inilah yang membuatku menyukai Cala.

"Aku mencintaimu, Cala!"

"Aku juga mencintaimu, Padmanaaa!!"

"Cala, berjanjilah padaku. Jangan melulu sendu, beri warna pada duniamu!"

"Akan kuusahakan Mana."

"Lekas kita pulang, Oma mu sudah menunggu di rumah."

Cala pun menaiki motor dan setelahnya Padmana mengendarainya, pulang menuju rumah Cala.

***

Selepas usapan lembut dikepalaku kau tersenyum, 'manis. Ah, candu!'

Pamit, lalu kau lanjut melangkah. Terhenti, kau berbalik badan,

"Jangan melulu sendu, beri warna duniamu!"

Begitu ucapmu, lalu setelahnya terdengar suara motormu berlalu.

Seperti ucapmu pertama kali. Denganmu kini sabitku selalu terukir, bahkan tak jarang tawa lepas. Asyik, sungguh! Dan aku sangat bersyukur dengan pertemuan kita, Padmana. Setelah beribu pikir, ternyata tertuju padamu duniaku. Kau warna hidupku, Padmana! Semoga ini selamanya.

Terlena pada rupamu membuatku lupa darat, hingga tersadar akan beberapa waktu lalu. Seusai kau mengusap kepalaku dan tersenyum, sebelum kau berpesan. Kau pamit, pamit pulang, Padmana. Pulang yang lain tempat, juga lain dunia.

Ternyata ini tidak selamanya, Padmana! Kini, bagaimana bisa kubangun duniaku? Sedang kau tak pernah lagi bangun. Dunia seperti apa yang harus berwarna? Jikalau kau tak lagi beri warna. Tak pernah beringkar, sekalinya beringkar teramat menyakitkan. Mengapa kau tega, Mana?


Nov 29, 2019 - Mei 14, 2021

Bagaimana Akhirnya? (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang