14: Ways to See

210 44 0
                                    

Malam itu aku tidak pergi ke kafetaria. Aku diam di dalam lift selama lebih dari sepuluh menit sebelum mengendap-ngendap kembali ke kamarku. Ashley menyusul masuk setengah jam kemudian, mengomeliku bahkan sebelum pintu kamar terbuka. Saat ia melihatku tidur, ia diam.

Sebenarnya, yang kulakukan hanya pura-pura tidur. Aku gelisah semalaman. Sesuatu membuatku tidak nyaman. Kupikir itu terjadi karena aku minum kopi sebelum ridur, namun jauh dari dalam lubuk hatiku aku tahu bahwa sesuatu lagi-lagi mengganggu pikiranku. Entah yang mana antara sosok hitam di tempat Natalie atau rasa kecewaku akibat perkataan Ben sebelumnya yang membuatku terjaga semalaman.

Aku baru terlelap menjelang pagi, saat aku bangun Ashley nampak hening. Ia hanya bertanya apa aku baik-baik saja dan diam lagi setelah aku mengangguk sekali. Ia menatapku dalam diam, menghela napas, lalu menunduk.

Hari ini aku dan Ashley mengambil kelas yang berbeda lagi. Ia masuk ke kelas 'Dasar-dasar pengendalian elemen' dengan James sebagai tutornya. Kelas favoritnya.

Sedangkan aku mengambil kelas ilmu pemerintahan, satu-satunya kelas yang disediakan untuk orang semi normal sepertiku. Kelas yang membosankan bersama dua belas orang membosankan lainnya. Lengkap rasanya, karena tutor kami pun terlihat sama membosankannya. Derrick seorang alumni yang baru lulus beberapa tahun lalu, berkacamata seperti kebanyakan kutu buku lainnya. Tubunya tidak tinggi dan nampak kurang berisi, lemah dan kelihatan lebih tua dari umurnya yang harusnya masih di awal dua puluhan.

Aku duduk bersama Herb karena hanya bangku di sebelahnya yang masih kosong. Orang-orang mencuri lirik pada kami berdua. Sepertinya ia menyukai kelas ini dan masih tidak menyukaiku, ia terus menerus menatap ke muka tanpa sekali pun memalingkan pandangannya padaku. Aku tidak tahu alasannya, dan aku tidak cukup peduli untuk memikirkannya.

Kami mendapatkan satu jam penuh ceramah tentang betapa pentingnya mempelajari ilmu pemerintahan mengingat kami adalah calon pegawai pemerintah. Satu jam sisanya mendengarkan bagaimana dulu ia bisa lulus dengan nilai teori tertinggi. Kutebak nilai prakteknya sebaliknya.

Ketika bel berbunyi, Herb langsung merapikan mejanya dan memasukkan buku dalam sekali gerakan tangan ke dalam tasnya. Ia melesat meninggalkan kelas tanpa repot mengatakan sesuatu padaku. Sulit untuk memutuskan apakah aku yang aneh atau ia yang menyebalkan karena sepertinya tidak ada yang salah dari keduanya.

Kafetaria berada di lantai teratas, berjarak tiga lantai dari kelasku. Saat aku tiba di depan lift, tempat itu sudah cukup penuh. Kuputuskan untuk berjalan menuju tangga di sebelahnya. Akan canggung rasanya berdiri sendirian di dalam lift sementara yang lain sudah membuat kelompok kecil. Mereka hanya akan mengobrol melewatiku.

Aku melihat punggung seorang cowok berjalan di depanku saat aku tiba di belokan tangga. Ia kemudian menghentikkan langkahnya dan menyilang tangan di depan dada menatap jauh ke arah bawah dari balik jendela kaca. Cowok itu memunggungiku dan tentu saja aku tidak perlu repot membuatnya menoleh untuk mengetahui siapa sosok yang sedang berdiri dengan postur sempurna itu.

Punggungnya yang lebar, rambutnya yang hitam berantakan, kulitnya yang putih terlihat kontras dengan ujung rambut gelapnya yang tercukur pendek di atas tengkuknya, tingginya yang menjulang entah kenapa bagiku terlihat familiar. Ia mematung untuk beberapa detik mengamati kejauhan. Saat aku mengalihkan pandanganku ke arah tempatnya memandang, aku melihat Natalie.

Natalie duduk di atas kursi roda, matanya menatap kosong tanpa semangat saat seorang senior mendorongnya keluar dari pintu utama. Sebuah minivan terparkir di depannya membawanya pergi meninggalkan halaman depan lalu berjalan menjauh melewati gerbang sekolah. Ben tidak jauh dari sana, ia berdiri dengan punggung bersandar pada salah satu pilar penyangga dengan tatapan lurus menatapi minivan yang menjauh itu. Setelah kemarin malam, aku tidak bisa melihatnya dengan kesan yang sama seperti sebelumnya. Bagiku ia tak lagi berwibawa.

The DescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang