delapan belas.

62 12 0
                                    

Audionya sambil diplay ya~

Beberapa waktu terakhir ini Hesa merasa hari-harinya seakan berat sekali untuk dijalani, ada rasa muak yang ia dapat ketika tiap kali ia bangun dan membuka mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa waktu terakhir ini Hesa merasa hari-harinya seakan berat sekali untuk dijalani, ada rasa muak yang ia dapat ketika tiap kali ia bangun dan membuka mata. Ada perasaan jenuh yang makin hari kian mencekik dirinya, seperti terjebak diruang sempit yang sesak tanpa jendela dan ventilasi.

Hesa tidak memungkiri bahwa semenjak Mama tiada, kehidupan keluarganya tidak berjalan normal. Selalu saja ada hal yang membuat dirinya semakin merasa bahwa rumah ini bukan lagi tempat untuknya. Satu-satunya alasan yang membuat dirinya masih bertahan adalah Kakaknya, Nesa. Ia sempat berpikir untuk tinggal bersama Nenek-- orang tua dari Bapak, namun ia tidak tega meninggalkan Nesa. Ia paham betul Nesa sangat membutuhkan dirinya. Disisi lain, sebenarnya ia sudah tidak tahan dengan sikap Bapak, ada ketidaknyamanan yang hinggap didalam dirinya tiap kali Bapak bersikap dingin dan seakan tidak mau tahu dengan kehidupannya dan Kakaknya. Namun, Hesa memilih untuk mengalah.

Dalam beberapa hari ini, Hesa selalu menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama teman-temannya diluar rumah--mencari udara segar sekaligus melupakan sebentar segala kegundahan nya yang dapat membuatnya galau, cemas, resah, dan bingung bukan kepalang. Terkadang juga ia pulang larut malam, ketika Bapak dan Nesa sudah terlelap.

Seperti malam ini, Hesa membuka pintu rumahnya pelan setelah ia berhasil memasukkan si Bombom kedalam garasi tanpa menimbulkan suara. Baru beberapa langkah masuk, ia agak terkejut karena lampu tiba-tiba saja menyala. Hesa mengira itu adalah Nesa, sebab biasanya Nesa lah yang sering kali mengagetkan dirinya. Namun kali ini Hesa salah, yang membuatnya terkejut kali ini Bapak. Beliau berdiri disamping saklar lampu dengan satu tangan yang ia taruh dipinggangnya. Tatapan malas sekaligus marah sangat terlihat dari matanya. Hesa tak berkutik, ia masih diam dibelakang pintu rumahnya, matanya ia edarkan ke seluruh ruangan agar tatapannya matanya tidak bertemu dengan mata Bapak.

"Assalammualaikum!" ucap Hesa sangat pelan nyaris tak terdengar.

Alih-alih membalas salam anak bungsunya, Bapak malah menarik napasnya panjang, "dari mana aja, Mas?"

"I-itu abis nongkrong" jawab Hesa berbata.

"Jam berapa ini?"

Hesa menoleh kearah jam dinding, waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi.

"Walaupun kamu anak laki rasanya gak pantes pulang jam segini sambil ngendap-ngendap begitu" lanjut Bapak sambil berjalan mendekati Hesa.

Hesa tak bergeming, ia sebenarnya malas untuk mendengarkan ocehan Bapak tapi ia lebih memilih untuk diam.

"Kamu tau, Mas, dunia malam diluaran sana tuh jahat-jahat. Bapak lebih dulu ngalamin ketimbang kamu. Setan tengah malem tuh lebih nekat, bukan cuma itu, tapi setan berwujud manusia juga. Bapak gak mau kamu tenggelam dalam pergaulan yang gak sehat. Bapak gak pernah sama sekali ngelarang kamu bergaul, nongkrong sana-sini, tapi tau waktu, tau etika, kabarin orang tua dan kasih alasannya kalo emang mau pulang sampe selarut ini. Selama ini Bapak selalu diem aja tiap Mas pulang menjelang pagi. Bapak tau kok, Bapak denger. Tapi makin hari Mas makin kayak gak punya aturan."

ZONA ASTARAJINGGA || HAECHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang