32. Akal Bulus.

29 14 0
                                    

Hanya ada denting sendok yang beradu dengan garpu terdengar di ruang makan ini. Nimas menyantap hidangan dengan tergesa. Gadis itu menunduk, tidak berani menatap ke depan. Tepat di mana Adnan berada.

Tidak hanya Adnan, Widia juga ikut bergabung di acara makan malam kali ini. Entah apa yang terjadi pada sepasang suami-istri ini hingga kompak pulang cepat.

"Nimas, Papamu nanya lho."

Akhirnya Widia ikut angkat suara setelah senyap beberapa menit. Ia mengikuti sang suami yang fokus kepada anak perawan mereka.

Sebenarnya empat kata itu terucap dengan nada yang lebih bersahabat dibandingkan pertanyaan Adnan sebelumnya. Namun bukannya mmmenenangkan, jantung Nimas semakin memburu. Gadis itu semakin dalam menunduk. Ia amat takut melihat ekspresi kedua orang tuanya.

"Maaf, Pah, Mah ... Nimas--"

"Papa ngga butuh permintaan maaf, Nimas. Papa nanya kenapa kamu bisa dapat nilai lima puluh diulangan harian Biologi?!"

Nimas langsung menggigit bibir bawah saat mengetahui ucapannya diputus. Belum lagi dua puluh empat jam gadis ini melaksanakan ujian dimata pelajaran Rika. Ia bahkan belum tahu akan mendapat nilai berapa. Sang ayah notabene-nya adalah orang tersibuk menurut Nimas, malah menjadi orang pertama yang mengetahui nilainya.

Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwasanya Adnan adalah pemilik yayasan tempat Nimas menuntut ilmu. Wajar saja laki-laki itu mempunyai koneksi dalam di lembaga pendidikan tersebut. Ia dapat dengan cepat mengetahui perkembangan Nimas di sekolah bahkan jika ia ingin, Adnan bisa saja mendapatkan informasi detail tentang gerak-gerik sang anak di sekolah.

"S-soalnya susah buat dimengerti, maaf ...."

Adnan menarik napas dalam-dalam lantas mengeluarkannya sebagai pelampiasan rasa kesal yang menggebu. Laki-laki itu sedikit mencodongkan badan pada Nimas.

"Ini pertama dan terakhir Papa dengar alasan seperti itu. Setelah makan, belajar!"

Titah mutlak dari Adnan diangguki oleh Nimas. Hati gadis itu benar-benar mencelos saat mendapati dirinya ditatap sedemikian tajam oleh sang ayah.

"Adnan, Widia, Nimas. Omah mau makan malam dengan tenang apa ngga bisa?"

Fatma yang menyadari perubahan suasanan hati Nimas ikut bersuara. Mencoba mengalihkan perbincangan.

"Bun ... Adnan lagi menasehati Nimas. Ini juga untuk kebaikan Nimas. Adnan cuma ngga mau kejadian waktu Nimas kelas 1 SD terulang lagi."

"Mas Adnan benar, Bun." Widia menimpali.

Fatma meletakkan sendok dan garpu bersamaan hingga perpaduan keduanya terdengar jelas saat mendarat di piring, "Tapi ngga usah di meja makan juga."

"Kalau ngga sekarang, kapan lagi? Adnan ada penerbangan pukul dua subuh."

"Widia ngerti maksud Bunda. Bunda mencoba mengalihkan perbicaraan, kan? Kami tahu Bunda ngga tega lihat Nimas dimarahi. Kami juga ngga bermaksud memarahi Nimas. Kami hanya menasehati."

Perkataan Widia mendapat anggukan kepala dari sang suami.

"Kalau Bunda terganggu, biar Adnan antar ke kamar, yah." Adnan sudah siap berdiri dan hendak menarik kursi roda Fatma menuju lift.

Entahlah, suasana di ruang makan mendadak panas. Nimas memeperhatikan tiga orang dewasa itu berdebat. Sebuah pemandangan yang sama sekali tidak mau dilihat gadis remaja ini. Tak sadar ia meremas sendok dan garpu amat erat hingga kedua telapak tangannya memerah.

"Papa, Mamah, Omah!" Tidak tahan dengan semua ini. Tiba-tiba saja Nimas berteriak. Sebuah nada tinggi yang sontak mengagetkan ketiga anggota keluarganya. Nimas langasung mengantup bibir saat menyadari yang telah diperbuat. Sungguh, ini semua diluar kuasanya. Kalimat itu meluncur bak air bah.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Where stories live. Discover now