Dear anak Tetangga 01

34 2 0
                                    


Baru saja bangun pagi, aku sudah disambut Ibu dengan muka merah padam dan kedua tangan bertengger di pinggangnya.

"Gadis-gadis, bangunya suka siang!" ucap Ibu lantang, matanya menatapku tajam dari atas kepala sampai ujung kaki.

Aku mengaruk kepala yang sebenarnya tidak terasa gatal sedikitpun. Bukan hal yang tidak lumrah jika, tiap hari selalu diceramahi berbagai kata dari mulut wanita yang telah melahirkanku kedunia ini.

"Hari ini libur sekolah Bu, jadi free dong!" Aku mengerakkan otot-ototku yang masih terasa kaku.

"Dikasih tau, malah ngeyel, lihat tuh si Fawaz anaknya pak Hartono, tadi ibu lihat dia pagi-pagi udah sapu-sapu halaman, padahal dia anak cowok, gak kaya kamu!" Ibu menunjukku dengan jari tengahnya tepat pada kedua bola mataku.

Aku malas jika harus dibandingkan dengan anak tetangga itu, ingin sekali menutup kedua telinga dan berteriak. Jangan, bandingkan aku sama si Fawaz! Aku hanya bungkam saat Ibu berceloteh dan membanggakan anak tetangga.

"Kenapa diam?" ucap Ibu dengan nada yang naik dan dahi yang berkerut.

Aku mengendikan kedua bahu.
"Malas bicara!" ujarku singkat.

"Adiba Arabella, putrinya pak Kohar!" Aku tahu Ibu sudah berada dipuncak amarahnya jika, memanggilku dengan nama panjang. Kini wanita paruh baya itu beralih mengambil ancang-ancang, sapu yang menjadi senjata tiap harinya sudah siap mencambukku.

Buru-buru aku masuk ke dalam kamar mandi untuk menghindari senjatanya itu.
Asem emang!

Aku mengusap dada dengan lembut napasku terengah-engah. Begitulah Ibu kalo tersulut emosi sapu yang menjadi andalannya. Aku segera membasuh muka yang teramat kusut tidak lupa memakai pencuci wajah yang bermerek tentu berpbom.

"Adiba cepat keluar!" teriak Ibu membuatku semakin enggan beranjak, aku sengaja berdiam diri di kamar mandi, jika ibu belum segera pergi dari penjagaannya.

"Ada apa Bu pagi-pagi udah rame aja!" Terdengar nyaring suara pahlawanku.

"Ini Adiba biasalah!" jawabnya.

Aku masih bergeming mendengarkan percakapan yang sedikit samar-samar itu di balik pintu plastik berwarna biru muda.

"Adiba keluar nak!" Suaranya terdengar sangat lembut.

Buru-buru aku menyahutnya, "Iya, Pak!"

Untung Bapakku datang tepat waktu jika tidak, mungkin aku sudah di sandra disini!

"Tuh .... lihat Pak anak gadis kita, kerjaannya molor terus, makan, molor lagi, lama-lama Ibu kawinkan kamu biar gak nyusahin orang tua!" Wanita itu terus berceloteh sambil menyapukan debu-debu dilantai.

"Gak lah Bu, aku masih kecil!" gertakku dengan bibir yang ngerucut.

"Andai anak kita si Fawaz ya Pak, anaknya baik ramah, bantuin orang tua tiap hari, pinter sopan!"

Laki-laki tua itu hanya melihatku bergantian dengan Ibu. Sambil mengaruk kepalanya kebingungan.

"Tuh .... pak lihat Fawaz lagi jemur baju!" Ibu menatapnya dengan bangga saat pemuda itu keluar dari sarangnya .... ups maksudnya rumah!

Bapak hanya tersenyum menimpali.
Akh sudahlah mereka pengangum anak tetangga itu.

*****

"Heh .... Fawaz!" Aku melemparkan batu berukuran kecil ke bagian lengan pemuda yang disebut-sebut ibu itu.

"Apa?" Pemuda itu menghentikan aktivitasnya menjemur baju. Aku tahu ibu dan bapakku pasti sudah tidak memperhatikan lagi si Fawaz jemur baju. Jadi ini kesempatan aku untuk ngasih pelajaran sama dia.

"Kenapa .... lo jemur baju jam segini, lu cari muka sama ibu bapak gue!"

Fawaz hanya mengangkat satu alisnya keatas lalu berujar, "Kenapa sih lo gak jelas banget kalo ngomong!"

"Lo yang gak jelas!" Aku mendorong tubuhnya kebelakang dengan sekuat tenaga.

"Sinting lo lama-lama!" Fawaz meletakkan jari telunjuknya dengan posisi miring di atas jidatnya.

"Lu gak usah cari perhatian ke orang tua gue, ngerti lo!"

"Siapa yang cari perhatian?"

"Lo, siapa lagi, mendingan lo pindah rumah aja deh, jangan di samping gue rumahnya, Lo cocok di kebun binatang!" terangku lalu melipat tangan diatas dada.

"Serah gue dong hidup-hidup gue, terus kenapa lo yang atur!" jawabnya pemuda itu menatapku dengan wajah yang seperti sedang menahan tertawa bibirnya mengatup keras.

"Napa lo ketawa, gak ada yang lucu!"

"Dimata lo masih ada kerak matanya, lo baru bangun tidurnya terus ngigo makanya lu gak jelas kalo ngomong!"

Aku meraba-raba bagian mataku terasa ada benda mengganjal di bagian ujung ekor mata seperti mutiara. Mungkin ini yang dimaksud kotoran mata atau kerak mata, aku menutup wajah dengan kedua tangan dan berlari masuk kedalam rumah.

"Apaan tuh si Fawaz bilang gitu, orang aku udah cuci muka kok, mana mungkin masih ada kotoran matanya!" Segera aku mengambil cermin berukuran sedang. Sungguh terkejutnya bukan main ternyata benar yang dikatakan si Fawaz.

"Huhuhu .... aku malu!" ucapku meringgis mengingat kejadian barusan.

*****
Nexttt?

























Dear Anak Tetangga (On Going)Where stories live. Discover now