1.

8 1 0
                                    


Ketika senja menjadi sendu.

Gadis yang disebut Kanaya Alfatra itu berdiri. Menyeka air matanya yang sempat turun membasahi pipinya. Berjalan menuju teman-temannya berada. Mengambil tas dan kunci mobilnya. Pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Persetan dengan teriakan teman-temannya yang menyeruak memanggil namanya. Yang terpenting ia harus menyusul kekasihnya. Menjelaskan apa yang barusan terjadi. Agar tidak ada salah paham antara dia dan Gevandra.

Mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tanpa memperdulikan teriakan pengendara lainnya karena kecerobohan dirinya. Menyalip beberapa mobil dengan ugal-ugalan. Jangan sampai masalah tadi menyebabkan masalah besar. Sumpah, mungkin ia akan menyesali ini ... Dan tidak akan memaafkan dirinya sendiri karena ulah dari orang sialan tadi. Andai ia tadi melawan dengan tegas, mungkin ini tidak akan terjadi. Tapi kembali lagi, itu hanya andai.

Ia tak tau apa yang terjadi kedepannya tanpa adanya sosok yang selama ini selalu melindunginya. Orang yang sering ... Mungkin selalu mendengar keluh kesahnya. Orang yang pertama kali memeluknya saat dirinya lemah. Orang yang selalu ada saat dirinya terpuruk. Orang yang selalu menghiburnya kala ia sedih. Orang yang selalu menyemangati dirinya saat ia terjatuh. Orang yang selalu mendukungnya ketika sedang berada di titik tersulit. Orang yang selalu ada di setiap keadaan dirinya, baik duka maupun suka. Dan juga Gevandra yang sering memberi jalan keluar di setiap masalahnya.

Sesampainya di rumah kekasihnya gadis bernama Kanaya itu langsung turun. Berlari menuju gerbang yang berdiri kokoh. Berteriak, meminta satpam untuk membuka gerbang. Setelah gerbang dibuka ia langsung berlari menuju pintu utama. Ia merasa tidak sopan karena ia tidak menyahut sapaan satpam. Tapi ... Ah, masa bodo. Itu tidak terlalu penting.

“Gevandra!” Kanaya berteriak. Mengetuk pintu berulang kali.

“Gev!” panggilnya sekali lagi.

Namun tetap tak ada respon apa pun.

“Kamu harus dengerin aku. Kamu salah paham,” menyenderkan kepalanya di pintu. Karena merasa pusing setelah berteriak.

“Gevandra, kamu jangan marah. Apalagi, sampe ninggalin aku. Sumpah, tadi gak seperti yang kamu lihat!” berusaha menjelaskan walaupun belum tentu didengar oleh Gevandra. “Nanti siapa yang jadi tempat keluh kesah aku kalau kamu ikutan pergi dari aku kayak yang lain? Kamu beneran tega?” tak menyerah, Kanaya kembali mengetuk pintu lebih keras dari sebelumnya.

“Gak usah teriak-teriak. Gue di sini.”

Kanaya menoleh ke asal suara. Mendapati Gevandra yang sedang duduk termangu di kursi halaman depan.

Berjalan tertatih menghampiri Gevandra kemudian langsung memeluk pacarnya erat. Gevandra tak menolak namun juga tak membalas pelukan Kanaya.

“Kamu salah paham,” lirih Kanaya di sela tangisnya.

Gevandra tak menyahut. Memejamkan matanya, berusaha meredam amarahnya. Jangan sampai emosinya meluap-luap hingga menyakiti gadisnya.

“Tadi gak seperti yang kamu lihat. Beneran, bisa aku jelasin. Tadi—”

Sebelum selesai berucap langsung dipotong Gevandra. “Berhenti beralasan. Alibi lo gak bakal bikin gue percaya lagi sama lo. Gue udah memaklumi kesalahan lo sebelum-sebelumnya. Dan lo tau betul gue gak suka dibohongi. Apalagi dikhianati.” Gevandra berujar kelewat sinis.

“Tapi aku gak alasan. Apalagi ngekhianatin kamu.”

Gevandra menghela nafas. Menjauhkan tubuh Kanaya dari dirinya. “Percuma lo nangis-nangis, gue gak bakal percaya lagi. Lo udah kecewain gue. Dan lo udah hancurin kepercayaan gue,” ujar Gevandra. Memalingkan wajahnya ke kanan setelahnya ia mengusap wajahnya. Ia begitu frustasi. “Lo mending pulang. Gak baik cewek di luar malem-malem. Ayah lo khawatir karena lo jam segini belum pulang.” Tersirat nada khawatir di sana.

FraintendereWhere stories live. Discover now