16: Bad Decisions

181 40 2
                                    

"Menghilang sepertinya kegiatan yang paling kau sukai, ya?" tanya Ashley setibanya aku di kamar. Ia sudah merapikan tempat tidurnya padahal ini belum pukul 5. "Kau habis ngapain pagi buta begini?"

"Hanya berkeliling, mencari udara segar dan sedikit berolahraga." Aku menggantungkan mantelku di balik pintu kamar, duduk bertengger di ujung ranjangku. "Lalu sesuatu menahanku."

"Sesuatu?" Matanya menyipit.

"Bukan hal penting."

Aku mengganti baju santaiku dengan kemeja putih yang sudah dilicinkan oleh petugas binatu di tempat ini. Kerahnya tegak dengan sempurna. Lalu aku mengenakan jins paling baru yang aku beli sebulan sebelum kelulusanku bersama Susan di toko dekat rumah. Rencananya aku ingin menggunakan jins itu pada acara khusus atau saat aku memang butuh untuk terlihat lebih baik. Hanya saja semua celanaku sudah longgar karena terlalu sering kugunakan tertutama pada bagian lutut. Jadi sepertinya hari ini lah waktunya—untuk tampil lebih baik.

Kupakai baju hangat berbahan flannel warna biru dan abu di atas kemaja putihku. Aku mengamati diriku sendiri di depan cermin selama beberapa detik. Nampak sangat biasa, sempurna.

Ashley menggunakan kaos berleher tinggi dengan warna burgundi, mantel gelapnya ia sampirkan di lengan kanannya. Gayanya lebih berkelas dari padaku—dan daripada anak lainnya di tempat ini. Aku harus lulus servant dan memiliki pekerjaan terbaik agar aku bisa membeli pakaian yang sama bagusnya dengan milik Ashley untuk anakku nanti.

Kami berjalan ke kafetaria setelah matahari terbit satu jam kemudian tanpa membahas hal yang penting selain cuaca yang mendung, menu sarapan yang untungnya hari ini enak dan mengandung banyak protein, juga ujian tertulis di kelas Gates siang nanti.

Aku tidak terlalu mencemaskan soal ujian, aku memiliki kecemasan yang lain.

Edmund hari ini duduk di meja kafetaria bersama dua orang temannya yang biasa. Aku gugup memikirkan apa yang akan kami lakukan sore nanti, apa yang akan ia katakan dan apa yang ingin ia ketahui dariku. Saat ia melirikku tanpa sengaja, hanya butuh sedetik untuk ia berpaling lagi. Aku menganga, ia bahkan tidak menganggapku ada di ruangan ini.

Bagaimana ia mengataiku cenayang membuatku terganggu. Kata itu adalah kata terakhir yang ingin kudengar. Aku tidak suka menjadi cenayang. Aku bertengkar berminggu-minggu dengan Robert hanya karena ia mengejekku dengan kata yang sama setelah aku tak sengaja menebak isi kotak hadiahnya dengan benar. Aku rindu Robert, juga Susan.

"Ada apa antara kau dengannya?" tanya Ashley menatapku dengan tatapan menelisiknya.

"Siapa?"

"Orang yang barusan kau lirik."

"Edmund?" Aku tersedak sup panasku.

"Aku benar-benar tidak suka padanya," ujar Ashley dengan enggan. "Aura merahnya menggangguku."

"Kau bilang merah itu bagus, aura pemimpin seperti James yang kau selalu banggakan."

"Wah, lihat!" Ashley mendecak dengan gelengan tak percaya. "Kau membelanya? Kau lupa kalau aku bilang Darius dan Lee juga berwarna merah."

Aku balas menggeleng dan mengalihkan tatapanku darinya. "Berhenti melihat aura orang lain dengan cara itu, kau hanya akan membenci semua orang."

"Aku tidak berusaha melihatnya, tanpa aku mengkonsentrasikan pikiranku padanya pun warnanya terkuar begitu saja," Ashley mendengus, sikapnya jelas pahit. "Auranya terlalu kuat dan warna merahnya terlalu pekat untuk disebut merah."

The DescentWhere stories live. Discover now