BAGIAN 7

90 10 0
                                    

Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tak mengerti, apa sebenarnya yang diinginkan orang tua ini darinya. Setelah makanannya ludes, dengan seenaknya Ki Wangsa Kelana merebahkan diri di bawah sebatang pohon dan mulai mendengkur halus.
"Hm, apa yang diinginkannya dariku?" gumam Rangga curiga.
Ki Wangsa Kelana agaknya telah berprasangka kalau Pendekar Rajawali Sakti pun menginginkan patung yang sama sekali tidak dimengerti. Dan laki-laki tua ini tentu punya tujuan berdekatan dengannya. Dan itu membuat Rangga merasa tidak tenang. Padahal matanya mulai ngantuk. Dan kalau sampai terlelap, kemudian orang tua ini bangun dan berbuat macam-macam padanya, tidak ada yang bisa dilakukannya, mungkin bisa saja dia terbunuh.
Berpikir begitu, Rangga merasa tidak aman berdekatan dengan orang tua yang baru dikenalnya. Maka ditunggunya beberapa saat. Dan setelah yakin Ki Wangsa Kelana benar-benar tertidur pulas, maka dengan diam-diam Rangga pergi meninggalkannya sambil menuntun kudanya.
"Tidak terlihat tanda-tanda kalau dia mengetahui kepergianku," gumam pemuda itu lagi ketika telah jauh dari perapian dan sempat melirik.
Ki Wangsa Kelana terus tidur seperti bangkai. Sehingga, Rangga bisa bergerak leluasa. Dihelanya napas panjang, dan buru-buru melompat ke punggung Dewa Bayu.
"Ayo, Dewa Bayu! Kita pergi dari tempat ini!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Kuda berbulu hitam itu meringkik halus, kemudian berlari kencang menembus kegelapan malam. Sebentar saja, mereka telah menghilang dalam kegelapan.
Setelah Dewa Bayu berlari kencang beberapa saat, Pendekar Rajawali Sakti tiba di sebuah lembah yang cukup subur. Malam telah semakin larut. Dan kantuk yang menyerangnya begitu hebat. Sehingga Rangga memutuskan untuk beristirahat.
Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari kudanya. Dewa Bayu lantas ditambatkan. Baru setelah itu Rangga mencari tempat yang terlindung. Dalam sekejap saja pemuda itu telah menghenyakkan tubuhnya di balik semak dan tertidur pulas.
Trang! Trang!
"Ohh...." Sekian lama Rangga tertidur, mendadak terdengar suara ribut-ribut tidak jauh dari tempatnya berada. Begitu Rangga terjaga, matanya sudah disambut oleh sinar matahari pagi. Dan tatapannya langsung ke arah pada asal suara ribut-ribut barusan. Suara ribut itu ternyata berasal dari sebuah pertarungan. Rangga melihat tiga orang tengah bertempur sengit di pagi hari ini.
"Hm.... Dia rupanya!" gumam Rangga ketika melihat seorang gadis tengah dikeroyok dua orang laki-laki tua.
Gadis itu tak lain Sakaweni, yang kemarin sore diselamatkannya. Sementara dua laki-laki tua yang mengerubutinya kelihatan bernafsu untu menjatuhkannya. Salah satu di antaranya agak dikenal sebagai orang yang ikut mengeroyok gadis itu kemarin sore. Sedangkan seorang lagi yang bersenjata sabit. Dan Rangga belum pernah mengenalnya.
Pendekar Rajawali Sakti menggerak-gerakkan tubuhnya sebentar, lalu bangkit berdiri. Dihampirinya Dewa Bayu, untuk melepas tambatannya. Kemudian dengan tenang Rangga melompat naik. Segera dihampirinya pertarungan itu.
Salah seorang pengeroyok tampak mendengus dingin tatkala mengetahui siapa gerangan yang muncul di tempat itu.
"Hm, Pendekar Rajawali Sakti! Bagus! Kau datang pada waktu yang tepat! Apakah kau hendak membantu gendakmu ini?!" dengus salah satu laki-laki tua itu.
"Jangan salah sangka, Ki. Aku hanya ingin melihat-lihat pertarungan kalian. Silakan dilanjutkan. Dan aku akan menjadi penonton yang baik," kilah Rangga kalem.
Laki-laki bersenjata rantai besi panjang yang ujungnya runcing itu tak lain dari Sidarta. Sedang yang bersenjata sabit, Sidarta sering memanggilnya dengan nama Ki Wulung.
Meskipun pemuda itu telah mengatakan kalau tidak akan ikut campur, tapi Sidarta dan kawannya kecut juga. Mereka jadi tidak tenang menghadapi lawannya.
Sebaliknya Sakaweni merasa mendapat angin. Sekaligus ingin menunjukkan pada pemuda itu kalau mampu melindungi diri dan tidak perlu bantuannya. Maka permainan pedangnya jadi kelihatan hebat.
Trang!
Gadis itu berhasil menangkis serangan sabit Ki Wulung. Lalu tubuhnya melompat tinggi menghindari rantai besi Sidarta yang hendak membelitnya.
"Hiyaaa!" Mendadak tubuh gadis ini melompat tinggi seraya melepaskan tendangan ke arah Ki Wulung.
Cepat bagai kilat laki-laki bersenjata sabit ini mengibaskan tangan untuk menangkis.
Plak!
Dan gadis itu menggunakan tenaga benturan untuk jungkir balik, begitu mendarat, dihantamnya dada Ki Wulung dengan tendangan keras yang tak mampu dielakkan.
Desss...!
"Aaakh!" Ki Wulung menjerit kesakitan. Tubuhnya terhuyung huyung ke belakang.
"Terimalah balasan dariku!" dengus Sidarta geram, seraya melepaskan salah satu ujung rantainya yang runcing bagai anak panah.
Wuk!
"Hup!" Sakaweni melenjit ke atas. Dan ketika ujung senjata laki-laki itu mengikuti, dia meluncur mendekati Sidarta.
"Yeaaat!"
"Heh?!" Sidarta jadi gelagapan sendiri. Senjatanya yang panjang tak mampu menghalangi serangan gadis ini yang dilakukan dalam jarak dekat. Sehingga mau tidak mau terpaksa dia menjatuhkan diri, ketika gadis itu membabatkan pedang dengan bertubi-tubi.
Bet! Wut!
"Uhh!" Sambil menarik senjata rantainya, Sidarta berusaha mencelat ke belakang. Tapi sebelum hal itu dilakukannya Sakaweni telah melepas satu tendangan keras kearah perut.
Duk!
"Aaakh!" Sidarta menjerit tertahan ketika tendangan gadis itu mendarat telak di perutnya. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang.
"Masih penasaran? Ayo, maju lagi!" bentak Sakaweni sambil berkacak pinggang.
"Kurang ajar! Kau kira bisa berbuat seenaknya terhadap kami?!" dengus Sidarta, geram.
"Buktinya memang begitu!"
"Keparat!" Dengan satu bentakan keras, Sidarta kembali menyerang dengan gencar. Demikian pula Ki Wulung.
"Yeaaat!"
Bet! Bet!
Serangan mereka kelihatan semakin gencar dan hebat saja. Dalam keadaan marah seperti sekarang karena dipecundangi, mereka tidak lagi mempedulikan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di tempat ini. Sehingga bisa dirasakan kedahsyatan serangan-serangan yang dilancarkan.
Sehenarnya kedua tokoh itu bukanlah orang sembarangan. Kepandaian mereka cukup hebat. Kalau tadi kena dipecundangi, itu karena masih merasa khawatir kalau Pendekar Rajawali Sakti akan turun tangan. Karena bisa-bisa mereka akan dihajar babak belur. Dan itu hal yang amat memalukan.
"Hiyaaat...!"
Sakaweni berusaha bertahan mati-matian dengan mengerahkan seluruh kemampuan. Untuk satu atau dua Jurus, mungkin dia bisa bertahan. tapi memasuki jurus keempat, kelihatan gadis ini mulai kawalahan menerima gempuran.
"Hiih!" Ki Wulung mengirim tendangan kilat, tatkala gadis ini melompat ke belakang.
"Heaaat!" Secepatnya Sakaweni mengibaskan pedang, sehingga Ki Wulung terpaksa menarik pulang tendangannya. Tapi itu memberi peluang bagi Sidarta untuk melepaskan senjatanya.
Cring!
"Hei?!" Gadis itu terkejut setengah mati karena tiba-tiba saja senjata Sidarta telah bergerak cepat membelit pinggang. Sia-sia saja dia berusaha memapas rantai besi itu. Karena bukan saja senjata itu amat keras, tapi saat itu juga Sidarta tidak memberi kesempatan. Segera disentakkannya rantai besi itu kuat-kuat.
"Hiyaaa!"
"Hup!" Tentu saja Sakaweni tidak mau mati konyol. Kalau berdiam diri saja, bukan tidak mungkin pinggangnya akan patah ditarik senjata itu. Maka dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dia ikut melompat mengikuti sentakan. Dan bersamaan dengan itu, dikirimkannya tendangan bertenaga dalam tinggi.
"Yeaaat!"
"Gadis liar! Lihat seranganku!" teriak Ki Wulung memberi peringatan sebelum bantu menyerang dari samping.
"Hm, brengsek!" dengus gadis ini.
Mau tidak mau terpaksa Sakaweni menangkis serangan Ki Wulung dengan pedangnya kalau tak ingin tertebas senjata sabit. Dengan demikian dia melupakan serangannya pada Sidarta.
Trang!
"Hiih!" Kesempatan itu dipergunakan Sidarta untuk melakukan serangan mendadak. Segera dilepaskannya satu tendangan menggeledek yang tak mungkin dapat dihindari.
Des!
"Aaakh...!"
Satu tendangan telak menghantam perut Sakaweni. Gadis ini terjungkal ke belakang sambil mengeluh kesakitan. Dan bersamaan dengan itu, Sidarta tetap mengikutinya agar gadis itu tidak terlepas dalam cengkeraman senjatanya.
"Heaaa!" Sidarta memutar senjatanya, berusaha melibat kedua tangan Sakaweni. Tapi gadis itu berusaha menghindar. Dan kalau bisa, melepaskan diri dari belenggu senjata Sidarta. Cepat tubuhnya bergulingan beberapa kali sambil mengibaskan pedang menghantam senjata rantai itu.
"Hup!"
Cring! Cring!
Namun rantai itu tetap tidak putus oleh tebasan pedang Sakaweni. Dan dia pun tidak terbebas dari belenggu. Rantai besi itu seperti mengunci pinggangnya dengan ketat. Malah dalam satu kesempatan, sebelah kakinya berhasil dilibat rantai.
Mendadak saja, Sidarta menyentakkannya dengan keras hingga gadis itu terseret. Sakaweni mengeluh kesakitan. Keadaannya betul-betul tidak berdaya. Terlebih setelah sabit di tangan Ki Wulung telah mengancam keselamatan lehernya.
"Kau telah membunuh salah seorang kawan kami. Dan untuk itu, kau patut mati!" dengus Ki Wulung geram.
"Tapi sebelum mati, katakan lebih dulu. Dimana benda pusaka itu kau sembunyikan?!" hardik Sidarta.
"Huh! Kalian bicara apa? Aku tidak tahu-menahu soal benda yang kalian inginkan! Kalau kawanmu mati, itu salahnya sendiri. Dia terlalu memaksakan kehendaknya padaku!" dengus Sakaweni, garang.
"Kurang ajar! Kau masih mau mengelak, heh?!" hardik Ki Wulung.
"Kenapa aku mesti takut?!" balas gadis itu dengan sikap tidak kalah garang.
"Bangsat! Kalau begitu, kau boleh mampus sekarang juga!"
Ki Wulung sudah siap akan menekan senjatanya. Namun mendadak Sidarta menahan dengan mencekal tangannya. Dia memberi isyarat kalau Pendekar Rajawali Sakti masih berada di situ.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau telah berjanji tidak akan mencampuri urusan kami, bukan?!" teriak Sidarta, untuk meyakinkan.
Pemuda itu yang sejak tadi masih tetap tenang-tenang saja di punggung kuda sambil tersenyum-senyum. "Kenapa? Kalian kira aku akan menolongnya, sedangkan dia sendiri tidak butuh pertolonganku?" sahut Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
Tapi sebelum Sidarta menjawab....
"Kalau dia tidak mau, maka sebaliknya aku mau menolong gadis itu!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara, yang membuat semua orang berpaling. Tampak seorang laki-laki tua melangkah tenang, menghampiri Sakaweni. Rambutnya yang panjang berwarna putih berkibaran ditiup angin pagi.
"Hm, dia lagi!" gumam Rangga ketika mengenali laki-laki tua berambut panjang yang semuanya telah memutih itu.
"Paman Wangsa Kelana!" seru Sakaweni, girang. Kelihatannya gadis ini kenal betul dengan orang tua aneh dan sedikit agak lucu yang memang Ki Wangsa Kelana.
"Syukurlah kau kutemui di sini, Weni! Apa yang kau lakukan sehingga kedua kecoa ini hendak membunuhmu?" tanya Ki Wangsa Kelana.
"Ceritanya panjang, Paman. Nanti aku ceritakan padamu. Tapi... sebaiknya mereka kau singkirkan dulu. Aku muak melihat tingkah mereka," sahut Sakaweni.
"Hehehe...! Itu urusan mudah."
"Orang tua! Kuharap jangan ikut campur dalam urusan ini! Atau kau akan mendapat nasib yang sama dengan gadis ini!" hardik Ki Wulung garang.
"Hehehe...! Nasib seperti apa yang kau maksudkan?" tanya Ki Wangsa Kelana menganggap enteng ancaman barusan. Kemudian secepat kilat laki-laki tua ini menjentikkan sebelah tangan. Seketika selarik angin kencang melesat menerpa Ki Wulung.
Pak!
"Ahhh...!" Saat itu juga, Ki Wulung merasa sebelah pipi-nya ditampar dengan keras. Dan belum lagi bersiaga, serangan Ki Wangsa Kelana telah berada dekat sekali dengannya. Dan Ki Wulung hanya mampu mengibaskan tangan kiri.
Plak!
"Aaakh!" Ki Wulung kontan menjerit kesakitan, ketikatangan kirinya terasa linu berbenturan dengan tangan Ki Wangsa Kelana. Dan pada saat yang hampir bersamaan, kaki kiri paman dari Sakaweni menghantam perutnya dengan telak.
Desss...!
"Aaakh...!" Tak ampun lagi, Ki Wulung langsung terjungkal ke belakang.
"Heh?!"
"Apa?! Kau ingin mendapat bagian yang sama dengan kawanmu itu?!" hardik Ki Wangsa Kelana ketika Sidarta terkejut melihat gerakan barusan.
"Kurang ajar!" Sidarta menggeram marah. Dan kemarahannya segera di lampiaskannya dengan menyentakkan tubuh Sakaweni yang masih terbelenggu senjatanya.
"Hiiih!"
Namun Sidarta tidak menyadari kalau Ki Wangsa Kelana telah berada di dekatnya. Dan dengan tenang laki-laki tua itu menangkap rantai besi.
"Hup!"
Tap!
Seketika Ki Wangsa Kelana menahan sentakan rantai.
"Uhhh!" Sidarta berusaha membetotnya. Namun KiWangsa Kelana tetap tenang-tenang saja. Sedikitpun tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan ketika Sidarta telah mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki, tetap saja kedudukan Ki Wangsa Kelana tidak berubah.
"Ohhh!" Sidarta terkejut sendiri. Rantai besinya mulai terasa panas dan mengepulkan asap.
"Heaaat!" Sidarta membentak keras. Dia berharap tubuh Ki Wangsa Kelana itu kena dibetotnya. Tapi yang terjadi....
Cring!
"Aaakh...!" Justru rantai besi Sidarta yang putus. Dia sendiri terhuyung-huyung ke belakang.
"Bangsat!" Sidarta menggeram marah. Dengan membentak keras diserangnya Ki Wangsa Kelana seraya mengibaskan sisa rantai besi yang berada di tangan.
"Hih!"
Namun serangan itu dihadapi dengan tenang oleh Ki Wangsa Kelana. Bahkan laki-laki tua ini mengibaskan sisa rantai besi yang ada dalam genggamannya.
Cring!
Kedua senjata itu tampak saling melibat. Lalu tiba-tiba Ki Wangsa Kelana menyentakkannya dengan keras.
"Ahhh...!" Sidarta terkejut merasakan sentakan dahsyat. Kalau saja tidak melepaskan rantai besi itu, maka bukan tidak mungkin lengannya akan putus.
"Heaaa...!" Ki Wangsa Kelana tidak berhenti sampai disitu. Tubuhnya terus mencelat menyerang lewat tendangan kilat.
"Hup!" Dengan sebisanya Sidarta mengangkat tangan kirinya untuk menahan tendangan.
Plak!
Dan belum sempat Sidarta berbuat apa-apa, mendadak rantai besi di tangan Ki Wangsa Kelana telah menggebuk perutnya.
Bret...!
"Aaakh...!" Sidarta menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang, sejauh beberapa langkah.
"Hehehe...! Kalau masih penasaran, kau boleh maju dan bertarung lagi denganku!" kata Ki Wangsa Kelana.
Sidarta mendengus dingin. Dia tahu kalau orang tua itu bukan tandingannya. Dan bukan pula tandingan Ki Wulung. Sia-sia saja melawan, karena akan jatuh bangun dihajar paman dari Sakaweni ini. Maka dengan satu isyarat, diajaknya Ki Wulung untuk angkat kaki dari tempat itu.
"Orang tua! Persoalan ini belum selesai. Suatu saat, kau akan menerima pembalasan kami!" ancam Sidarta sebelum meninggalkan tempat ini.
"Hehehe...!" Ki Wangsa Kelana hanya terkekeh mendengar ancaman.
"Paman! Kenapa kau biarkan saja mereka pergi? Habisi saja sekalian!" tanya Sakaweni, tak puas.

***

179. Pendekar Rajawali Sakti : Patung Dewi RatihWhere stories live. Discover now