Bab 18

8 5 0
                                    


"

Z21810, S514814910, K1381020, B811058106, Angka apa ini?" Mervan menatap heran angka yang tertulis vertikal di buku catatan Zien yang tertinggal di dalam laci meja belajar gadis itu. Dahinya mengernyit, berpikir keras apa arti dari angka-angka yang tertulis di halaman terakhir.

Mervan mengangkat buku itu, menyipitkan matanya memperhatikan secara dekat, selembar foto keluar dari halaman yang berbeda jatuh tepat di atas kakinya. Mervan menunduk mengambil foto tersebut, terdapat empat orang remaja tengah tersenyum lebar sambil memegang botol alkohol. Tiga dari mereka dapat ia kenali, tetapi satu orang lagi ia tidak mengenalnya sedikit pun---seorang perempuan.

"Ini Zien, Kenzo, dan Bintang. Siapa perempuan ini? Tunggu, jadi mereka bertiga pernah bersahabat?" batin Mervan, masih mengamati foto tersebut.

Mervan meletakkan buku catatan Zien di atas meja belajar milik gadis itu, membuka setiap halaman dengan cepat, menemukan dua foto lainnya. Satu foto pertama menampakkan dua orang---Zien dan Kenzo---tengah berfoto dengan pose dua jari, tetapi di sudut foto terlihat bayang samar Bintang menatap tidak suka keduanya. Foto kedua menampakkan tiga orang---Zien, Bintang, dan seorang perempuan---dengan pose acak, Zien terlihat menghadap ke kamera, Bintang menatap Zien, dan perempuan itu menatap Bintang.

"Foto pertama, Bintang terlihat cemburu. Foto kedua, terlihat seperti cinta segitiga. Ini sungguh membingungkan, sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka? Apa karena cinta persahabatan mereka hancur?" gumam Mervan, meneliti foto tersebut lebih dekat.

Tempat mereka berfoto terlihat di dalam ruangan yang penuh dengan coretan, di dalam foto tersebut terdapat gambar tengkorak pada dinding dan huruf Z, S, K, dan B yang tidak tersusun, digambar acak oleh mereka. Sofa di dekat mereka penuh dengan makanan yang berserakan, keleng soda pun begitu, dan televisi yang masih menyala.

"Di sini aku melihat sisi Zien yang berbeda, ia tampak begitu bahagia, terlihat tidak ada beban sedikit pun. Kenzo dan Bintang pun begitu. Kenzo terlihat lebih santai, begitu juga dengan Bintang terlihat lebih bersahabat. Mereka sungguh berbeda dengan yang sekarang," gumam Mervan, meletakkan foto tersebut di atas meja. Kembali membaca buku catatan Zien.

Mervan memulainya dengan membuka halaman pertama, bersih, dan kosong. Ia lanjut membuka halaman berikutnya, masih kosong, tidak ada coretan sedikit pun. Kepala Mervan sedikit menggeleng ke kanan, kebingungan.

Halaman berikutnya kembali dibuka oleh Mervan, masih saja kosong. Mervan kesal dan menutup kasar buku tersebut, menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan. Kembali membuka buku tersebut, lembar demi lembar Mervan membukanya dengan sabar. Walaupun masih terlihat kosong.

Pada halaman yang entah ke berapa, Mervan kembali kebingungan dengan apa yang dituliskan oleh Zien. "Gadis itu selalu penuh dengan teka-teki," gerutu Mervan, mencoba memecahkan kelimat misterius yang tertulis tersebut.

Rucnah uknatabahasrep atrah anerak
Rucnah uknatabahasrep atnic anerak Aisunam nagned natesrep

? Nakkijijnem utigeb naliak apanek

Itulah yang tertulis pada buku catatan Zien, Mervan berulang kali membuang napas kasar, tidak mengerti cara pikir gadis itu.

"Mengapa ada gadis sepertinya di dunia ini?! Ya, Tuhan, bisa-bisanya aku mencintai gadis aneh ini. Sabar Mervan sabar, ini baru sebagian atau mungkin baru secuil hal aneh yang kutemui dari gadis itu," geram Mervan, masih mencoba sabar menerima kenyataan tentang gadis yang ia cintai.

"Zien, bisakah kau beri aku petunjuk tentang kalimat aneh ini. Huft ... mata dan kepalaku sakit, sungguh. Bolehkah aku dramatis untuk sesaat, ini melelahkan!" Mervan mundur beberapa langkah, menatap buku catatan yang terbuka lebar, seolah buku itu memperlihatkan isinya yang memusingkan.

Mervan kembali ke meja itu, kini ia duduk sambil berpangku dagu, menatap kalimat itu dari setiap sisi. Sepintas ia mendapat cahaya terang, matanya berbinar. Kembali Mervan menatap kalimat itu, membacanya dari arah kanan.

"Karena harta persahabatanku hancur. Karena cinta persahabatanku hancur. Persetan dengan manusia. Kenapa kalian begitu menjijikan?" eja Mervan. "Yeah, aku berhasil memecahkannya! Niat sekali ia menulis seperti itu," lanjut Mervan, kembali membuka halaman buku tersebut.

• • •

"Zien? Dia yang menyuruhmu? Untuk apa dan apa hubungannya denganmu?" Pertanyaan beruntun tersebut keluar begitu saja dari mulut Mertha.

"Yups, betul sekali. Zien yang menyuruhku. Ia mengatakan, kalau kau adalah keluarganya. Waktu ia masih sekolah di SMPN Daralis, ia baru sadar bahwasanya kau adalah adik dari Mervan. Hubunganku dengan Zien ... kami bersahabat," jelas Kenzo, membuat raut wajah kebingungan di wajah Mertha.

"Mervan? Siapa laki-laki itu?"

"Kau tidak mengetahuinya? Ah, iya. Aku lupa kau mengalami kecelakaan hingga kau tidak mengenal siapa pun lagi, kau melarikan diri dari rumah sakit saat orang tuamu pulang."

Kenzo diam-diam merekam setiap percakapan mereka, kalung berbentuk bulan sabit yang tergantung pada lehernya ternyata alat perekam mungil yang sengaja ia kenakan. Tanpa sadar mereka bicara mulai santai, tidak ada kata sapaan formal antara mereka lagi.

Mertha menggeleng ke kiri dan ke kanan mencoba mengingat sesuatu, kebiasaannya saat berusaha mengingat sesuatu membuat Kenzo merasa aneh. Suasana canggung seketika datang, Mertha tiba-tiba menatap Kenzo kaku, membuat laki-laki merasa risih.

"Mengapa menatapku seperti itu?" tutur Kenzo, kaku.

"Aku hanya mengingat. Dahulu, entah tanggal berapa, aku terbangun di rumah sakit. Suasananya begitu berisik, semua orang terlihat mengerikan dengan wajah penuh dengan darah. Mereka terlihat seperti zombie, mereka seolah mengejarku, hingga akhirnya aku tersungkur di trotoar yang sepi. Setelah itu, aku terbangun di dalam rumah, seorang wanita datang menghampiri dan memberikanku segelas air. Selama dua bulan, aku tinggal di rumah wanita itu, tetapi anaknya selalu menuntutku untuk pergi. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dengan bermodalkan uang yang diberikan ibunya."

Mertha menjelaskan panjang lebar apa pun yang ia ingat, pikirannya menerawang pada 10 tahun yang lalu. Di saat manusia terlihat mengerikan, jalanan penuh dengan bangkai manusia, dan darah berserakan di mana-mana. Mertha tidak menyadari bahwa itu hanyalah halusinasinya yang terlihat nyata.

Kenzo terdiam sesaat, mencermati setiap kata dan kalimat dari Mertha. Ia hampir tidak percaya, tetapi terlihat Merthat tidak berdusta. Wajah gadis itu terlihat lugu dan polos mengatakan hal tersebut. Namun, bagaimana Mertha bisa mengalami halusinasi yang bergitu mengerikan menjadi tanda tanya di benak Kenzo.

"Apa Mertha memiliki gangguan jiwa?"

Bersambung.

The Targeted Girl [END]Where stories live. Discover now