1

29 2 0
                                    

Gadis itu melangkahkan kakinya menuju ke luar gedung. Perlahan, ia berjalan, sembari menahan sakit kepala yang menyerangnya. Setelah beberapa langkah, ia berhenti, merasa aneh dengan lingkungan sekitar.

Mobil-mobil berterbangan, papan iklan besi di ujung jalan, terlihat seperti kaca dengan lampu cahaya yang menghiasinya. Lalu, gadis itu mendongak, melihat langit yang dihiasi beberapa kereta.

"Sebentar ... kereta?!" Ia berucap. Kemudian, gadis itu mengucek matanya cepat. Tidak mungkin ada kereta di langit, bukan?

"Cokelatnya pasti beracun." Gadis itu berucap lagi. Ia mengambil sebuah cokelat dari saku seragamnya.

Karena pikirnya cokelat itu beracun, ia membuangnya ke tempat sampah. "Maaf, aku tidak bermaksud." Setelah mengatakan itu, sang gadis berlari secepat mungkin ke rumahnya.

Diambilnya beberapa camilan dari warung milik ibunya. Tidak lama, sang pemilik datang dan memarahi "pencuri" yang muncul.

"Kebiasaan." Ibu pemilik warung berkata. Namun, sang gadis sepertinya tidak mendengarkan. Ia duduk di kursi dan langsung tertidur.

Wanita setengah baya itu menghela napas. Diangkatnya punggung gadis yang tertidur tadi dan mengambil tas yang masih digendongnya, lalu disimpannya di dalam rumah.

Melewati sebingkai foto dengan bunga di sampingnya. Wanita itu kembali menghela napas. Kali ini lebih panjang dan dadanya sesak. Dia sendirian sekarang.

Tidak ada gunanya bernostalgia. Hidupnya berat. Dia sibuk. Banyak hal yang harus diselesaikan. Kembali ke tempatnya, ia duduk di kursi yang lain. Namun, beberapa saat kemudian, ia menyadari ada yang salah.

"Aileen! Sepedanya mana?!" Wanita itu berkata dengan nada kesal. Dia ingat, Aileen berangkat ke sekolah dengan sepeda pagi tadi. Biasanya, sepulang sekolah, sepedanya ia parkirkan di depan rumah. Namun tidak seperti biasanya, hari ini benda beroda dua itu hilang.

Gadis yang sedang tertidur tadi bangun dengan terkaget, ekspresinya tampak bingung. Baru saja ia bermimpi, sudah sadar saja.

Selama beberapa saat, gadis bernama Aileen itu terdiam. "Takut, ah, Bu. Ada mobil terbang," ucapnya sebelum kembali tidur.

"Ambil sepedamu cepat."

Dengan malas, Aileen bangun. Ia kembali ke sekolah dalam keadaan mengantuk. Beruntung, jalanan sedang sepi. Dia juga tidak menabrak apapun.

"Saya mau ngambil sepeda, Pak. Ketinggalan." Aileen berucap pelan setelah sampai di tempat tujuan. Di depan penjaga sekolah, ia memohon. Kedua tangannya memegang pagar, wajahnya masuk ke dalam sela-sela pagar.

"Tidak ada sepeda yang tertinggal. Kamu pulang, ini sudah sore."

"Saya mau ngambil sepeda, Pak." Aileen mengulangi kalimat sebelumnya sambil menguap.

Dengan berat hati, penjaga sekolah mengantarkan Aileen ke wilayah penyimpanan kendaraan. Setelah sampai, Aileen berjalan menuju parkiran yang biasa ia gunakan. Dilihatnya sepeda miliknya. Namun, tidak bisa ia sentuh. Seketika, matanya terbuka lebar. Rasa kantuknya menguap begitu saja.

"Kok ilang?!"

Di sisi lain, seseorang tengah lahap memakan makanan favoritnya. Terhitung tiga kali ia mengisi lagi piringnya yang sudah kosong. Namun tidak lama setelah makan di piring keempat, ia berhenti. Padahal masih ada yang tersisa.

Perasaannya tidak enak. Dengan berat hati, ia membuang makanannya dan benar saja. Tiga buah jarum jatuh dari sana.

"Ra, kamu tadi beli makanan dimana?" Orang itu bertanya pada adiknya yang sedang menonton TV di ruang tengah.

"Kenapa emang? Tumben," jawab sang adik. Tidak biasanya Nino bertanya.

"Ada jarumnya." Nino mengangkat tangannya, memperlihatkan jarum yang baru saja ia dapat.

Kara terdiam, ia tidak menjawab. Gadis itu mengambil ponsel dan mengetik nama seseorang di sana. Lalu, ia menelpon. Nino juga tak bicara, ia menunggu.

"Lin, semur daging yang di perempatan kok ada jarumnya?"

"Apaan?! Bentar, ya. Sepedaku ilang." Balas gadis di seberang sebelum memutuskan sambungan secara sepihak.

Mendengar pembicaraan itu, Nino beranjak pergi. Dengan terburu-buru, dia keluar. Pemuda itu kembali ke tempat terakhir ia kunjungi sebelum pulang.

Sebuah gedung berwarna putih dengan aula besar yang dikelilingi ruangan kosong. Tempat gelap yang dipenuhi orang-orang aneh yang sedang cosplay.

Sesampainya di sana, mata Nino membelalak. Tidak ada apapun selain lapangan luas dengan anak-anak yang sedang bermain bola. Tidak lama kemudian, dia berbalik.

Sebuah sepeda terparkir tak jauh dari empatnya berdiri. Ia masih ingat, itu sepeda milik Aileen, sahabat Kara. Gadis itu bilang, dia kehilangan sepedanya. Ternyata di sana. Jika begitu, kejadian di gedung itu seharusnya bukan halusinasi. Nino masih ingat letak sepatu, juga beberapa tas yang disimpan di dekat pintu masuk. Tapi tempatnya hilang. Bagaimana bisa?

Tiga detik menuju lampu hijau, seseorang masih berdiri di tengah jalan. Pemuda itu melamun, tangannya mengepal erat, badannya bergetar. Meskipun jalannya kosong, bukan berarti dia bisa berdiri di sana.

Nino beranjak, dilihatnya seorang pemuda bersimbah darah. Orang yang sama dengan yang berdiri di tengah jalan tadi. Pemilik mobil melanjutkan perjalanannya, meninggalkan sebuah nyawa yang tengah sekarat. Tidak lama kemudian, dia tersadar. Itu hanya bayang. Namun dapat dia lihat, mobil dalam bayangannya melaju kencang dari kejauhan.

Pemuda itu mungkin akan mati.


*

Nggak tau kenapa, aku merasa kurang nyaman menulis cerita ini. Aku bingung. Apa kalian punya saran buat membangkitkan semangat menulis?



Jangan lupa kasih aku masukan, ya!

14 May 21
Lecanopus

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 14, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Our DreamsWhere stories live. Discover now