1100[Tidak Terselamatkan?]٣١

957 81 4
                                    

Mobil yang dikendarai Fakhri melaju dengan kecepatan normal, tengah hari memasuki jam makan siang seperti ini jalan raya lumayan senggang. Shilla fokus menikmati terpaan angin dari kaca mobilnya. Sesekali tangannya mengelus perutnya yang sudah membuncit.

"Sampai." Fakhri dan Shilla serentak menoleh ke belakang, tempat Daffin berada. Setelahnya, mereka bertiga langsung membuka pintu mobil masing-masing.

Daffin berada di tengah-tengah Fakhri dan Shilla. Kedua tangannya pun digandeng oleh sepasang suami istri di kanan kirinya itu.

"Jam istirahat masih tersisa lima menit lagi," ujar Shilla menoleh ke arah Fakhri.

Fakhri mengangguk setuju setelah ia melirik jam tangan di pergelangan kirinya. "Mau ke kantin dulu nggak?"

"Daffin mau beli-beli?" Shilla menunduk, memperhatikan respon anaknya yang hanya menggeleng pelan.

"Ndak, umma."

"Ya udah, kita tunggu di depan ruangan obgyn (obstetri dan ginekologi) saja." Ruangan yang menjadi tempat konsultasi kandungan dan permasalahan organ wanita.

Hari ini adalah hari terakhir Shilla check up rutin kandungannya. Meskipun ini bukan kehamilan pertama, tapi rasa was-was itu tetap ada. Apalagi saat memasuki trimester ketiga seperti saat ini. Tinggal menghitung mundur kapan akan melahirkan.

Shilla dan Fakhri duduk berdampingan di depan ruang obgyn sementara Daffin berada di pangkuan Fakhri. Tak ada pembicaraan, tapi ketiganya cukup mendapat banyak perhatian dari orang yang berlalu lalang. Tentu saja gambaran yang berada di pemikiran orang-orang yang melihatnya, keluarga Fakhri adalah keluarga impian yang begitu harmonis, tapi itu hanya sepintas pemikiran mereka. Tidak ada yang mengerti tentang apa yang dilalui Fakhri dan keluarganya untuk bisa sampai di titik ini.

"Maaf menunggu lama," ucap Dokter Melisha--dokter yang menangani Shilla dalam berkonsultasi selama kehamilannya.

"Nggak papa Dok." Dokter Melisha tersenyum sekilas sebelum akhirnya masuk ke ruangannya dengan diikuti Shilla, Fakhri dan Daffin di belakangnya.

Shilla mengikuti arahan dokter seperti biasa. Sesekali ia melihat ke monitor yang menampilkan janinnya. Lalu sesekali, ia melihat ke arah suami dan anaknya.

"Daffin gambar yang di sana itu Adek Daffin," tunjuk Fakhri yang selalu antusias saat melihat perkembangan anaknya yang masih di kandungan itu. Ekspresi Fakhri seolah-olah ia baru melihatnya pertama kali padahal sudah berkali-kali. Rasanya, Fakhri tak pernah bosan jika melihat dan mendengarkan perkembangan anaknya.

"Kapan adeknya lahir?" timpal Daffin yang tak bisa menyembunyikan ketertarikannya. Sudah lama ia begitu menantikan kehadiran saudaranya. Yang akan menemani hari-harinya. Bukan hanya sekedar untuk bermain saja.

Dokter Melisha tersenyum simpul melihat respon Daffin. Ia menatap anak itu sebentar, lalu setelahnya terfokus ke arah Shilla. "Menurut prediksi seharusnya tanggal 12 tepatnya Minggu depan. Tapi sekali lagi, kelahiran bisa terjadi lebih cepat atau lebih lambat."

"Baik Dok, terima kasih." Setelah diberikan beberapa resep vitamin keluarga kecil itu langsung pamit kepada Dokter Melisha.

***

"Kemarin Daffin bilang sepatunya sudah kekecilan kan? Sekarang Abah belikan Daffin sepatu baru." Ya, kemarin Daffin mengeluhkan sepatunya yang kekecilan bahkan jari-jari kakinya sampai merah.

"Alhamdulillah." Tak ada yang namanya kehebohan dan jingkrak jingkrak seperti anak kebanyakan. Daffin memang berbeda.

Mereka bertiga berjalan bersama memasuki mall, menuju ruko-ruko sepatu yang berjejer rapi dengan berbagai ukuran, merk dan model.

Bidadari yang Tersembunyi[END]Where stories live. Discover now