42. Kekacauan Bermula.

23 11 1
                                    

Mengapa dia ada di sini? Apa yang dia lakukan? Dia orang yang sama,'kan? Apa-apaan ekspresinya tadi? Kenapa aku menangis? Perasaan apa ini? Kenapa jadi begini? Sebenarnya apa yang terjadi?!

Puluhan pertanyaan saling berjejal disetiap seluk otak. Semuanya menuntut untuk diperjelas dan hanya satu orang yang dapat menjawabnya.

Bapak.

Sekarang malah tambah satu pertanyaan menjengkelkan dan sayangnya yang paling krusial. Bapak pergi ke mana sekarang?!

Aku celingak-celinguk untuk mencari keberadaannya. Kemeja putih berbalut rompi hitam. Akh, semua pelayan laki-laki mengenakannya. Satu pelayan ku balik badannya.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

Bukan!

Setelah aku cermati lebih jauh lagi, ada belasan, tidak. Ada puluhan pelayan yang memenuhi ruangan ini. Aku harus mencari keberadaan bapak tanpa menimbulkan gelagat mencurigakan.

"Dimas, nih!" Sebuah gelas berisi cairan berwarna kuning menggantung di hadapan. Aku cepat menoleh ke kiri dan di sana Tian berdiri sambil sedikit menggoyangkan gelas yang ia suguhkan.

"Stand sirup ada di sana, ngapain lo di sini?" Dia berkata sambil menunjuk satu titik menggunakan dagu lalu, perhatiannya kembali padaku.

Kenapa dia tiba-tiba muncul?

"Oh, makasih yah!" Sudahlah jangan terlihat aneh. Aku mengambil alih gelas tersebut.

Setelah itu, Tian mengajak untuk kembali bergabung bersama Johan. Aku masih sempat mengidarkan pandangan, berharap kesempatan ini dapat melihat sosok laki-laki yang dulu sering menyiksaku. Sayangnya, panggilan dari Tian kembali menyedot perhatian. Pemuda itu memuntut agar aku segera mengikuti langkahnya.

"Kalian dari mana?"

"Biasalah, si Dimas ngga bisa minum."

Aku tidak terlalu memerhatikan lagi pembicaraan dua orang itu. Fokusku telah terpaku untuk mencari bapak. Kenapa setelah sekian lama, pesiar Naufal,'lah yang menjadi panggung pertemuan?

"Dimas, Dimas, Dimas!" Johan dan Tian menyentak, mereka telah berdiri agak jauh.

"Eh, apa?"

"Lo yang apa, mau makan ngga? Kita lapar nih!" Johan melengos pergi setelah mengatakan itu. Begitu pula Tian, dia mengekori kemana langkah kaki Johan.

Mau tidak mau aku mengikuti keduanya.

Makanan yang disajikan memang menggugah selera tetapi aku sudah kehilangan nafsu makan. Steak daging bermandikan keju mozarella tidak tersentuh sedikitpun. Aku hanya menatapnya dengan pikiran melayang jauh.

"Dimas, kok lo bertindak aneh?"

Aku segera menegakkan kepala, menatap Tian yang baru menyuapkan daging rendang ke mulut.

"Dimas, lo jangan buat gelagat mencurigakan!" Kepalaku berputar kepada Johan. Laki-laki paruh baya itu menatap tajam kearahku.

"Hah?" Aku mengerutkan dahi, lalu sedikit tertawa kecil. Tawa yang dipaksakan.

"Jangan pura-pura, sejak lo nangis tadi gelagat lo aneh, Dim." Tian ikut menimpali membuat tawaku langsung mereda.

"Dimas nangis? Maksud lo apa, Tian?"

Tian kembali menyuap makanan khas minang ke mulutnya sambil mengangguk takzim. " Tanya aja sama orangnya!"

Pandangan Johan kembali tertuju kepadaku.

"Ngga, kok gue ngga nangis tadi kelilipan. Tian aja yang nyangka nangis. Mana ada orang nangis yang jatuh cuma setetes."

Semoga Johan percaya, semoga Johan percaya. Amin!

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Where stories live. Discover now