10

613 109 30
                                    

“Yukichi-san.”

Suara yang familier terdengar di kuping Fukuzawa. Menatap samar-samar sosok wanita, yang tampak seperti istrinya sendiri.

‘[Name]?’

“Yukichi-san, Yukichi-san tidak pulang?”

Pulang? Ia sungguh tidak mengerti kenapa sang istri mengatakan demikian. Bukankah dirinya sudah berada di mahligainya sekarang?

“Shachou?”

Fukuzawa terperanjat hingga matanya membelalak. Ternyata hanya ilusi semata, pria itu tertidur di kantornya dengan posisi bersandar di kursi kerja. Ia melirik ke arah ekor matanya, mendapati seorang gadis bersurai coklat dengan iris mata sewarna zaitun yang menatapnya khawatir. Itulah Haruno.

“Maaf, saya membangunkan Shachou. Karena sudah larut malam dan sepertinya Shachou belum juga keluar, jadi saya nekat masuk,” jelasnya, suara gadis itu bergetar saat melihat rupa datar sang pemimpin Agensi. “To-tolong, maaf kan saya. Saya tidak bermaksud yang aneh-aneh.” Ia menunduk, se-menunduk mungkin dengan netra yang terpejam erat, seakan gadis itu siap mendapat beberapa kalimat pedas.

“Tidak apa-apa, aku mengerti. Terima kasih. Ngomong-ngomong, apa yang lainnya sudah pulang?”

“Sudah pulang, hanya tinggal Yosano-sensei, Ranpo-san, Dazai-san dan Kunikida-san.”

“Suruh mereka segera pulang. Dan kau juga hati-hati di jalan.”

“Iya, kalau begitu saya pamit undur diri.”

Pria itu menghembus napas panjang sesudah Haruno memudar dari pandangannya. Ia merebahkan tubuhnya pada kursi kerja sembari menutup matanya sejenak. Kemudian menatap remang-remang langit kantor yang diisi oleh sinar rembulan. Tak disangka dirinya membuat adegan tidur dalam ruang kerjanya.

Lekas ia membuka ponsel lipatnya dan terlihat sudah pukul delapan malam. Soal ilusi tadi, ia harus segera pulang karena istrinya—[Name]— pasti telah menunggunya di rumah.

Fukuzawa melangkahkan kakinya di pematang jalan yang sunyi, sambil memberi tilikan pada ujung sandalnya sebelum menetap pada sang rembulan. Candra yang bersinar terang nan lembut di antara pekatnya malam, mengingatkan Fukuzawa akan sosok wanita itu. Paras cantiknya, senyum lembut pada bibir ranumnya, aroma tubuhnya yang seharum bunga lavender, iris mata amethyst yang menatapnya hangat, cara bicaranya yang halus walau kadang juga ketus dan cerewet. Kala-kala ia ingin sekali menanyakan, 'apa yang sedang kau lakukan di rumah?, apa yang kau inginkan?, apa kau bosan? ayo kita jalan-jalan.'

Senyuman terpatri otomatis di wajahnya yang merah merona. Apakah Fukuzawa telah diberi sebuah epiphany? Seolah sesuatu datang menyadarkannya. Ia tidak bisa berbohong pada hati kecilnya. Entah sejak kapan persisnya perasaan ini bermula, namun yang pasti, itu tersua saat sesudah bulan madu, dan sebelum terjadinya pertengkaran dengan sang istri.

“[Name], rasanya aku ingin mengajakmu berciuman di bawah sinar rembulan. Apa kau mau? Sepertinya tidak, mana mungkin wanita muda seperti mu mau dengan ku yang umurnya hampir setengah abad,” cetusnya pada sang rembulan. Sesekali ia membayangkan skenario palsu yang dibuat dalam angannya.

Sudah banyak musuh yang berhasil ditumpas dan ia tidak pernah segan-segan. Tetapi untuk mengungkapkan perasaannya sendiri, tampaknya itu butuh waktu 100 tahun lagi—alias tidak memiliki nyali. Kebencian [Name] terhadapnya akan terbayang-bayang jikalau itu berkaitan soal asmaraloka-nya, kendati itu belum terjadi. Barangkali memang tidak perlu diungkapkan dari pada hubungannya kini berakhir pupus.

“Sungguh [Name], aku benar-benar gila tentang mu.”

°°°

Tidak terasa langkahnya sebentar lagi mendekati rumah. Ayunan kakinya kian cepat sebab rindu yang mengepul sudah di penghujung.

Epiphany | Fukuzawa YukichiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang