16: Buta

794 123 43
                                    

Warning: chapter ini juga lebih panjang dibanding biasanya walau tidak sepanjang chapter sebelumnya. Monggo nyamankan posisi bacamu ^^

***

**

*


"Hyunjin, kau di mana?"

Suara itu bertanya melalui telepon. Ada nada tergesa-gesa dan menginterogasi di situ.

Ponsel Hyunjin kini menempel di kuping kirinya. Dijepit di antara kepala dan bahu. Tangannya kembali sibuk mengayak terigu.

"Aku di rumah, Felix," jawab Hyunjin pada sosok Felix di seberang telepon. "Sedang membuat kukis dengan Nenek Choi. Camilan di ruang kerja suamiku sudah habis. Ada apa?"

"Oh ..." jawab Felix dengan nada menggantung. "Eum ... tidak ada apa-apa. Hanya memastikan saja. Apa suamimu ada di rumah?"

Pertanyaan Felix berhasil membuat kening Hyunjin mengerut. Tak mungkin Felix menelepon hanya untuk menanyakan ini, kan? "Dia sedang keluar," jawab Hyunjin dengan nada meyakinkan.

"Apa dia bilang mau ke mana?"

Hyunjin kembali terheran. Tak pernah-pernah Felix meneleponnya hanya untuk bertanya seperti ini. Biasanya Felix lebih memilih untuk menggunakan aplikasi chatting ketimbang menelepon.

"Dia tidak bilang. Tapi sepertinya dia keluar untuk observasi lapangan saja, bukan hal formal. Soalnya tadi dia tidak membawa laptop dan pakaiannya juga santai."

"Apa dia memakai kemeja bermotif hitam? Yang kau belikan di Jepang kemarin?"

"Yes, dia memakai kemeja itu. Aku yang menyiapkannya tadi." Hyunjin masih berusaha tenang dan menyembunyikan rasa penasarannya.

Hyunjin lantas mengelap tangannya yang terbalur tepung pada celemek yang dia gunakan. "Nenek, aku bicara sebentar, ya," izin Hyunjin pada Nenek Choi sambil menunjuk ponselnya.

Nenek Choi mengangguk, lalu lanjut mengaduk telur dengan mixer.

Hyunjin menutup pintu dapur. Dia kini berada di halaman belakang rumah, yang biasa dipakai untuk menjemur pakaian. "Ada apa, Felix. Kau membuatku takut!" ucap Hyunjin kini bisa lebih bebas berbicara.

"Aku hanya ingin memastikan saja. Apa kau yakin dia observasi lapangan? Soalnya Aku melihatnya dengan seseorang di kafe."

Detak jantung Hyunjin mengakselerasi. Dia tak mau berpikir buruk. "Oh ... mungkin kliennya. Memang banyak kliennya yang sering mengajak ngobrol santai di kafe kalau akhir pekan begini."

Yang Hyunjin ucapkan barusan lebih tertuju pada dirinya sendiri. Lagi, alasannya dia tak mau berpikir buruk tentang Bangchan.

Perbincangannya dengan Bangchan sepulang dari Jepang menjadi sedikit terhambat. Sesuai saran Changbin, Hyunjin berusaha bertanya pada Bangchan. Berusaha membuka pembicaraan agar Bangchan lebih terbuka, lebih jujur. Jujur dengan apa yang terjadi padanya dan Changbin, dan jujur tentang perasaannya sendiri.

Namun, hal itu malah seperti membuat Bangchan semakin menutupi banyak hal. Hyunjin pikir dia akan terbiasa dengan Bangchan yang kaku dan datar—Bangchan yang terbiasa tak menunjukkan emosi dan Bangchan yang memilih menyembunyikan perasaan dan apa yang dia pikirkan. Nyatanya, Hyunjin masih manusia biasa yang senang berkomunikasi dan tak bisa begitu saja diabaikan.

"Hyunjin ... apa mungkin rekan bisnis menyuapinya makanan? Mereka terlihat kelewat akrab untuk sekadar rekan bisnis!"

Napas Hyunjin tercekat. Badannya otomatis terjongkok. Kakinya lemas. Kepalanya pusing.

[✓] Chanjin ―  Alexithymia LoveWhere stories live. Discover now