BAGIAN 6

82 10 0
                                    

"Hm.... Dari mana bocah ini muncul?" gumam Nini Pemah alias Ular Bambu Kuning penasaran karena tadi tidak merasakan kehadiran pemuda itu di sini.
"Siapa kau, Bocah? Berani-beraninya ikut campur persoalan kami?!" bentak Sidarta.
Namun pemuda berbaju rompi putih ini tak perlu menjawab pertanyaan itu karena....
"Aku tahu! Dia si Pendekar Rajawali Sakti!" celetuk seorang tokoh.
"Apa...? Pendekar Rajawali Sakti?!"
Sebagian tokoh tampak terdengar berseru kaget.
"Huh! Kau rupanya!" dengus Ular Bambu Kuning, dingin.
"Sangat tidak pantas bagi pendekar-pendekar terhormat seperti kalian mengeroyok seorang gadis yang tak berdaya!" kata pemuda itu lantang.
"Pendekar Rajawali Sakti! Sebaiknya jangan mencampuri urusan ini! Pergilah! Tempatmu bukan di sini!" bentak Ki Gandanaran.
"Pergilah cepat, sebelum kami melibatkanmu dalam urusan ini!" dengus Sidarta mulai berani. Padahal tadi nyalinya sempat ciut melihat kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di tempat ini.
"Maaf.... Aku tidak bisa pergi melihat tindak ketidakadilan di depan mataku."
"Huh! Kau mencari penyakit sendiri!" dengus Ular Bambu Kuning.
"Sudah! Bereskan dia juga!" timpal Ki Gandanaran.
"Kalau itu yang kalian inginkan, jangan salahkan kalau aku akan bertindak," sahut Rangga tenang.
"Sombong!" desis seorang tokoh bersenjata tombak.
Wut!
Tokoh itu langsung mengebutkan senjatanya. Ujung tombaknya menyambar ke muka.
"Uts!" Rangga cepat memiringkan kepalanya sedikit, sehingga senjata itu luput dari sasaran. Tapi tokoh ini sudah langsung berbalik. Cepat dilayangkannya tendangan keras ke dada. Bersamaan dengan itu senjatanya kembali bergerak menyambar leher.
"Huh!" "Hup!"
Rangga cepat menjatuhkan diri, sehingga dadanya bersentuhan dengan permukaan tanah. Tubuhnya bergulingan sebentar dan tiba-tiba kakinya menyambar ke perut.
Tokoh itu kaget bukan main. Cepat dia melompat ke belakang sambil mengibaskan tongkatnya. Tapi, secepat itu pula tubuh si Pendekar Rajawati Sakti melenting dengan gerakan menakjubkan. Tubuhnya berputar bagai gasing. Sementara dua kakinya cepat menyodok kedada tanpa bisa dielakkan.
Duk! Des!
"Aaakh...!" Tak ayal lagi, tokoh berusia enam puluh lima tahun itu terjungkal ke belakang sambil menjerit kesakitan.
"Hei, kurang ajar! Dia telah mencelakakan Ki Gringsing!" dengus Sidarta. Laki-laki itu langsung menyerang, diikuti Ki Gandanaran dan Nini Pemah serta yang lainnya.
"Yeaaat!"
"Hup!"
Mau tidak mau tarpaksa Rangga mengatur jarak agar tidak berada terlalu dekat. Tubuhnya cepat melenting ke belakang beberapa tombak. Menghadapi keroyokan begini, kalau jarak terlalu dekat, maka kemungkinan untuk kecolongan selalu besar. Dan sekali terkena hajaran, maka yang lain akan menyusuli dengan cepat.
"Hehehe...! Mau kabur, ya? Jangan harap semudah itu, Bocah!" ejek Nini Pemah alias Ular Bambu Kuning.
"Apakah kelihatannya aku akan kabur?" sahut Rangga tenang, begitu kedua kakinya menjejak tanah.
Ular Bambu Kuning dan Ki Gandanaran berada paling dekat dengan Rangga ketimbang yang lain. Masing-masing bersenjata bambu kuning dan bertongkat patah tiga. Sementara kedua orang ini berkelebatanan, merangsek Pendekar Rajawali Sakti.
Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti talah membuat kuda-kuda kokoh. Kedua tangannya terkepal, dengan otot-otot bertonjolan. Lalu....
"Aji 'Bayu Bajra...!"
Mendadak pemuda itu membentak keras. Kedua telapak tangannya cepat menghantamkan kedepan, mengerahkan aji 'Bayu Bajra' seperempat bagian.
Wusss...!
Seketika, dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur angin keras bagai topan menerjang para tokoh itu.
"Hei?!"
"Uhh!"
Nini Pemah serta Ki Gandanaran dan yang lain terkejut merasakan angin kencang bertenaga kuat menghantam. Untuk sesaat orang-orang itu gelagapan. Tapi kesempatan itu sudah cukup bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk melenting, dan melompati mereka. Seketika disambarnya Sakaweni.
"Ayo kita pergi dari sini!" ajak Pendekar Rajawali Sakti.
"Hei, apa-apaan kau ini?!" tepis gadis itu galak.
Tanpa banyak bicara lagi, Rangga cepat menggerakkan tangannya. Dan....
Tuk!
"Ohh...!"
Rangga memang tidak punya waktu untuk berdebat. Seketika ditotoknya gadis itu hingga lemas tak berdaya. Kemudian dengan sigap ditangkap dan dibopongnya untuk segera kabur dari tempat ini.
"Hei, itu dia!" teriak seseorang.
"Dia membawa gadis itu! Kejaaar...!" teriak laki-laki yang pertama kali dikalahkan Rangga. Namanya Ki Gringsing.
Namun percuma saja mereka mengejar. Sebab arah kelebatan Pendekar Rajawali Sakti menuju kuda hitam yang langsung membawanya lari dengan cepat.
"Maafkan, aku tidak bermaksud begini padamu," ucap Pendekar Rajawali Sakti seraya berjongkok di depan Sakaweni, ketika mereka telah cukup jauh dari para pengejar.
"Jangan coba berbuat macam-macam padaku! Kalau kau lakukan itu, maka ke mana pun kau bersembunyi, akan kukejar dan kuambil kepalamu!" dangus Sakaweni berang.
"Hm... Kalau begitu, aku tentu tidak boleh melepskan totokanmu?" tukas Rangga.
"Kurang ajar! Apa maumu sebenarnya?!" maki Sikaweni.
"Akan kulepaskan totokanmu. Tapi nanti kau salah paham dan mengira aku akan berbuat macam-macam."
"Brengsek! Lepaskan totokanmu!"
"Kenapa? Apa dikira aku kacungmu?"
"Karena semua ini ulahmu. Dan kau pantas menerima!"
"Salahku? Kalau aku tidak membawa kabur, bayangkan apa yang akan mereka perbuat terhadapmu?" cecar Rangga.
"Apa kau kira aku bayi yang tidak bisa melawan, he?!" tukas gadis itu, mendengus.
"Kau dalam keadaan terdesak."
"Siapa bilang?! Aku bahkan masih mampu bertarung seribu jurus, untuk menghadapi sepuluh kali jumlah mereka!" sahut Sakaweni sengit.
"Lalu kenapa kau diam saja ketika aku bertarung dengan mereka?"
"Kenapa aku mesti membantumu? Saudara bukan, kawan juga bukan!"
"Ya, mungkin aku memang salah. Maaf" desah Rangga mengalah seraya menggerakkan tangannya untuk melepaskan totokan.
Tuk!
"Memang! Gara-garamu, aku kehilangan pedang! Juga kudaku!" sentak gadis ini seraya cepat bangkit berdiri dan melotot garang.
"Ya, mungkin juga. Dan aku tahu, kau bukan termasuk orang yang tahu berterima kasih...," sahut Rangga, kalem.
"Aku tidak minta pertolonganmu! Kenapa aku mesti berterima kasih segala?!" sentak gadis ini.
"Aku tak mengharapkan terima kasih. Dan aku berbuat tanpa pamrih. Baiklah. Persoalan di antara kita selesai. Kau boleh pergi sesukamu!" ujar Rangga.
"Huh! Memang! Apa kau kira aku akan di sini menemanimu, lalu kau akan berbuat seenaknya padaku?!" dengus Sakaweni tetap garang.
Rangga hanya menghela napas panjang. Dibiarkannya saja gadis itu berlalu secepatnya dari tempat ini. Sementara di langit mulai gelap. Hewan-hewan mulai pulang ke sarang masing-masing. Udara mulai terasa dingin. Sebentar lagi malam akan tiba. Ingin rasanya Rangga menahan gadis itu untuk tidak pergi. Tapi mana mungkin!
"Hhh, dasar gadis liar!" desah Rangga pendek.
Pendekar Rajawali Sakti lantas bangkit. Kakinya melangkah sambil mengumpulkan ranting-ranting kering untuk dibuat perapian. Rangga lantas menghampiri Dewa Bayu. Diusap-usapnya leher kuda hitam perkasa itu beberapa saat sebelum menyalakan api.
"Kau tunggu di sini. Aku akan cari makanan sebentar" Ujar pemuda itu seraya meninggalkan kudanya yang menunggui perapian.
Ketika kembali Rangga sudah menjinjing dua ekor ayam hutan. Tapi Rangga dibuat terkejut tatkala melihat seorang lelaki tua duduk di dekat perapiannya sambil menggerogoti daging bakar. Sementara kudanya masih tetap berada di tempatnya, dan sama sekali tidak terusik. Ini sangat aneh, karena Dewa Bayu akan segera ribut mengetahui orang asing di dekatnya.
"Maaf, Kisanak. Aku mengganggu selera makanmu," sapa Rangga, ramah.
"Ah, tidak apa. Silakan duduk!" sahut laki-laki tua ini berambut panjang dan telah memutih semua itu.
Rangga menggerutu di dalam hati. Lagaknya seperti dia saja yang bertamu.
"Dari mana kau? Ah! Menangkap dua ekor ayam hutan gemuk! Untuk santap malam? Kenapa tidak minta padaku? Aku punya cukup persediaan," kata laki-laki tua ini menunjukkan beberapa potong daging bakar yang telah matang.
"Terima kasih." Rangga tidak banyak bicara, dan mulai memanggang hewan buruannya.
"Dari jauh kulihat ada perapian, lalu kudekati. Ternyata tak ada orangnya. Maka kutunggu di sini. Siapa tahu orangnya tengah berburu. Dan ternyata benar saja, ketika kutanyakan pada kuda ini. Dia tunggangan yang hebat dan cerdas," cerocos kakek ini, seperti berkata sendiri.
Rangga hanya tersenyum. Selama ini yang mengerti isyarat kudanya hanya dirinya. Demikian pula sebaliknya. Orang tua ini pasti mengada-ada, pikirnya.
"Kau kira aku berbohong?" tanya kakek ini tiba-tiba, seperti bisa menebak jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tercekat sebentar. Diperhatikannya wajah orang tua itu kemudian membalik-balikkan daging panggangnya.
"Aku belum mengenalmu, Ki. Bagaimana mungkin kau punya perasaan kalau aku menganggapmu berbohong...," sahut Rangga, datar.
"Oh, ya. Namaku Wangsa Kelana. Hm.... Soal itu, aku bisa merasakannya. Seperti juga aku bisa merasakan isyarat-isyarat yang dilakukan kudamu," kata kakek yang mengaku bernama Wangsa Kelana
"Begitukah?" tukas Rangga.
"Hehehe...! Lagi-lagi kau tidak percaya padaku, bukan?" kata kakek ini sambil tertawa kecil. api kalau kukatakan sesuatu, kau mungkin akan percaya,"
"Hm, apa itu?" tanya Rangga, acuh tak acuh seraya mencicipi daging panggangnya.
"Gadis itu.... Kurasa, dia tertarik padamu," duga Ki Wangsa Kelana.
"Aku tidak mengerti gadis mana yang kau maksudkan, Ki?" kata Rangga.
"Gadis mana? Tentu saja gadis yang marah-marah padamu tadi!"
Rangga menghentikan kunyahannya. Dipandangnya Ki Wangsa Kelana sesaat. Lalu bibirnya tersenyum manis dan kembali menggigit daging panggangnya yang telah matang.
"Aku kenal dia. Namanya Sakaweni...," lanjut kakek ini.
"Kau mengikuti kami sejak tadi?" tanya Rangga.
"Bahkan sejak kalian hampir bertabrakan!" jelas Ki Wangsa Kelana.
"Hm, sungguh rajin!" sindir Rangga.
"Tentunya secara tidak sengaja. Karena ternyata tujuan kita sama arahnya."
"Sebenarnya ke mana tujuanmu, Ki?"
"Ke Gua Griwa. Dan kau tentunya akan ke sana pula, bukan?"
"Aku tidak tahu...."
"Aku tahu! Kau hanya mengikuti gadis itu, karena sebenarnya kau pun naksir padanya."
"Bagaimana kau bisa menduga begitu?" tanya Rangga sambil tersenyum.
"Aku pernah muda. Dan aku mengalami saat-saat seorang pemuda menyukai lawan jenisnya...."
"Kau salah, Ki!"
"Coba jelaskan!"
"Karena aku sudah punya kekasih!"
"Lalu, apa urusanya kau mengikutinya? Padahal kau pun tidak punya urusan ke Gua Griwa?" tanya Ki Wangsa Kelana, agak penasaran.
"Aku seorang pengelana. Dan sebisa mungkin, aku berusaha mengamalkan sedikit kepandaian untuk membantu orang banyak. Dalam bertindak, kadang aku mengikuti naluri. Dan melihat gadis itu kurasa naluriku mengatakan bahwa akan ada masalah. Ternyata, dugaanku salah. Dia sama sekali tidak punya masalah. Setidaknya, begitu yang dikatakannya," jelas Rangga singkat.
"Kau salah kalau menilai begitu. Gadis ini sebenarnya punya masalah. Dia akan dikejar banyak orang, Dalam waktu singkat, akan banyak tersebar cerita bohong bahwa dia memiliki benda pusaka itu," sergah laki-laki tua ini seraya menjelaskan.
"Benda pusaka? Aku tidak mengerti ke mana bicaramu!" tanya Rangga.
"Apakah kau sungguh-sungguh tak tahu apa yang ada dalam Gua Griwa?!" tanya Ki Wangsa Kelana heran.
Pemuda itu menggeleng lemah.
"Memangnya ada apa?"
"Saat itu heboh berita mengenai Patung Dewi Ratih, sehingga banyak direbutkan kalangan persilatan," jelas kakek itu.
"Kenapa mereka saling berebut untuk sebuah patung yang tidak berguna?"
Ki Wangsa Kelana tertawa renyah.
"Entah kau ini tolol, atau pura-pura tak tahu!"
"Tidak! Aku betul-betul tak tahu! Apa sebenarnya yang mereka harapkan dari patung itu?"
"Baiklah.... Mungkin benar kalau kau tak tahu apa-apa soal rahasia yang telah menjadi pemberitaan umum. Di dalam patung itu, terdapat kitab pelajaran ilmu silat tingkat tinggi, dan beberapa butir obat pulung yang mampu meningkatkan tenaga dalam sampai dua kali lipat dari yang dimiliki," jelas kakek itu.
"Hm, pantas! Tapi apa hubungannya dengan gadis itu?"
"Dia bertemu Ki Darta Rawon, ketika laki-laki itu tengah dikejar para tokoh persilatan. Mereka saling menyapa, sebelum Ki Darta Rawon meninggalkannya. Akhirnya gadis itu yang menjadi sasaran kemarahan mereka. Bahkan ada yang menduga gadis itu dititipkan benda pusaka itu," jelas Ki Wangsa Kelana.
"Siapa Ki Darta Rawon itu?"
"Orang yang diduga memiliki patung itu,"
"Kenapa mereka mengira begitu?"
"Karena dia yang berhasil masuk gua. Sedang yang lain tidak,"
"Apa susahnya masuk gua itu?"
Laki-laki tua itu tersenyum.
"Di dalam gua penuh perangkap yang tidak terduga. Dan di dalamnya pun dijaga seorang tokoh sakti. Tidak sembarang orang mampu mengalahkannya."
"Dan Ki Darta Rawon itu mengalahkannya?" cecar Rangga.
"Belum tentu juga!" sahut Ki Wangsa Kelana.
"Lho? Kenapa bisa begitu?"
"Dia hanya beruntung bisa keluar dari gua dengan selamat. Mungkin mengetahui seluk-beluk gua itu, Tapi aku sendiri tidak yakin kalau patung itu ada di tangannya."
"Lalu di tangan siapa kalau begitu?"
"Di tangan si penjaga gua tentunya!"
"Siapa penjaga gua itu?"
"Kenapa kau tanya-tanya terus? Apakah kau tertarik dengan patung itu?" kakek ini malah balik bertanya.
"Ah, tidak! Maaf kalau kelihatannya begitu," ucap Rangga
"Hehehe...! Tidak apa. Rasanya tidak ada seorang pun yang tidak tertarik setelah mengetahui rahasia patung itu."
"Aku sungguh-sungguh tidak tertarik!" sergah Rangga berusaha meyakinkan.
"Eee, jangan dipermasalahkan! Meski kau tertarik, itu bukan urusanku. Apalagi setelah kau katakan kalau tidak tertarik. Nah, lebih baik habiskan daging panggangmu!"
Rangga tidak bisa bicara apa-apa lagi. Dan untuk melampiaskan perasaan tidak enak dihatinya, buru-buru digigitinya sepotong daging bakar bagiannya. Dan cepat-cepat dikunyahnya sampai tandas.

***

179. Pendekar Rajawali Sakti : Patung Dewi RatihDonde viven las historias. Descúbrelo ahora